SELAMAT DATANG...SELAMAT BERJUANG !

Tiada kata Jera dalam Perjuangan.

Total Tayangan Halaman

Selasa, 19 Januari 2010

Indikasi semua masalah Bank Century banyak dijumpai pelanggaran dalam aturan2 Hukum.

Oleh : Andreas Kadhafi Muktafian

A. SOAL EKSISTENSI PANSUS HAK ANGKET SKANDAL BANK CENTURY

Masih banyak orang yang mempertanyakan apa perlu Pansus Angket ini dibentuk ? Malahan ada iklan di TV yang menyatakan bahwa pengkajian karut marut Bank Century sebagai bentuk politisasi atau malah lebih jahat, sebagai bentuk ketidak puasan peserta pemilu yang kalah …..

Mari kita simak dasar hukumnya :

1. UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara No. 47 tahun 2003)

Bab VI pasal 24 ayat 7 : Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR

Jadi pemberian “bail out” kepada Bank Century itu harus mendapat persetujuan DPR, tidak bisa begitu saja diputuskan oleh KSSK, atau dikucurkan begitu saja oleh LPS tanpa persetujuan DPR.

Padahal Pemerintah baru memberitahu DPR bahwa LPS itu sudah mengucurkan Rp. 6,7 trilyun untuk mem-bail out Bank Century pada Pertemuan Panitia Anggaran DPR dengan Menkeu di Hotel Sheraton Bandara pada tanggal 1 Agusuts 2009.

Menkeu dapat dipidanakan karena telah melanggar ketentuan UU Keuangan Negara ini.

Itu sebabnya, DPR mengajukan hak angket untuk menelusur kenapa “bail out” yang sebesar ini disembunyikan begitu lama dan tidak pernah dimintakan persetujuan DPR

2. UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS (Lembaran Negara No. 96 tahun 2004)

Bab IV pasal 33 ayat 1 butir a : pemegang saham bank gagal berdampak sistemik telah menyetor modal sekurang-kurangnya 20 % dari perkiraan biaya

Jadi LPS baru boleh menangani Bank Century setelah Robert Tantular menyetor 20 % dari Rp. 6,7 trilyun = Rp. 1,34 trilyun ….tak ada data bahwa Robert Tantular telah menyetor dana sebesar Rp. 1,34 trilyun ke LPS …. belum lagi ketentuan pasal 33 ayat 1 butir b dan c …. Alamak !!!

Inilah yang disebut ketergesa-gesaaan oleh Kwik Kian Gie - rapat KSSK pada tanggal 21 November 2008 dini hari langsung memutuskan “bail out” tanpa meneliti asset Bank Century ini lebih dahulu…. Kalau ngga punya Rp. 1,34 trilyun terus bagaimana, siapa yang tanggung jawab?

Kenapa Boediono dan Sri Mulyani masih menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara ???

Belum lagi ada moral hazard dari pemilik Bank Century ….

Simak ini :

Analis keuangan dan perbankan, Yanuar Rizky, mengatakan, indikasi kuat adanya korupsi itu adalah revisi fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) oleh BI yang didesain untuk memberi kucuran dana kepada Bank Century setelah bank ini kalah kliring pada 13 November 2008 sebesar Rp 654 miliar.

Namun, laporan BPK menemukan fakta bahwa sehari sejak terima dana FPJP, pihak pemilik Century justru melakukan pengambilan dana.

Seharusnya jika kebijakan pemberian dana FPJP tepat sasaran, tak akan ada gagal kliring lagi. Namun, faktanya terjadi lagi gagal kliring sehingga dibawa ke KSSK dengan angka sama, Rp 654 miliar. “Jika dari awal kebijakan tepat sasaran, apa perlu bail out? Jadi jelas ada kesalahan kebijakan di sini,” kata Yanuar

Ini link-nya : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/26/04132144/kpk.jangan.ragu.bertindak

B. PRESIDEN ADALAH PENANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA

Bulan Oktober 2008 memang banyak orang mengusulkan penerapan blanket guarantee, tapi baru taraf mengusulkan….. baru mau diajukan ke Presiden SBY sebagai Penanggung Jawab Keuangan Negara pada tanggal 13 November 2008 … itupun tidak jadi karena Presiden keburu mau berangkat ke USA …alasan yang lemah secara hukum

Ingat JK bukan Penanggung Jawab Keuangan Negara …. jadi tidak dalam posisi memutuskan atau memveto….dan Sri Mulyani itu “hanya” Bendahara Umum Negara

Saya kutipkan dasar hukumnya yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara No. 47 tahun 2003)

UU No. 17 tahun 2003 Bab II pasal 6 ayat 1 : Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan

(Dari pasal ini,nampak jelas tidak ada hak yang mengatur JK bisa memutus soal blanket guarantee yang membutuhkan dana keuangan negara yang sangat besar …. itu adalah wewenang penuh Presiden, lalu kenapa banyak pihak mempersoalkan pernyataan JK pada bulan Oktober 2008 itu (sebelum rapat-rapat KSSK di bulan November 2008)

UU No. 17 tahun 2003 Bab II pasal 8 ayat f : Menteri Keuangan melaksanakan fungsi bendahara umum negara

(Dari pasal ini jelas bahwa KSSK tidak dapat begitu saja memutuskan “bail out” - “bail out” harus sepengetahuan dan sepertujuan Presiden SBY selaku Penanggung Jawab Keuangan Negara - Menteri Keuangan/Ketua KSSK itu cuma bendahara umum negara)

Itulah sebabnya : Presiden bisa diduga melanggar hukum karena

1. Artikel di JURNAL NASIONAL, 24 Desember 2009 halaman 1 : PRESIDEN TIDAK TAHU MENAHU SOAL BAIL OUT BANK CENTURY …… ini koran resmi pemerintah lho yang kemudian dikutip oleh Jubir Presiden Julian Aldrin Pasha …. bisa diartikan Presiden lari dari tanggung jawab … bisa dipidanakan

2. Kehadiran Marsillam Simanjuntak (doktor hukum - Ketua UKP3R - Unit Kerja Presiden untuk Program Pengelolaan Reformasi) yang jadi silang sengketa -

a) Menurut Menkeu Sri Mulyani dan mantan Gubernur BI Boediono, kehadiran Marsillam itu sebagai nara sumber, padahal dalam notulen resmi Rapat KSSK tanggal 20-21 November 2008 tertulis, HANYA ADA SATU NARA SUMBER yaitu Agus Mertowardoyo : Dirut Bank Mandiri

b). Menurut Jubir Presiden : Julian Aldrin Pasha : Marsillam hadir sebagai penasehat Menkeu

Padahal menurut Notulensi Rapat KSSK tanggal 20-21 November 2008 : Menkeu Sri Mulyani menggunakan penasehat hukum LGS (Lubis,Gani & Surowidjojo) … lalu kehadiran Marsillam (ahli hukum, bukan ahli ekonomi) ini sebagai apa?

Dalam notulensi rapat itu juga Raden Pardede (Sekretaris KSSK) menyebut kehadiran Marsillam itu sebagai utusan Presiden …. tapi kenapa dibantah oleh Boediono, Sri Mulyani dan Julian Aldrin Pasha?

Padahal menurut UU Keuangan Negara, karena Presiden adalah penanggung jawab keuangan negara, SBY wajib dan harus tahu apa yang akan diputuskan oleh KSSK … karena akan memutuskan penggunaan uang negara yang jumlahnya sangat besar ….jadi strategi SBY mengutus Marsillam itu secara hukum benar, tapi kenapa dibantah ? Ada apa ini ?

Apalagi ternyata dari notulen rapat KSSK, Marsillam memang tidak hanya sekali hadir, tetapi banyak hadir dalam rapat-rapat soal Bank Century, seperti rapat tanggal 13, 15, 19, 20, 24 November 2008, juga Februari 2009. Kenapa disembunyikan ?

3. Pada tanggal 13 - 25 November 2008, Presiden SBY melakukan lawatan ke luar negeri. Jadi pada saat itu, JK adalah Presiden ad interim, bukan sekedar Wapres. Jadi pada tanggal 13 - 25 November 2008 itu, penanggung jawab keuangan negara adalah JK. Tapi kenapa Sri Mulyani selaku Ketua KSSK tidak melaporkan perlunya penerapan blanket guarantee ke Presiden ad interim?

Dari notulen rapat KSSK tanggal 13 November 2008 terungkap pernyataan Marsillam :

berdasarkan informasi Ketua UKP3R Marsillam Simanjuntak, keputusan blanket guarantee tidak dapat dilakukan atas persetujuan Wakil Presiden

Hal ini berlanjut pada keputusan “bail out” pada rapat KSSK tanggal 21 November 2008 dini hari. Menurut Sri Mulyani dalam keterangannya di depan Pansus yang disiarkan TV secara langsung pada tanggal 12 Januari 2010 : pemberitahuan keputusan mem-bail out Bank Century itu dilakukan melalui SMS ke Presiden SBY dan Presiden ad interim JK.

Menurut JK, laporan lisan Menkeu Sri Mulyani ke Presiden ad interim JK baru dilakukan tanggal 25 November 2008 dan tidak ditindaklanjuti dengan laporan tertulis.

Kalau Sri Mulyani menyatakan bahwa laporan tertulis resmi itu tidak wajib dilakukan, maka beliau bisa dituntut melanggar UU Keuangan Negara karena Menkeu “cuma” bendahara umum negara - ada keharusan untuk melapor secara resmi ke Presiden selaku penanggung jawab keuangan negara dan keharusan untuk meminta persetujuan DPR

C. SOAL DANA LPS : uang negara atau bukan ?

Masalah lain yang lebih serius adalah silang sengketa soal dana LPS : uang negara atau bukan? Boediono tidak bisa menjawab hal itu di depan Pansus ……Lho ???

Saya kutipkan dasar hukumnya :

Menurut UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara :

Bab I pasal 2 ayat g : Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk KEKAYAAN YANG DIPISAHKAN PADA PERUSAHAAN NEGARA/perusahaan daerah

Bab II pasal 6 ayat 2 butir a : kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan

(Bandingkan dengan ketentuan UU No.24 tahun 2004 tentang LPS Bab VIII pasal 81 ayat 2 : kekayaan LPS merupakan ASET NEGARA YANG DIPISAHKAN yang disebutkan dengan jelas dalam pasal 81 ayat 1 : Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp. 4 trilyun) ……dan modal awal LPS sebesar Rp 4 trilyun ini diambil dan dipisahkan dari APBN

Bab I pasal 2 ayat i : kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah

Fasilitas pemberian pemerintah itu apa saja ?

Mari kita lihat ketentuan UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS Bab III pasal 6 ayat 1 butir a : LPS menetapkan dan memungut premi penjaminan - pasal 6 ayat 1 butir b : menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali jadi peserta - pasal 6 ayat 1 butir d : mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank)

Apa buktinya bahwa hal-hal di atas adalah fasilitas pemberian pemerintah ?

Mari kita simak ketentuan pasal 87 juncto pasal 89 ayat 1 UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS

Ketentuan UU No.24 tahun 2004 tentang LPS Bab X pasal 87 : Dewan Komisioner LPS menyampaikan Rencana Kerja & Anggaran Tahunan yang telah disetujui, serta evaluasi pelaksanaan anggaran tahunan berjalan kepada Presiden dan DPR

Ketentuan pasal 89 ayat 1 : LPS wajib melaksanakan laporan tahunan kepada Presiden dan DPR paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya

Jadi untuk apa LPS harus lapor ke Presiden dan DPR kalau bukan uang negara ?

Hal ini dipertegas oleh ketentuan UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS Bab X pasal 88 ayat 3 : Laporan keuangan LPS diaudit oleh BPK

Lha, kalau wajib diaudit oleh BPK (bukan kantor akuntan publik), berarti uang LPS itu uang negara dong!

Kenapa Boediono selaku mantan Menkeu (jaman Presiden Megawati), mantan Menko Perekonomian dan mantan Gubernur BI (jaman KIB I), tidak tegas menyatakan bahwa uang LPS itu adalah uang negara. Ada apa ?

Padahal sudah ada yurisprudensinya, yaitu penggunaan uang YPPI yang sudah dipisahkan dari keuangan BI dan ditambah uang dari bank-bank lain - uang YPPI itu uang negara, karena itu penyelewenngan dana YPPI dipidana penjara. Makanya Burhanudin Abdullah, Aulia Pohan dll masuk penjara

D. SOAL KK dan KSSK

Dr. Purbaya Yudhi Sadewa (Chief Economist Danareksa) dalam keterangannya di Metro TV pada tanggal 12 Januari 2010 menyatakan bahwa KK dan KSSK itu orangnya itu-itu juga. Ini salah, bukan hanya person dan institusinya berbeda, tapi juga dasar hukumnya berbeda

Mari kita simak lebih terinci :

1. KK adanya di pasal 1 ayat 9 UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS : KK adalah komite yang beranggotakan Menkeu, LPP, BI dan LPS yang memutuskan kebijakan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik

Jadi keanggotaaan KK itu ada 4 institusi, karena LPP, BI dan LPS itu institusi (bukan person in charge) - dalam hal ini, Menkeu adalah pemegang mandat dari UU No. 17 tahun 2003 Bab II pasal 6 ayat 2 butir a

Maka Menkeu dapat dibenarkan untuk meminta penasehat hukum LGS (Lubis, Ganie, Surowidjojo) meskipun Depkeu sudah mempunyai Biro Hukum sendiri dan dapat meminta nara sumber sendiri, meskipun Depkeu sudah mempunyai cukup banyak ahli fiskal dan/atau meminta didampingi konselor khusus, karena status Menkeu dalam KK adalah institusional.

2. KSSK itu adanya di pasal 5 ayat a Perppu No. 4 tahun 2008 tentang JPSK : Keanggotaan KSSK yang hanya terdiri dari Menkeu selaku Ketua merangkap anggota dan Gubernur Bank Indonesia selaku anggota.

Jadi keanggotaan KSSK itu ada 2 person in charge - rapat KSSK tidak bisa dan tidak boleh dihadiri oleh orang lain selain yang tertera dalam Perppu

3. Bagaimana bisa dikatakan bahwa KK dan KSSK itu sama saja ??

4. Mungkin maksud SBY, dengan memotong keanggotaan KK itu - rantai birokrasi mau dipangkas, supaya dalam situasi krisis, keputusan dapat cepat diambil, tapi dengan demikian, satu mata rantai putus, yaitu mata rantai dari KSSK ke LPS

Sebab ketentuan pasal 21 ayat 3 UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS berbunyi : LPS melakukan penanganan bank gagal berdampak sistemik setelah KK menyerahkan penanganannya ke LPS

Jadi tidak bisa KSSK yang langsung menyerahkan penanganan Bank Century ke LPS, itu melanggar undang-undang

5. Maka dikaranglah satu step baru, yaitu dari KSSK - baru ke KK - dan kemudian ke LPS. Masalahnya :

a). Pembentukan KK itu tidak sederhana (mana Keppres-nya) dan mana notulensi rapatnya ? KK itu lembaga negara lho, yang menilai suatu bank gagal atau tidak dan merumuskan bank gagal itu berdampak sistemik atau tidak - kok tidak pakai Keppres? Ingat, KK terdiri dari 4 institusi (bukan person in charge). Kalau dikatakan KSSK juga tidak perlu Keppres, karena KSSK hanya terdiri dari 2 person in charge

b). Dari KSSK ke KK itu juga tidak ada dasar hukumnya - KSSK itu adanya di Perppu No. 4 tahun 2008 tentang JPSK dan KK itu adanya di UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS - tidak ada aturan peralihan antara Perppu JPSK itu dan UU LPS vice versa.

Pernyataan Sri Mulyani bahwa rapat KK itu pernah diadakan - jelas melanggar UU - apalagi bila ditambah dengan pernyataan bahwa KSSK dalam mem-bail out Bank Century TIDAK menggunakan Perppu No. 4 tahun 2008 tapi menggunakan Pasal 39 dan Pasal 41-42 UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS.

Pasal 39 UU LPS, yang berbunyi : Dalam hal penanganan bank gagal berdampak sistemik dengan mengikut sertakan pemegang saham TIDAK dapat dilakukan, LPS melakukan penanganan bank dimaksud TANPA mengikut sertakan pemegang saham

Dari sini, jelas bahwa ada kerugian negara dan yang paling diuntungkan dari ‘bail out” ini adalah Robert Tantular, karena TIDAK PERLU memenuhi ketentuan pasal 33 ayat 1 butir a UU LPS yaitu kewajiban menyetor Rp. 1,34 trilyun (20 % dari perkiraan biaya “bail out” ). Kok bisa-bisanya Sri Mulyani menyatakan di depan Pansus pada tanggal 12 Januari 2010 itu, bahwa yang paling diuntungkan dari “bail out” Bank Century ini adalah rakyat Indonesia - pembodohan rakyat yang luar biasa !!

Mari kita simak bunyi pasal 41 dan pasal 42 UU LPS yang juga dipakai acuan KSSK :

Pasal 41 UU LPS berbunyi : Setelah LPS mengambil alih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan dll, LPS dapat melakukan PMS (penyertaan modal sementara)

Untuk bank yang sudah dijarah habis dan terlilit hutang begitu besar, lalu apa gunanya? Dimana untungnya ?

Pasal 42 UU LPS berbunyi : LPS wajib menjual seluruh saham Bank Century paling lama 3 tahun sejak dimulainya penanganan

Yang jadi masalah, siapa yang mau beli ? Asumsi 3 tahun lagi, kondisi Bank Mutiara (nama Bank Century sekarang ini) akan untung, adalah tetap asumsi belaka.

Kita punya pengalaman buruk dengan Boediono selaku Menkeu pada jaman Presiden Megawati - Boediono memaksa menjual BCA pada tanggal 14 Maret 2002 dengan nilai Rp. 10 trilyun, padahal didalam BCA ada 97 % saham Pemerintah berupa OR (surat hutang pemerintah) senilai Rp. 60 trilyun. Pemilik baru BCA (51 % sahamnya dibeli oleh Farallon) dengan serta merta mempunyai tagihan kepada pemerintah dalam bentuk OR senilai Rp. 60 trilyun yang dapat dijual kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

E. Kontroversi soal Perppu No. 4 tahun 2008 tentang JPSK (Jaring Pengaman Sistim Keuangan) yang ditanda tangani Presiden SBY tanggal 15 Oktober 2008 (Lembaran Negara No. 149 tahun 2008)

Penolakan Perppu

a). Sesuai dengan UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan - Pasal 25 ayat 1 : Perppu ini harus dimintakan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya .

b). Ternyata Sidang Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 menolak Perppu no. 4 tahun 2008 ini, maka sesuai dengan pasal 25 ayat 3 UU No. 10 tahun 2004, Perppu tersebut gugur (TIDAK bisa dijadikan landasan hukum)

c). Sebagai tindak lanjut Ketua DPR mengirim surat ke presiden SBY. Surat Ketua DPR : Agung Laksono ke Presiden SBY tertanggal 24 Desember 2008 itu meminta Pemerintah mengajukan RUU JPSK selambat-lambatnya tanggal 19 Januari 2009 (sebagai pengganti Perppu no. 4 tahun 2008 tentang JPSK itu) - hal ini sesuai dengan bunyi pasal 25 ayat 4 UU No. 10 tahun 2004 yang berbunyi : Dalam hal Perppu ditolak oleh DPR, maka Presiden mengajukan RUU

d). Pemerintahpun mengajukan RUU JPSK pada tanggal 14 Januari 2009 ke DPR

e). Dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 30 September 2009, DPR membatalkan pembicaraan tingkat II RUU JPSK ini. Jadi sejak 14 Januari 2009 sampai 30 September 2009 : RUU JPSK ini tetap rancangan undang-undang, BELUM jadi undang-undang (tidak bisa jadi landasan hukum)

Dengan demikian, Sidang Paripurna DPR tanggal 30 September 2009 ini merupakan penegasan penolakan DPR pada Perppu No. 4 tahun 2008 sejak tanggal 18 Desember 2008.

Kontroversi dimulai dari pernyataan I Wayan Sugiana (anggota Pansus Hak Angket Century dari Partai Demokrat) pada Rapat Pleno Pansus, Senin 14 Desember 2009, yang menyatakan : Sidang Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 itu tidak tegas menolak Perppu No. 4 tahun 2008 itu. Saat itu ada empat fraksi menolak, empat fraksi menerima, dan dua fraksi abstain.

Kalau benar Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 mengambangkan Perppu itu, maka berarti DPR tidak pernah menyetujui Perppu itu, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat 3 UUD 1945 : Jika Perppu tidak disetujui DPR, maka Perppu itu harus dicabut.

Padahal pemerintah BELUM pernah mencabut Perppu No. 4 tahun 2008 ini, sehingga dapat diartikan bahwa pemerintah TELAH melanggar konstitusi (UUD 1945) - konsekuensi hukumnya jelas : Presiden dapat di-impeach karena telah melanggar konstitusi

Kalau diartikan bahwa pengajuan RUU JPSK ke DPR pada tanggal 14 Januari 2009 itu adalah bentuk pencabutan Perppu No. 4 tahun 2008, maka konsekuensi hukumnya jelas : (i) Dasar hukum keberadaan (eksistensi) KSSK itu gugur, (ii) Pengucuran dana talangan (bail out) oleh LPS sebesar Rp. 6,7 trilyun itu menjadi tidak sah

Jadi Perppu itu ditolak atau diambangkan oleh DPR, konsekuensi hukumnya tetap sama, Perppu itu tidak bisa diberlakukan sejak tanggal 18 Desember 2008, padahal LPS masih mengucurkan dana “bail out” Bank Century ini sampai Juli 2009. Dasar hukumnya apa?.

Pernyataan I Wayan Sugiana ini yang menyatakan bahwa Sidang Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 itu TIDAK TEGAS MENOLAK PERPPU itu, jelas menyalahi ketentuan pasal 36 ayat 2 UU No. 10 tahun 2004 : DPR hanya menerima atau menolak Perppu - dengan kata lain, DPR tidak boleh mengambangkan atau tidak tegas menolak - Rupanya isi surat Ketua DPR : Agung Laksono ini yang jadi dasar argumen Partai Demokrat untuk mencari celah hukum :

Inilah isi surat Ketua DPR ke Presiden : ‘Menindaklanjuti surat Presiden Republik Indonesia nomor R-63/Pres/10/2008 tanggal 29 Oktober 2008, perihal Rancangan UU tentang Perppu 4/2008 tentang JPSK menjadi UU, dengan ini kami sampaikan bahwa rapat Paripurna DPR RI tanggal 18 Desember 2008 menyepakati untuk meminta kepada pemerintah agar segera mengajukan RUU tentang JPSK sebelum tanggal 19 Januari 2009, guna ditindaklanjuti sebagaimana mekanisme Dewan yang berlaku’

Ketua DPR : Agung Laksono yang dalam suratnya ke Presiden SBY tertanggal 24 Desember 2008 itu, yang tidak menyebut bahwa DPR menolak Perppu itu, dapat dipidanakan karena melanggar ketentuan pasal 36 ayat 2 UU No. 10 tahun 2004 ini

Masalah baru yang lain lagi muncul ketika Presiden SBY mengirim surat ke DPR tentang pengajuan Rancangan Undang-Undang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan tertanggal 11 Desember 2009

RUU Pencabutan Perppu JPSK ini terdiri atas tiga pasal. Materi yang paling krusial terletak di Pasal 2, Ayat (2). Pasal itu menegaskan, kebijakan yang telah ditetapkan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tentang penanganan krisis berdasarkan Perppu JPSK tetap sah dan mengikat.

Kemudian, pada bagian penjelasan ditegaskan, yang dimaksud dengan kebijakan KSSK itu adalah tentang penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Pada bagian penjelasan umum juga ada kalimat yang menegaskan, DPR tidak menyetujui Perppu Nomor 4 tentang JPSK dalam Sidang Paripurna 30 September 2009.

Jadi rupanya Presiden SBY berusaha memenuhi ketentuan pasal 25 ayat 4 UU No. 10 tahun 2004 juncto pasal 36 ayat 4 UU No. 10 tahun 2004 yang berbunyi : Dalam hal Perppu DITOLAK oleh DPR, maka Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut

Hal ini didukung oleh alasan yang diajukan oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat : Anas Urbaningrum : yaitu bila Perppu ditolak oleh DPR, maka pemerintah mengajukan RUU pencabutan (UU No. 10 tahun 2004 pasal 36) - tapi masalahnya adalah :
1). Ada selisih jarak waktu yang amat jauh dari saat penolakan oleh DPR (tanggal 18 Desember 2008) sampai saat pengajuan surat pencabutan (tanggal 11 Desember 2009) - hal ini melanggar ketentuan pasal 25 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004 : Perppu harus dimintakan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya - tidak bisa terlalu lama begini - ini melanggar UU

2). Kalau disebut bahwa DPR baru menolak Perppu itu pada Sidang Paripurna DPR tanggal 30 September 2009, maka hal ini bertentangan dengan :
*). Notulensi Sidang Paripurna DPR tanggal 30 September 2009 yang sama sekali tidak membahas soal Perppu No. 4 tahun 2008, tapi membahas Pembacaan surat Komisi XI DPR tentang pembatalan pembicaraan tingkat II RUU JPSK (Rancangan Undang-undang Jaring Pengaman Sistim Keuangan) yang telah diajukan pemerintah tanggal 14 Januari 2009. Dengan demikian, Sidang Paripurna DPR ini merupakan penegasan bahwa DPR tidak menyetujui Perppu No 4/2008 mengenai JPSK sejak tanggal 18 Desember 2008. Dengan pembatalan RUU JPSK ini, maka pengucuran dana talangan (bail out) Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun dianggap tidak sah dan tidak ada dasar hukumnya.

Kenapa ?
Sejak tanggal 14 Januari 2009 sampai tanggal 30 September 2009 RUU JPSK tetap rancangan undang-undang, BELUM PERNAH jadi UU (belum bisa jadi landasan hukum)
*). Sesuai ketentuan pasal 36 ayat 2 UU No. 10 tahun 2004, maka Sidang Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 hanya bisa menerima atau menolak Perppu - dan DPR tidak pernah boleh mengambangkan Perppu itu - juga tidak pernah bisa dibuktikan bahwa DPR menerima Perppu itu, lalu kenapa (i) Pemerintah baru mencabutnya tanggal 11 Desember 2009, (ii) Pemerintah mengajukan RUU JPSK tanggal 14 Januari 2009, (iii) Perppu No. 4 tahun 2008 itu juga tidak bisa jadi jadi landasan hukum selama belum memenuhi ketentuan pasal 36 ayat 2 UU tahun 2004

c). Dari penjelasan pasal 2 ayat 2 RUU Pencabutan Perppu No. 4 tahun 2008 yang ditanda tangani Presiden SBY tanggal 11 Desember 2009, terlihat bahwa Perppu ini HANYA DIBERLAKUKAN untuk Bank Century - sakti amat Robert Tantular

F. Apa ada krisis ekonomi di bulan November 2008 ?


Alasan adanya dampak krisis ekonomi global yang terasa di Indonesia pada bulan November 2008 berupa naiknya kurs, turunnya IHSG dan terkurasnya cadangan devisa untuk menjaga volatilitas rupiah itu sebenarnya dipicu oleh :

a). Kebijakan Gubernur BI : Boediono yang justru menaikkan suku bunga (BI rate) di bulan Oktober 2008, pada saat negara lain justru menurunkan suku bunganya

b). Boediono masih tetap menggunakan sistim penjaminan LPS, pada saat negara lain justru menerapkan blanket guarantee (penjaminan penuh)

Dari Notulen rapat KSSK pada tanggal 13 November 2008, menunjukkan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah menginformasikan masalah perlunya blanket guarantee ini kepada Presiden. Namun, karena pada hari itu, Presiden akan melaksanakan tugas ke San Francisco, Amerika Serikat, Presiden RI tidak bisa mengambil keputusan tentang kemungkinan penerapan blanket guarantee

Apa buktinya bahwa sebenarnya krisis yang termonitor di komputer Danareksa pada bulan November 2008 itu adalah akibat kesalahan kebijakan BI sendiri ?

Laporan triwulan keempat BI tidak pernah mencantumkan adanya krisis ekonomi berdampak sistemik di bulan November 2008

Simak ini :

Bank Indonesia selalu menyampaikan Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah pada setiap triwulan merupakan pemenuhan amanat yang digariskan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004.
Dalam TKM (Tinjauan Kebijakan Moneter) Nopember 2008, yang dikeluarkan setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 6 November 2008, pada halaman 14 antara lain menyatakan:”Kinerja sektor perbankan masih tetap baik. Indikator-indikator utama seperti CAR, NPL dan PDN perbankan menunjukkan ketahanan dalam menghadapi gejolak pasar. Net Interest Income (NII) pada September 2008 tercatat stabil dari bulan sebelumnya sebesar Rp9,3 triliun. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan-NPL) sama dengan bulan sebelumnya sebesar 3,9% (gross) dan 1,4% (net). Dari sisi modal, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio-CAR) meningkat dari bulan sebelumnya sebesar 16,5%. Sedangkan Return On Asset (ROA) relatif stabil dari bulan sebelumnya, masing-masing sebesar 2,6%. Di sisi lain, kondisi likuiditas perbankan yang mulai longgar telah memberi keleluasaan bagi perbankan dalam menjalankan usahanya. Pertumbuhan kredit masih relatif stabil mencapai 34,6% dengan risiko kredit yang tetap terjaga. Meskipun demikian, ke depan risiko kredit masih perlu diwaspadai.”

Dalam TKM Desember 2008, yang dikeluarkan setelah RDG-BI 4 Desember 2008, pada halaman 17 antara lain menyatakan:
“Kinerja sektor perbankan pada Oktober 2008 secara umum tetap mantap. Indikator-indikator utama seperti CAR, NPL dan NII perbankan menunjukkan ketahanan dalam menghadapi gejolak pasar. Posisi kredit masih mengalami peningkatan mencapai Rp1.343,5 triliun atau tumbuh sebesar 37,1%. Total aset juga mengalami peningkatan mencapai Rp2.235 triliun atau tumbuh sebesar 20% (yoy). Indikator lainnya turut menggambarkan perkembangan yang stabil. Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan - NPL) pada Oktober 2008 tercatat sebesar 3,9% (gross) dan 1,6% (net). Net Interest Income (NII) meningkat signifikan menjadi Rp10,6 triliun dari Rp9,3 triliun pada bulan sebelumnya. Sementara itu, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio - CAR) dan Return On Asset (ROA) relatif stabil dari bulan sebelumnya sebesar 16% dan 2,7%.

Dalam LKM (Laporan Kebijakan Moneter) triwulan IV-2008, setelah RDG-BI pada awal Januari 2009, pada halaman 2-3, menyatakan antara lain:
“Di sisi perbankan, industri perbankan dalam negeri diprakirakan akan mengalami dampak dari krisis keuangan global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Namun secara umum, perbankan nasional masih tetap memiliki daya tahan yang cukup baik, yang tercermin dari indikator utama perbankan CAR dan NPL. Rasio kecukupan modal (CAR) masih tetap tinggi meskipun sedikit menurun menjadi 14,3%. Sedangkan NPL meskipun cenderung meningkat, diprakirakan masih berada di sekitar 5%.”

Dalam Laporan (kepada DPR) triwulanan keempat ditahun 2008, tertanggal 31 Januari 2009, pada halaman 2 menyatakan antara lain:
“Perkembangan perbankan selama triwulan IV-2008 relatif terjaga, meskipun sempat mengalami gejolak sebagai imbas krisis keuangan global. Hal ini tercermin pada profil risiko perbankan yang relatif terkendali dan dibarengi pertumbuhan kredit yang masih tinggi, serta Dana Pihak Ketiga (DPK) yang meningkat signifikan. Dari segi profitabilitas, usaha perbankan juga masih mendatangkan keuntungan. Dari segi likuiditas, tekanan likuiditas yang dihadapi perbankan pada triwulan sebelumnya mulai berkurang pada triwulan IV-2008. Hal ini sejalan dengan kenaikan DPK yang cukup signifikan serta meningkatnya likuiditas menyusul berbagai respon kebijakan yang telah diambil baik oleh Bank Indonesia maupun Pemerintah.”

Secara sederhana bisa disimpulkan bahwa suasana krisis atau akan adanya ANCAMAN DAMPAK (BURUK) SISTEMIK tidak terlihat dan tidak diisyaratkan secara jelas dalam berbagai laporan resmi Bank Indonesia ketika itu. Bahkan, jika kita membaca secara lengkap semua laporan itu , terasa ada nada optimis atas segala situasi yang berkembang.

G. Mengkaji dampak sistemik

Karena presentasi Sri Mulyani di Pansus Angket DPR tanggal 12 Januari 2010 hanya mengemukakan satu parameter kuantitatif dan selebihnya adalah parameter kualitatif (termasuk dikemukakannya masalah psikologi pasar), maka kita perlu menyimak pernyataan Prof. Dr. Miranda Gultom (mantan Deputi Senior Gubernur BI) di depan Pansus DPR tanggal Senin tanggal 21 Desember 2009 dan disiarkan langsung oleh TV), Miranda menyatakan :
“BI saat itu hanya memutuskan kebijakan Bank Century sebagai bank gagal, sedangkan soal sistemik HANYA membuat prakiraan“
(PRO KONTRA SOAL SISTEMIK, Kompas, Selasa tanggal 22 Desember 2009, halaman 1 - alinea 18)

Maka, temuan BPK itu benar bahwa penentuan dampak sistemik tidak dilakukan secara terukur.

Untuk mengkaji dampak sistemik secara kuantitiatif - Dr. Arkas Viddy menggunakan formulasi Linear Multiple Regression yang dipaparkan di The Jakarta Post, Kamis tanggal 14 Januari 2010 : KEY PERSPECTIVE IN BANK CENTURY BAIL OUT

Dari paparan itu, jelas terlihat bahwa seandainya Bank Century dilikuidasi, TIDAK ADA pengaruh atau dampak sistemik pada perekonomian nasional. Sama seperti tindakan tegas Sri Mulyani pada saat menutup Indover Bank (Indonesische Overzeese Bank NV) di bulan Oktober 2008 yang memakan ongkos Rp 7 trilyun - ternyata tidak ada dampak sistemik pada perekonomian nasional dan peringkat utang RI - kenapa hanya selisih dua minggu setelah penutupan Indover Bank, kebijakan Sri Mulyani berubah total ?

Akhirnya selesai juga hasil dari penggabungan penelusuran dari masukan termasuk sharing2 dari berbagai tempat,Bahwa semua permasalah Bank Century sering sekali banyak dijumpai pelanggaran aturan2 Hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar