SELAMAT DATANG...SELAMAT BERJUANG !

Tiada kata Jera dalam Perjuangan.

Total Tayangan Halaman

Kamis, 16 Desember 2010

Menyapa Adhie Massardi. Jika Gorbachev MUNDUR antara ADI DAYA,apakah SBY MUNDUR antara Demokrasi dan Monarki.


Hai sobatku,salam untukmu,terimalah simpatiku untuk sebuah Komitmen seorang Adhie Massardi .

"Pesan Gorbachev" mundur di Tahun ke 7 :

"Tapi di bawah kepemimpinan Gorbachev yang santun itu, ekonomi Uni Soviet luluh lantak bak disapu tsunami. Ketidakpuasan rakyat dinyatakan dengan demonstrasi di mana-mana. Akhirnya pada tahun ke-7 kekuasaannya, tepatnya pada 25 Desember 1991, Gorbachev pun mundur dari kursi kepresidenan".

Bagaimana nasib Gorbachev?

"Sejarah mencatat nama Gorbachev sebagai presiden terakhir Uni Soviet. Sebab kehancuran ekonomi nasional dan kerusakan struktur politik akibat lemahnya kepemimpinan Gorbachev, tak kuasa menopang bangunan negara yang pernah menjadi saingan Amerika Serikat dalam banyak hal itu". http://www.facebook.com/notes.php?drafts&id=100000225367933#!/notes/suara-rakyat/gorbachev-pun-mundur-di-tahun-ke-7/10150341552505487

Lahir 2 Maret 1931

Stavropol, kemudian Rusia SFSR, kini Federasi Rusia Kebangsaan Rusia

Partai politik Partai Komunis Uni Soviet (1950-1991)

Partai Sosial Demokrat Rusia (2001-2004)

Suami/Istri Raisa Gorbachyova.

Lalu bagaimana nasib SBY ?.

-Tsunami Century,diantara ketidakpastian (topeng kebobrokan Penguasa dan tarik ulur kekuatan Politik).

Sosok santun ini terkenal JUJUR betapa tidak dalam laporan kekayaan sang Calon Presiden pada saat itu hanya kurang lebih 7 Milyard dibanding dengan Sang Primadona Kasus Pajak (GAYUS) yang secara nominalnya mencengangkan 105 Milyard.Banyak hal yang RAKYAT catat pada saat Kampanye Slogan "Berantas KORUPTOR",tak terbendung lagi 62 % rakyat memilih sang Presiden (terlepas hasilnya dicapai secara tak jujur menurut beberapa kalangan).Republik ini tercengang saat heboh heboh masalah Kriminalisasi KPK (AA pun diranikan),beberapa pihak menyangsikan akan kebenaran Kasus AA sang Ketua KPK.Ditengah Evoria Rakyat yang demikian percayanya pada KPK yang selama itu memang menununjukan Prestasi harus pula denga ihklas menerima kenyataan.Kasus BESAR PERAMPOKAN Bank Century pun terkuak ,kasus Century hingga saat ini belum terungkap .Aneh untuk sebuah kasus yang ternyata adalah sebuah KONSPIRASI Kepentingan oleh kelompok tertentu,syah syah saja jika banyak pihak mengkaitkan dengan DANA KAMPANYE SBY-BUDIONO.Betapa tidak praktek Pemilukada yang berlansung calon pimpinan daerahpun secara berjenjang mengeluarkan Dana Kampanye Puluhan Milyard tak terbayang Besaran Dana Kampanye Presiden.Sejalan hal ribut ribut KPK muncul Personifikasi "Cecak dan Buaya" yang kemudian berujung pada "tiupan peluit sang jendral Susno Duaji.Nama Baru Muncul Gayus Tambunan sang Primadona Mafia Pajak dan Badan yang terbentuk oleh niat "Katakan TIDAK untuk Korupsi" oleh SBY Satgas Mafia Hukum.Nama Ketua partai Golkar pun terangkat oleh OPINI yang muncul karena Pengakuan Gayus menerima uang jasa yang cukup fantastis.Kasus HUKUM dari masalah masalah ini tak terbendung semuanya ditarik ke rana POLITIK,akhirnya semuapun ngambang dan RAKYAT menjadi penonton di Panggung SENAYAN dengan berbagai alasan dan hal hal yang menggelikan.Hasil keputusan Paripurna DPR RI memilih Opsi C Kasus Bank Century untuk ditindak lanjutkan oleh penegak Hukum dan KPK.Sampai saat ini tak ada kejelasan proses hukumnya dan bahkan dibenturkan dengan Kasus Gayus sebagai sebuah nilai "Tawaran Politik",kekuatan Politik beradu dan sekali lagi RAKYAT menjadi penonton Panggung Dagelan Senayan.Hingga Kasus Pelesiran GAYUS tertangkap camera sedang berlibur di pulau Dewata dikaitkan dengan Ical Bakri yang nonton karena kebetulan hobby Tenis.Kasus terakhir ini tak menyentuh substansi Hukum (Gayus gate) tapi telah menjadikan berbagai pihak merasa dirugikan serta ketidak adilan HUKUM.

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2009/10/28/83171/Kontrak-Politik-SBY-Berisi-Larangan-Membongkar-Skandal-Century

Arus Demo : "Jika engkau membiarkan seorang Wanita dipasang taring dan dianiaya publik atas kepentinganmu,maka kau bukan LAKI LAKI".

Ingat Sri Mulyani Indrawati,(SMI) lengser dengan tangisan diantara desakan HUKUM dan RAKYAT yang menghujat kebijakannya mengelontorkan UANG 6,7 Trilyun.Hasil rekomendasi paripurnapun disetujui oleh sebagian besar merela yang berkantor di Senayan Sri Mulyani dan Budiono ada diantara nama nama yang "diduga" harus diperiksa terkait Century Gate.SBY mengatakan Kebijakan tak dapat diadili,SMI pun di Eksport ke World Bank, Prestisius tapi ini bukanlah apa apa RAKYAT menilai ini adalah Praktek TOPENG Monyet.

Arus Demo : " Kriminalisasi KPK" Mengapa anda diam,pak Presiden ?

Semua memahami akan adanya upaya mengkriminalisasikan KPK ,dimulai dengan "MeRANIkan Antasari",Betapa tidak berbagai kejanggalan dalam Fakta sidang "antara Proyektil Peluru dan Pistol tak ada kecocokan",Bahkan Pistol rusakpun seakan di benarkan untuk sebuah Dagelan.Arus kriminalisasi KPK hingga saat ini terjadi,Kasus Bibit Chandra,antara Deponeering dan Konsekwensi HUKUM.Pemilihan Ketua KPK yang menyerap dana milyaran rupiah hingga saat ini Ketua Terpilih belum dilantik.Catatan Miring tentang Fakta fakta tak ada keadilan para Koruptor,Remisi dan pembebasan,RAKYAT,Mahasiswapun berdemo karena banyak hal korupsi tak dicermati secara serius.

Arus Demo : Rakyat Jogyakarta menggugat.

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang kelanjutan pembahasan rancangan UU status keistimewaan Yogyakarta dalam rapat kabinet beberapa waktu yang lalu mengundang reaksi keras dari masyarakat luas, khususnya warga DIY.

Reaksi serupa sebenarnya sudah muncul sejak wacana keistimewaan Yogyakarta hendak diatur kembali dalam UU yang baru beberapa tahun sebelumnya. Pada intinya masyarakat menganggap masalah keistimewaan Yogyakarta sudah final dan tidak perlu dibicarakan kembali. Upaya penghapusan terhadap keistimewaan itu dianggap sebagai pengingkaran dan pengkhianatan terhadap sejarah, khususnya peran Sultan HB IX selama masa-masa awal berdirinya Republik ini.

Sementara rakyat Jogya merenung atas pernyataan SBY,beberapa Politisi Partai Demokrat menggelinding Issue yang tak "sopan",bahkan terkesan kelewatan dan hanya (NATO) Ngomong Asal Tanpa Otak.Mubarok dengan Arogansi ala mubarok demikian pula Ruhut dengan membanggakan Amerika,saya sangat mencurigai pemikiran dua orang ini ( Mubarok & Ruhut) karena apapun yang diucapkan mereka SBY tetap diam.

Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengaku siap meladeni tantangan rakyat Yogyakarta, baik untuk berdebat, beradu konsep maupun unjuk kekuatan. "Aku siap ladeni tantangan mereka. Undang saya, pasti aku akan datang ke Yogja. Aku hadapi mereka," tandas Ruhut kepada INILAH.COM, Rabu (15/12/2010).

Bagi Ruhut, tak pernah ada cerita takut dan ciut nyali untuk berdebat dengan siapapun. "Saya ke Jakarta dari Medan nyebrang laut. Orang Yogja cuma naik kereta ke Jakarta. Jadi nggak ada takut bagi orang Medan kalau cuma debat. Di mana saja ayo, aku siap," tukasnya.

Anggota Komisi III DPR ini kembali menegaskan cara-cara yang dipakai para pendemo di depan DPRD DIY seperti cara-cara PKI. "Mereka memaksakan kehendak. Nama Pak SBY diplintir, apa itu bukan gaya-gaya PKI?," tanyanya.

Kalimat ini adalah pernyataan konyol dan sangat menyedihkan untuk diucap mungkin spanduk "SBY" (Sumber Bencana Yokya) yang dimaksud,tapi lucu sehari sebelumnya huruf "J" dan "Y", tak menjadikannya geram.Apakah Gorbachev akan mengiyakan kesimpulan saya tentang manusia aneh dan tak ada otaknya ini? bagaimana tidak RUHUT seakan ada punya PELINDUNG dan punya Frame yang sama untuk merusak tatanan NKRI melontarkan pernyataan yang dapat menyulut rasa kebencian.http://www.inilah.com/read/detail/1059922/ruhut-siap-ladeni-tantangan-rakyat-yogya .

Sementara Menteri Dalam Negri bersikukuh pada sisi yang bertentangan dengan Rakyat Jogyakarta ,jadi siapakah yang DEMOKRATIS?.Negri ini sudah penat jeritan jeritan ketidak adilan akankah menjadi gumpalan kekecewaan ?.

"Alam menyapa ,Jogyapun menjawab,negri meradang,akankah terjadi Kerusuhan POLITIK Tahun Depan? Adakah nasib baik SBY diantara kata kata "Sombong dan asal bunyi RUHUT"...

Senin, 06 Desember 2010

Soal Century, FOX Indonesia terlibat, Bendera Benar ! (Bambang Soesatyo)


Jakarta, seruu.com - Terkait dengan aksi Bongkar century Atau Bubarkan KPK yang dilakukan oleh Benteng Demokrasi Rakyat, Bambang Soesatyo anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar mengungkapkan bahwa apa yang disampaikan oleh aktivis Bendera adalah kebenaran.

"Saya kira apa, yang di sampaikan Bendera itu adalah fakta-fakta," ungkap Bambang saat diwawancara di DPR, Rabu (01/12).

Lebih lanjut ia menilai bahwa bubarnya Fox Indonesia pimpinan Rizal dan Zul Malarangeng patut diduga terkait dengan kasus Century.

"Saya kira bubarnya Fox Indonesia itu adalah penghapusan informasi dan penghilangan data-data yang patut di curigai," papar anggota Komisi III DPR RI tersebut.

quote_bambang_benderaPolitisi partai Golkar tersebut juga mengatakan bahwa ketidakhadiran Eddhy Baskoro Yudhoyono, Andi, Rizal dan Zul Malarangeng, Hartati Moerdaya, Hatta Rajasa dan Djoko Suyanto ke persidangan Mustar dan Ferdi yang mereka tuduh melakukan pencemaran nama baik terkait penyebutan nama mereka sebagai penerima aliran dana Century merupakan ekspresi ketakutan.

"Tidak datang karena apa? Tidak datang karena mereka takut terbongkar bendera itu, sebab saya melihat apa yang di bongkar Bendera itu adalah fakta kebenaran," ujar Bambang.

Bambang juga menyatakan bahwa hakim sebenarnya bisa saja memerintahkan agar Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa pembelanjaan terbesar di media cetak dan elektronik pada pemilu 2009 lalu.

"Kalau tidak gampang saja hakim perintahkan BPK sebagai lembaga independent untuk mengecek penjualan iklan, seluruh media masa termasuk elektronik dan media cetak pada saat pemilu legislatif dan pemilu pilpres 2009. Dan kemudian cek pembelanjaan terbesar siapa dan FOX membelanjakan berapa," jelasnya.

Bambang memperkirakan bahwa Fox akan menempati urutan pertama belanja iklan pada pemilu legislatif dan Pilpres 2009. "Dari situ akan terungkap semua darimana sumbernya dan saya yakin sumbernya adalah dari century," tuduh Bambang.

Sebelumnya Rizal Malarangeng dalam kesaksiannya di pengadilan mengatakan bahwa Fox Indonesia tidak memiliki keterkaitan dengan Century seperti yang dituduhkan oleh Bendera namun Rizal tidak menjelaskan asal dana Fox Indonesia.

Sebelumnya dalam konsprensi pers mengungkap penerima aliran dana century, Mustar dan Ferdi mengatakan bahwa Rizal dan Zul Malarangeng termasuk Fox Indonesia menerima aliran dana Century.

Selain itu Eddhy Baskoro Yudhoyono, Andi , Rizal dan Zul Malarangeng, Hartati Moerdaya, Hatta Rajasa, Djoko Suyanto, KPU menerima aliran dana Century.

Bambang: Bendera benar, soal Century, Fox Indonesia terlibat !

http://seruu.com/politik/bambang-bendera-benar-soal-century-fox-indonesia-terlibat/itemid-690


Kekhawatiran Bung Karno kini menjadi Kenyataan: MENJADI BANGSA BURUH DIANTARA BANGSA BANGSA !


Kekhawatiran Bung Karno kini menjadi Kenyataan:
MENJADI BANGSA BURUH DIANTARA BANGSA BANGSA dan
MENJADI BURUH di NEGERI SENDIRI !!

1. SISTEM EKONOMI MENGINGKARI AMANAT UUD'45 pasal 33

2. ASET & SUMBER DAYA ALAM NEGARA dijual MURAH kpd INVESTOR

3. NEGARA MAKIN TERJEBAK DLM HUTANG yang BESAR, MENGHILANGKAN KEMANDIRIAN dan menaikkan Beban Tiap Rakyat Indonesia

4. Sistem Demokrasi sudah dikuasai oleh Parpol2 bagai Neo-PKI (Neo Partai Kapitails Indonesia) / Segelintir ELit, dan Parpol tidak melaksanakan sebagai Partai yangmerealisasikan Aspirasi Rakyat

5. PENGAWASAN KEDAULATAN RAKYAT dan PENEGAKAN HUKUM sudah mulai RUNTUH, shg meruntuhkan TRIAS POLITIKA

6. Kepemerintahan dan Keuangan Negara makin DIKUASAI oleh Korupsi Berjamaah scra Massif dan Skandalis,

7. Mengancam GAGAL sebagai Negara, NKRIkini menjadi Doktrin Kekuasaan Negara Terpusat yg GAGAL merealisasikan KEADILAN dan Hilangkan Kebudayaan, Adat dan Kekayaan Rakyat Daerah

Jumat, 03 Desember 2010

UNDANGAN; Nilai2 Kesejahteraan Bangsa ” FREEPORT & RAKYAT PAPUA



" UNDANGAN TERBUKA :
NILAI-NILAI KESEJAHTERAAN BANGSA” FREEPORT & RAKYAT PAPUA

WAKTU DAN TEMPAT;
Seminar Sehari diadakan pada:
Hari/Tggl : Sabtu, 4, DESEMBER,2010.
JAM: 09.OO-14.00 WIB
Tempat : Pondok/penginapan AL-BAROKAH, JL. Balirejo.No.27.yogykarta


Integrasi Papua kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang belum juga mengantarkan rakyat Papua menuju kesejahteraan di bidang Ekonomi. Disatu sisi, Papua terjajah dibidang investasi, pelanggaran HAM dan penghancuan ekologi. Dominasi kapitalis yang meningkat di Tanah Papua, tidak menunjang kesejahteraan Rakyat Papua. Bangsa Papua mengalami penjajahan ekonomi dalam wujud investasi yang dibangun sepihak oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa melibatkan bangsa Papua.

Fakta keagungan PT. Freeport di Papua yang sudah beroperasi selama 40 tahun tidak mendorong tingkat kesejahteraan Bangsa Papua. Keberadaan PT. Freeport justru menghasilkan masalah ekonomi, ekologi dan menimbulkan pelanggaran HAM. Kehadiran perusahaan asal Amerika tersebut membuka kran baru bagi penistaan kemanusiaan dan pengrusakan ekologi besar-besaran di bumi Papua. Kondisi ini sudah sangat memprihatinkan sehingga sangat mendesak untuk menyuarakan lebih keras hak-hak kemanusiaan dan lingkungan hidup bangsa Papua. Terutama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Papua sesuai cita-cita perjuangan bangsa dalam mensejahterakan seluruh rakyat dari Aceh hingga Papua.

Sejak aneksasi dengan Indonesia tahun 1967 sampai sekarang, Papua hanya dijadikan ladang investasi yang menguntungkan secara ekonomi bagi Indonesia dan Negara-negara lain yang menanakan sahamnya di Papua. Kesenjangan kesejahteraan jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, Papua jauh tertinggal. Padahal daerah ini memiliki sumberdaya alam yang melimpah.

Dinamika inilah, seminar kesejahteraan bangsa digagas untuk menyamakan pandangan dan memberi solusi akan problem bersama demi membangun kesejahteraan bangsa Papua, dan tentunya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan menyimak kondisi Papua sejak 11 rekomendasi Majelis Rakyat Papua hasil musyawarah besar (mubes) bersama masyarakat asli Papua yang diselenggarakan pada 9-10 Juni lalu. Isi rekomendasi itu ialah:

Pertama, bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus harus diserahkan kembali kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Kedua, Bahwa orang Papua menuntut suatu DIALOG diadakan, dimediasi oleh mediator internasional netral.

Ketiga, Bahwa orang-orang Papua menuntut diadakannya sebuah REFERENDUM diarahkan menuju kemerdekaan politik. Keempat, Bahwa orang Papua menuntut Pemerintah Republik Indonesia mengakui pemulihan kedaulatan Rakyat Papua Barat yang diproklamasikan pada 1 Desember 1961.

Kelima, Bahwa rakyat Papua mendesak masyarakat internasional untuk memaksakan embargo atas bantuan internasional yang disediakan untuk pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua.

Keenam, Bahwa tidak ada perlu untuk dilakukan revisi UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua dan Papua Barat, dengan mengacu pada UU 35/2008 tentang Perubahan UU 21/2001, mengingat bahwa undang-undang tersebut terbukti telah GAGAL.

Ketujuh, Bahwa semua proses untuk pemilihan kepala daerah di seluruh Tanah Papua harus dihentikan, dan meminta Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat, DPRP, the-Papua Barat DPRD, dan bupati dan walikota di seluruh Tanah Papua untuk segera menghentikan penyediaan dana untuk penyelenggaraan pemilihan ini.

Kedelapan, Bahwa Pemerintah Pusat, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat serta seluruh kabupaten dan kota di Papua akhir Lahan transmigrasi dari luar Papua dan memberlakukan pengawasan ketat pada arus migrasi oleh orang-orang dari luar Tanah Papua.

Kesembilan, Bahwa rakyat Papua mendesak Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP dan DPRD Papua Barat untuk membebaskan semua tahanan politik Papua ditahan di penjara-penjara di mana-mana di Indonesia.

Kesepuluh, Bahwa Pemerintah Pusat segera melakukan demiliterisasi di seluruh Tanah Papua. Kesebelas, Bahwa MRP dan masyarakat asli Papua mendorong PT Freeport Indonesia segera ditutup.

Point ke-11 ini adalah bentuk nyata dan mendesak untuk diselesaikan. Akumulasi ketidakadilan ekonomi selama kehadiran Freeport harus ditata secara baik demi membangun ekonomi bangsa secara bermartabat.


" UNDANGAN TERBUKA UNTUK SIAPA SAJA"


TINUS PIGAI
KETUA

Selasa, 30 November 2010

Agresi Militer Belanda II ke Yogyakarta 19 Desember 1948


Dec48.gif


Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.


Serangan ke Maguwo

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai."

Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.

Pemerintahan Darurat

Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.

Pengasingan Pimpinan Republik

Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen. [1]

Gerilya

Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII.

Catatan kaki

  1. ^ MENTOK DAN PANGKALPINANG SUMBER PERCATURAN DIPLOMASI INTERNASIONAL oleh Akhmad Elvian [1]
Sumber : Agresi Militer Belanda II ke Yogyakarta 19 Desember 1948

Rabu, 24 November 2010

Persepsi tentang Indonesia di Arab Saudi. (Yon Machmudi)


Secara demografi Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Dengan demikian, Islam tidak lagi identik dengan etnik Arab tetapi lebih dekat dengan etnik Melayu (Asia Tenggara). Ini disebabkan karena sebagian besar jumlah penduduk Muslim terbesar berada di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Tentu bukan suatu hal yang berlebihan jika saat ini Indonesia merupakan negara yang lebih berhak untuk mewakili kepentingan dunia Islam dari pada kaum Muslim dari Timur Tengah. Negara-negara Barat sendiri, seperti Amerika Serikat dan Australia misalnya, berharap Indonesia lebih berperan dan aktif terlibat dalam menyelesaikan konflik-konflik di Timur Tengah dan dunia Islam.

Namun demikian, negara Indonesia ternyata belum optimal memainkan perannya sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan di dunia Islam. Masyarakat di Timur Tengah, terutama Arab Saudi belum menganggap Indonesia sebagai negara penting dan sejajar sehingga patut dipertimbangkan kehadirannya di kawasan Timur Tengah. Banyak hal yang membuat posisi Indonesia di dunia Arab ini kurang diperhitungkan. Indonesia yang dulunya dikenal sebagai negeri para kaum cendikia dan ulama, kini lebih dikenal dengan negeri para pramuwisma. Apabila pada abad ke-18 M hingga akhir abad ke-20 M posisi Ulama Indonesia sangat disegani tetapi semenjak tahun 1980-an posisi itu bergeser dan berubah secara drastis. Indonesia tidak lagi disegani tetapi justru sering dilecehkan. Perubahan persepsi ini tentu berlangsung dalam waktu yang sangat panjang dan telah membentuk semacam sikap (behavior) dalam memperlakukan dan menempatkan Indonesia dalam hubungan internasional.

Perubahan-perubahan persepsi ini secara umum disebabkan oleh dua faktor :

Pertama, perubahan persepsi itu terjadi seiring dengan hilangnya peran keulamaan para pendatang dari Indonesia yang menetap di Arab Saudi (Mukimin). Hilangnya peran keulamaan itu disebabkan oleh perubahan politik dan orientasi keagamaan yang terjadi di Arab Saudi sejak sejak abad ke-18 M ditandai dengan berkuasanya para dinasti al-Saud yang mengakomodasi secara total doktrin Muhammad bin Abdul Wahab (1701-1793 M). Orientasi keagamaan Abdul Wahab yang dikenal keras dan tidak mengenal kompromi inilah yang kemudian menggusur peran ulama-ulama tradisional. Ulama-ulama itu sebagian besar berasal dari Asia Tenggara, terutama Indonesia.

Kedua, munculnya Arab Saudi sebagai negara petro dollar telah menjadikan negara ini menjadi pusat tujuan para pencari kerja terutama pekerja-pekerja informal. Sejak tahun 1970-an gelombang besar-besar tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia telah mengalir ke Arab Saudi. Keberadaan tanaga kerja wanita yang bekerja di sektor rumah tangga inilah kemudian mendominasi kelompok warga negara Indonesia di Arab Saudi. Akibatnya, dalam sehari-sehari masyarakat Arab Saudi lebih banyak mengenal Indonesia sebagai negerinya para pembantu rumah tangga dari pada suatu negeri yang banyak mencetak para cendikia dan ulama ternama berkaliber internasional.

Memudarnya Peran Ulama Indonesia

Kondisi para pendatang dari Indonesia (mukimin) saat ini tentu sangat kontras apabila dibandingkan dengan para pendahulu mereka pada abad ke-17 masehi sampai akhir abad ke-20 masehi. Di abad-abad ini bangsa Indonesia sangat disegani di Arab Saudi karena keberadaan para ulama Nusantara di tanah suci. Mereka banyak menulis kitab yang dijadikan rujukan Muslim di dunia, termasuk di Timur Tengah. Bahkan di antara mereka ada yang menduduki posisi sebagai imam masjid dan mufti besar di Masjidil Haram, seperti Imam Nawawi al-Bantani. Mereka dikenali sebagai orang Indonesia dengan melihat nama belakang yang menunjukkan asal daerah, seperti al-Batawi, al-Bantani, al-Jawi, al-Falimbani dan al-Banjari.

Dua kota suci, al-Haramain, merupakan pusat berkumpulnya ulama-ulama dunia. Haramain menjadi kota internasional di mana para ulama dari berbagai dunia berkunjung untuk menunaikan ibadah haji kemudian menentap untuk menuntut ilmu dan mengembangkan otoritas keagamaan mereka. Rata-rata mereka yang memiliki kedudukan terhormat di Haramain adalah para ulama mancanegara dari anak benua India, Persia, Asia Tenggara dan Afrika. Di antara ulama terkenal abad ke-17 M yang kemudian menjadi guru para ulama-ulama berikutnya adalah Ahmad al-Qusyasyi (lahir 1586) dan Ibrahim al-Kurani (lahir 1667 M).

Mereka ini dianggap sebagai tokoh sentral karena banyak ulama-ulama terkenal internasional pada zamannya, termasuk ulama-ulama Indonesia yang datang belakangan mememiliki garis intelektual (intellectual geneologis) dengannya.[1] Hubungan terjadi secara informal melalui patron guru dan murid yang kemudian berkembang menjadi sebuah jaringan yang kokoh. Sebagaian besar jaringan ini dibentuk oleh model gerakan tarekat karena kuatnya interaksi antara sang guru dan para murid-muridnya. Tentu saja kekokohan para guru tarekat di tanah suci ini juga ditopang oleh lembaga keagamaan yang ada pada waktu itu yaitu halaqah dan ribat (semacam pondok pesentren).[2]

Keberadaan ulama-ulama Indonesia (Jawi) mulai memperlihatkan peran yang signifikan sejak akhir abad ke-17 M. Abdul Rauf al-Sinkili (1615-1693) ulama asal Aceh, misalnya menetap di Haramain selama 19 tahun dan mendapatkan otoritas tertinggi tarekat Satariyah.[3] Dia adalah murid ulama Aceh asal Gujarat (India) Nuruddin Ar-Raniri (w. 1685). Selama menetap di Haramain, al-Singkili berguru dengan al-Qusyasyi dan al-Kurani. Berbeda dengan gurunya, ar-Raniri yang sangat keras menentang ajaran tasawuf falsafi, al-Singkili lebih moderat dalam menyikapi ajaran-ajaran sufistik. Disebutkan juga bahwa al-Singkili selalu melaporkan perdebatan-perdebatan di Aceh tentang persoalan tasawuf kepada gurunya, al-Kurani, yang menetap di Mekah.[4] Bahkan fatwa ar-Raniri yang menghukum Hamzah Fansuri dan pengikutnya sebagai kafir dan layak untuk dihukum mati mendapat perhatian khusus dari al-Kurani. Al-Kurani menyebutkan adanya masalah dari wilayah yang disebut min ba’dh jaza’ir Jawa disebabkan karena pemahaman sang sufi yang terlalu rumit sehingga tidak mampu menjelaskan kepada pihak lain sementara ulama yang menghukumi kafir itu dianggap terlalu literal dan menyalahi ajaran Nabi Muhammad.[5]

Murid al-Kurani dari Indonesia yang lain adalah Syekh Yusuf al-Makassari (lahir 1626 M). Al-Makassari adalah orang pertama pembawa tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Dia banyak menulis buku-buku berbahasa Arab dengan gaya penulisan seperti lazimnya orang Arab asli. Di antara bukunya yang terkenal adalah Safinah al-Najah sementara buku-buka lain berbahasa Arab belum ditemukan. Sosok al-Makassari ini memiliki otoritas yang cukup tinggi di dunia tasawwuf.

Dia tidak hanya mendapatkan ijazah tarekat Naqsyabandiyah tetapi juga tarekat Qadiriyah dan Syattariyah. Hampir 25 tahun lamanya, al-Makassari menetap di dunia Arab di awali di Yaman, Arab Saudi (Mekah dan Madinah) dan kemudian pindah ke Damaskus. Karena otoritasnya di dunia tasawwuf inilah kemudian dia dijuluki Syekh Taj al-Khalwati al-Makassari.[6]

Syekh Yusuf al-Makassari mengakhiri hidupnya di Afrika Selatan dan dianggap sebagai tokoh besar di benua Afrika dan juga di Srilanka. Semasa di Haramain waktunya banyak digunakan untuk belajar dan mulai menyebarkan pengaruhnya setelah kembali ke tanah air dan menyebarkan Islak ke Srilanka dan Afrika Selatan. Karenanya, nama Syekh Yusuf lebih dikenal di Afrika Selatan dari pada di tanah suci.

Abdussamad al-Falimbani (wafat 1789) adalah ulama Nusantara di tanah suci keturunan Hadrami dilahirkan di Palembang. Berbeda dengan Syekh Yusuf al-Makassari, Abdussamad ini tidak pernah lagi kembali ke Indonesia setelah menetap di tanah suci.[7] Namun demikian figur Abdussamad sangat dikagumi di Nusantara karena banyaknya karya-karya yang ditulis dalam bahasa Melayu. Sebagian besar karya-karya itu menjelaskan tentang pemikiran al-Ghazali. Tidak mengherankan apabila di tanah suci itu, sosok Abdussamad ini lebih dikenal dengan keahlian khususnya dalam menjelaskan karya-karya al-Ghazali, terutama kitab Ihya Ulumuddin. Dua karyanya Hidayah al-Salikin dan Sair al-Salikin merupakan saduran dari pemikiran-pemikiran al-Ghazali.[8]

Pada awal abad ke-19 M, di tanah suci muncul ulama besar dari Kalimantan. Ulama itu adalah Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Nama al-Banjari menjadi sangat terkenal di Haramain dan hingga saat ini para pendatang asal Kalimantan ini masih dijuluki sebagai orang-orang Banjar. Al-Banjari menghabiskan waktunya sekitar 40 tahun di tanah suci dan kembali berdakwah di kampung halamannya di Banjar, Kalimantan Selatan. Menurut cerita Muhammad Arsyad sejak kecil memiliki keahlian luar biasa dalam menulis kaligrafi. Karena keahlian menulis kaligrafi akhirnya pada usia 7 tahun dia diangkat anak oleh Sultan Banjar hingga usia 30 tahun. Di tanah suci dia banyak berguru dengan ulama-ulama Melayu seperti Syekh Abdurahman bin Abdul Mubin al-Fatani (Thailand Selatan), Syekh Muhammad Zein bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syekh Muhammad Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Dia juga menjadi murid Syekh Attailah penulis Kitab al-Hikam. Di tanah suci, ulama ini dikenal dengan keahliah qiraah dan menuliskannya dengan kaligrafi Banjar. Karya-karya yang terkenal antara lain Tuhfah ar-Raghibin dan Sabilul Muhtadin serta masih banyak karya-karya lain yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu karena sengaja ditujukan kepada murid-muridnya di Indonesia.

Ulama Indonesia yang paling dikagumi dan memiliki karir keulamaan tertinggi di Tanah Suci adalah Nawawi al-Bantani (1813-1879). Tidak hanya dihormati oleh komunitas Jawi tetapi juga di antara ulama-ulama di Haramain.

Di samping mengajar di halaqah-halaqah di Masjidil Haram an-Nawawi juga menjadi salah seorang mufti di Haramain. An-Nawawi sendiri mendapatkan julukan Syaikh al-Hijaz (penghulu ulama di dua tanah suci).[9]

Al-Bantani juga pernah memberikan pengajian di masjid al-Azhar, Mesir, atas undangan Syekh Ibrahim al-Bayjuri, mufti agung Mesir kala itu. Beberapa karya al-Bantani antara lain Tîjân al-Durarî (tawhid), Sullam al-Najât, Kâsyifah al-Sajâ, Sullam al-Tawfîq, al-Tsamrah al-Yâni'ah 'ala Riyâdh al-Badî'ah, Tawsyîkh 'alâ Fath al-Qarîb, Nihâyah al-Zain (fikih), Qatr al-Ghayts, Tanqîh al-Qawl (hadits), Minhâj al-'Ibâd (tasawuf), 'Uqûd al-Lujayn (psikologi rumah tangga), Murâh Labîd aw al-Tafsîr al-Munîr (tafsir) dan lain-lain.[10]

Di samping Syekh Nawawi al-Banteni, ulama Nusantara yang sangat produktif adalah Syekh Mahfuzh al-Turmusi (1842-1920) berasal dari Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dia banyak menulis beberapa komentar atas komentar (hasyiah) terhadap beberapa kitab fikih induk mazhab Syafi'i, seperti al-Minhâj, Fath al-Wahhab dan al-Iqna. Beberapa komentar itu kemudian dikenal dengan sebutan Hâsyiah al-Turmusî dan ditulis dalam beberapa jilid. Beliau juga menulis al-Siqâyah al-Mardhiyyah fî Asmâ al-Kutub al-Fiqhiyyah li Ashhâb al-Syâfi'iyyah (ensiklopedi kitab-kitab fikih mazhab Syafi'iy), Manhaj Dzaw al-Nazhar fi Manzhûmah Ahl al-Âtsâr (metodologi hadits), dan al-Fawâid al-Turmusiyyah fi Asmâ al-Qirâ'ah al-'Asyriyyah (tajwid-qira'ah sepuluh).

Melalui hasil didikan al-Banteni dan al-Turmusi kemudian lahirlah ulama-ulama Indonesia di Timur Tengah abad ke-20 yaitu Syekh Ihsan Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri (Jampes, Kediri, Jawa Timur) dan Syekh Muhammad Yasin ibn 'Isa al-Fadani (Padang). Al-Jamfasi adalah penulis kitab Sirâj al-Thalibîn 'alâ Minhâj al-'Âbidîn terdiri dari dua jilid berisi komentar atas karya tasawuf Imam al-Ghazali dan Manâhij al-Amdâd (tasawuf).

Kitab ini pernah dijadikan sebagai salah satu bahan ajar dan referensi (muqarrar) di Universitas al-Azhar Al-Fadani (1917-1990). Yang unik dari sosok Syekh Ihsan Dahlan ini adalah bahwa dia tidak pernah menetap di dunia Arab dalam waktu lama kecuali untuk kunjungan singkat untuk tujuan haji saja tetapi kemampuannya dalam menuliskan pemikirannya dalah bahasa Arab sangat luar biasa. Kitab Sirâj al-Thalibîn ini disamping diterbitkan di Indonesia juga diterbitkan oleh penerbit-penerbit dari Timur Tengah dan Afrika. Di Afrika kitab ini banyak digunakan di Maroko dan Mali. Bahkan di dua negara Afrika itu mereka yang menggunakan kitab Syekh Ihsan Dahlan ini tidak mengetahui apabila sang penulis itu berasal dari Indonesia karena identitas penulis menggunakan nama tambahan al-Jampasi al-Kadiri bukan al-Andunisi.

Al-Fadani sendiri adalah guru besar hadits dan ushul fikih di perguruan Dâr al-‘Ulûm Mekkah. Ia menulis banyak buku berjilid-jilid tentang hadits, ushul fikih dan tasawwuf. Kitab-kitab yang ditulisnya antara lain, kitab al-Fawâid al-Janniyyah 'alâ al-Farâ'id al-Bahiyyah fî al-Qawâ'id al-Fiqhiyyah, Hâsyiah 'alâ al-Asybâh wa al-Nazhâ'ir fi al-Furû' al-Fiqhiyyah, Fath al-'Allâm Syarh Bulûgh al-Marâm dan al-Durr al-Mandhûd fî Syarh Sunan Abî Dâwud. Mufti besar al-Azhar, Prof.Dr. Ali Jum'ah Muhamad, bahkan menyandarkan silsilah haditsnya pada al-Fadani yang dikenal ulama bersahaja di Mekah ini. Ini dapat dilihat kitab yang dijadikan sandaran oleh Ali Jum’ah yaitu kitab Hâsyiah Jawharah al-Tawhîd karangan Syekh Ibrahim al-Bayjuri yang bermuara pada seorang ulama Nusantara asal Padang, yaitu Syekh Muhammad Yasin ibn 'Isa al-Fadani.

Kuatnya peran ulama-ulama Indonesia dapat dibuktikan dengan penghargaan bangsa Arab kepada mereka. Memang tidak dapat dibuktikan sejak kapan orang-orang yang berasal dari Bilad Jawa ini mendapatkan penilaian yang demikian tinggi di Mekah. Catatan-catatan sejarah Mekah sendiri jarang sekali menyebut peran orang-orang dari Bilad Jawa ini meskipun secara berabad-abad telah mengirimkan rombongan-rombongan haji ke Tanah Suci. Justru perhatian sejarah Mekah banyak menceritakan tentang orang-orang India yang kaya raya.[11]

Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa selama kunjungannya di Mekah 1885 dia mencatat sebanyak 8.000 – 10.000 orang-orang Melayu tinggal di Haramain dan memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan spiritual di di tanah air mereka.[12] Kebanyakan dari mereka adalah para penuntut ilmu, profesor, pemandu wisata dan para pemimpin tarekat.[13]

Memang agak mengherankan mengapa catatan-catatan sejarah Mekah sendiri tidak memuat tentang kontribusi ulama-ulama Indonesia itu sehingga pengaruh dan penghormatan terhadap ulama-ulama Jawa lebih didasarkan pada cerita-cerita lisan masyarakat setempat dan pengamatan orang-orang Eropa.

Untungnya, karya-karya para ulama Indonesia yang disebutkan di atas telah ditulis dalam bahasa Arab dan tersebar luas di dunia Arab dan Afrika terutama sejak abad ke-18 M.

Sementara sampai awal abad ke-20 M keberadaan ulama-ulama Indonesia dan para Mukimin di Haramain masih diperhitungkan. Ini dapat dibuktikan dengan dikabulkannya tuntutan utusan Indonesia yang tergabung dalam Komite Hijaz pada tahun 1925 agar makam-makam para sahabat dan makam Nabi Muhammad tidak dipugar oleh pihak kerajaan Arab Saudi. Keberhasilan diplomasi revolusi Indonesia di Timur Tengah juga karena simpati mereka terhadap perjuangan bangsa Indonesia dan penghormatan mereka pada orang-orang Indonesia yang ada di Timur Tengah.[14]

Untuk menghargai dan menelusuri karya-karya ulama Indonesia di masa lalu terutama beberapa naskah-naskah keagamaan yang belum ditemukan perlu adanya usaha serius untuk menggali dan menerbitkan karya-karya mereka. Salah satu usaha penting yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementrian Agama Republik Indonesia adalah melakukan pengkajian terhadap naskah-naskah ulama Nusantara untuk dapat diterbitkan dan dibaca oleh khalayak umum. Program itu diawali oleh Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta yang mengadakan Program Tahqiqul Kutub Ulama Nusantara.

Di antara hasil dari program itu adalah ditetapkannya beberapa karya-karya penting untuk dilakukan penyuntingan naskah dan kemudian diterbitkan. Karya-karya itu antara lain, Fathul Mujib fi Syarh Mukhtashar al-Khatib, karya Syekh Nawawi al-Bantani. Ghunyatul Thalabah dan Takmilah Mauhibah Dzil Fadl, keduanya Karya Syekh Mahfudz at-Turmusi. Tahshil Nail al-Maram li Bayani Mandhumat 'Aqidatil Awam, karya Syekh Sihabuddin bin Syekh Arsyad al-Banjari. Anisul Muttaqien dan Nashihah al-Muslimin wa Tazkirah Al-Mu’minin, karya Syekh Abdussamad al-Falimbani. Syamsul Anwar,Tahsinul Awlad, dan Tanqiyatul Qulub Fii Allamil Qhuyub merupakan karya Idrus Qaimuddin al-Buthani asal Buton, Siraj at-Thalibin dan Manahij al-Imdad karya Kyai Ihsan Jampes, Kediri.[15]

Syekh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadani adalah ulama Indonesia terakhir yang karya-karyanya dibaca di Timur Tengah. Sejak wafatnya al-Fadani di tahun 1990 dan tutupnya madrasah Darul Ulum di Mekah tempatnya untuk mengaktualisasikan keilmuannya itu, peran ulama-ulama Indonesia semakin memudar dan bahkan hilang sama sekali.

Azyumardi menilai bahwa banyak faktor yang menyebabkan hilangnya peran keulamaan keturunan Indonesia di Arab Saudi.[16]

Pemahaman ulama-ulama Indonesia yang berorientasi pada pengamalan tasawuf jelas tidak sesuai dengan ajaran formal keagamaan di Arab Saudi.

Di samping karena kebijakan penguasa yang mengadopsi gerakan Islam yang dimotori oleh Muhammad bin Abdul Wahab faktor-faktor lain juga berkontribusi terhadap merosotnya peran ulama Indonesia di Arab saudi, antara lain karena kebijakan pemerintah Saudi untuk melakukan sentralisasi dan pengaturan terhadap lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dan berbagai batasan-batasan terhadap para pendatang non Saudi.

Tidak hanya itu penerbitan-penerbitan di Saudi juga dikontrol oleh pemerintah sehingga tidaklah mudah untuk menerbitkan karya-karya ulama yang tidak sesuai dengan orientasi keagaamaan di Saudi.

Tidak hanya itu pemerintah Saudi juga cenderung membatasi akses para mukimin menuntut ilmu ke perguruan tinggi dan juga membatasi penerbitan karya-karya mereka dengan alasan untuk mengurangi popularitas kepakaran dan pengaruh para mukimin melebihi orang-orang Saudi itu sendiri. Akibatnya, karya-karya ulama Indonesia pun mulai sulit ditemukan dan kalaupun ada biasanya dijualbelikan secara sembunyi-sembunyi.[17]

Menghilangnya peran ulama-ulama Indonesia kemudian digantikan dengan masuknya para pendatang dari Indonesia yang beroreintasi pada pemenuhan kebutuhan materi dari pada untuk menuntut ilmu.

Para pendatang ini pada umumnya didomisi oleh pekerja-pekerja wanita domestik atau dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Wanita (TKW). Apabila pada masa lalu para pendatang dari Indonesia didominasi oleh kelompok penuntut ilmu maka gelombang berikutnya justru dipenuhi oleh para pekerja kasar yang sengaja mencari nafkah di Arab Saudi.

Tidak jarang dari mereka bahkan tidak memahami ajaran-ajaran agama karena berasal dari daerah-daerah pedesaan yang memang kurang memperhatikan persoalan-persoalan agama. Mereka juga sebagian besar tidak memahami budaya dan tradisi yang berlaku di Arab Saudi.

Dominasi Pekerja Domestik Indonesia

Citra Indonesia di Arab Saudi saat ini dapat dikatakan sangat buruk. Salah seorang guru besar dari UIN Jakarta, Muslimin Nasution, menyatakan bahwa dahulu apabila disebut nama Indonesia orang-orang Arab langsung membayangkan ulama-ulama di Masjidil Haram tetapi sekarang hal itu tidak terjadi lagi.[18]

Bahkan karena terganggu dengan citra negatif ini para mahasiswa dan tokoh Indonesia dari kalangan mukimin di Indonesia mendesak pemerintah untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja domestik ke Arab Saudi.[19] Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun pada tahun 2000 pernah mengeluarkan sebuah fatwa tentang larangan pengiriman tenaga kerja wanita Indonesia ke luar negeri, termasuk ke Arab Saudi.[20]

Perubahan persepsi dari 'masyarakat cendikia' menuju 'masyarakat pramuwisma' tentu dapat dipahami. Indonesia kemudian lebih dikenal sebagai bangsa para pramuwisma rendahan.

Bahkan lebih dari itu para pekerja wanita asal Indonesia pun sering diasosiakan dengan praktik-praktik pelacuran di Arab Saudi. Akibatnya, persepsi negatif itu kemudian terus berkembang sehingga banyak warga Arab Saudi yang menilai Indonesia sekedar sebagai negeri para pramuwisma yang dihinakan. Ada istilah yang lazim diucapkan oleh warga Arab Saudi, Andunisiun musykilah (orang-orang Indonesia membawa masalah).

Dalam laporan majalah Gatra pada tahun 2003 disebutkan bahwa sekitar 118 wanita Indonesia ditangkap di Arab Saudi karena kasus prostitusi.[21] Pada tahun 2006 dan 2007 warga negara di Indonesia yang telah diderpotaasi masing-masing sebanyak 23.150 dan 22.116 orang.[22] Di bulan Januari 2010 lalu sebuah stasiun televisi national Arab Saudi, One Channel, menayangkan penggerebekan sebuah apartemen di Riyadh yang melibatkan orang-orang Bangladesh dan seorang wanita Indonesia terkait kasus sindikat obat-obatan terlarang.[23]

Hingga saat ini jumlah para mukimin Indonesia secara keseluruhan yang ditangkap dan dipenjarakan oleh para aparat kepolisian Arab Saudi karena pelanggaran imigrasi, kriminal dan prostisusi sudah ratusan ribu.

Di samping itu juga para pembantu rumah tangga dari Indonesia juga tidak jarang mengalami penyiksaan dan kekerasan dalam bekerja. Seringnya kejadian penyiksaan ini sendiri juga merupakan cerminan kondisi keluarga-keluarga Arab Saudi itu sendiri yang memang tidak asing dengan tindakan-tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam sebuah penelitian di Riyad misalnya diketahui bahwa hampir 85% anak-anak sekolah di Riyad pernah mengalami tindakan kekerasan di rumah mereka baik yang dilakukan oleh orang tua maupun saudara-saudaranya.[24]

Tidak adanya perlindungan bagi tenaga kerja domestik di Arab Saudi inilah yang menjadi pemicu terjadinya tindakan-tindakan kekerasan terhadap pekerja wanita Indonesia. Namun demikian faktor budaya yang berbeda juga berpengaruh terhadap munculnya kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan berperilaku.

Kondisi terbaik TKW Indonesia di Qatar misalnya jauh lebih baik dibanding di Arab Saudi karena pemerintah Indonesia telah menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) dengan pihak pemerintah Qatar mengenai perlindungan tenaga kerja di sektor domestik.[25]

Sebenarnya sejak tahun 1978 pemerintah Saudi mulai memberlakukan peraturan pembatasan jumlah mukimin dengan cara menangkapi dan memulangkan semua warga negara asing yang tidak memiliki surat ijin tinggal. Hanya saja karena gelombang pengiriman tenaga kerja Indonesia terutama tenaga wanita (TKW) tidak dapat dikendalikan maka keberadaan mereka juga semakin tidak teratur.

Arab Saudi semakin mempersulit ijin tinggal dan tidak lagi memberikan kewarganegaraan kepada warga asing meskipun mereka lahir di Saudi Arabia. Akibatnya, banyak warga negara Indonesia di Saudi tidak lagi memiliki kewarganegaraan. Mereka mengaku orang Indonesia tetapi tidak berbahasa dan berpaspor Indonesia.[26]

Kesan negatif tentang Indonesia menjadi semakin buruk ketika dijumpai banyak pekerja wanita Indonesia berprofesi sebagai prostitusi dan pada umumnya dikenal dengan bayaran yang sangat murah. Rata-rata mereka dibayar 50 riyal untuk sekali kencan sementara para pelacur dari Pilipina, misalnya, dihargai 200 riyal. Wanita-wanita Indonesia pun sering dijuluki “abu khamsin� (barang seharga 50 riyal). Praktik-praktik pelacuran terselubung ini tidak hanya terjadi di kota-kota seperti Thaif, Riyadh dan Jedah yang memang lebih longgar pengawasannya tetapi terjadi di Mekah dan Madinah yang dikenal sebagai dua kota suci.[27]

Ada julukan lain yang diberikan kepada para wanita Indonesia, “Siti Rahmah.� Sepintas julukan ini memberi kesan pujian, yaitu wanita yang memberikan kasih sayang, tetapi apabila diteliti lebih lanjut maka terlihat bahwa maksud dari julukan itu justru melecehkan.[28]

Ungkapan “Siti Rahmah� itu diucapkan dengan nadah cemoohan, berkonotasi syahwat. Julukan ini sepadan dengan sebutan “Indon� bagi warga Indonesia di Malaysia, bahkan mungkin lebih rendah.[29]

Kesan Indonesia sebagai negara para pramuwisma sungguh melekat di benak sebagian besar masyarakat Arab Saudi. Pramuwisma yang bekerja informal ini telah menanamkan kesan yang sangat dalam kepada anak-anak Arab tentang wanita-wanita Indonesia dan bangsa Indonesia secara umum. Sikap mereka yang kurang menghormati para pembantu Indonesia dipastikan akan terus terbawa hingga mereka dewasa. Untuk jangka panjang, cara pandang yang menganggap rendah akan mempengaruhi sikap generasi-generasai muda Arab Saudi dalam berinteraksi dengan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Di samping itu, banyak para pejabat negara Arab Saudi yang mempekerjakan wanita-wanita Indonesia di rumah mereka, baik itu secara legal maupun illegal.[30] Jumlah tenaga kerja wanita yang bekerja sebagai pramuwisma legal mencapai 700.000 orang sementara ditambah dengan yang ilegal bisa mencapai tiga kali lipatnya.[31] Apabila diambil rata-rata setiap 4 rumah warga Arab Saudi mempekerjakan satu pramuwisma dari Indonesia.[32] Dibanding dengan negara-negara lain di Timur Tengah, jumlah tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi menempati posisi tertinggi.

Berdasarkan data dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) periode Februari-Desember 2009 jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi berjumlah 214.824 orang yang terdiri dari 212.645 orang di sektor informal dan 2.179 orang di sektor formal. Jumlah pekerja Indonesia di Qatar 7.194 orang dan Emirat Arab 28.561. Komposisi terbesar adalah pekerja di sektor informal (domestik).[33]

Profesi pramuwisma tidak hanya dipandang rendah, setara dengan budak tetapi juga dianggap pekerjaan yang tidak bermartabat. Budaya agama yang berlaku di Timur Tengah (Arab Saudi) juga menganggap tidak layak seorang wanita sendirian tanpa muhrim meninggalkan rumah untuk bekerja di luar negeri. Secara budaya eksistensi pramuwisma di Arab Saudi sebenarnya menggambarkan rendahnya Indonesia di Timur Tengah sementara dari sisi agama dianggap sebagai pelanggaran ajaran agama Islam karena membiarkan wanita-wanita tanpa muhrim bekerja ke luar negeri untuk dieksploitasi. Dalam pembicaraan sehari-hari banyak orang Arab Saudi yang sering mempertanyakan keberadaan kaum laki-laki Indonesia.[34]

Secara umum, kondisi mukimin Indonesia di Timur Tengah mulai berubah ketika masuknya gelombang pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah pada tahun 1970-an. Para mukimin yang dulunya merupakan ulama besar disegani di tanah suci, kini didominasi oleh para pramuwisma dan pendatang-pendatang yang sebagian besar menjadi persoalan di Arab Saudi. Mantan Menteri Agama Republik Indonesia, Maftuh Basuni, pernah menyampaikan bahwa dahulu para mukimin Indonesia itu adalah para penuntut ilmu, kemudian pulang ke tanah air akan menjadi ulama tetapi sekarang sebagian besar mereka adalah para pekerja yang tidak mempunyai pengetahuan apa-apa. Akibatnya, banyak dari mereka yang melakukan tindakan kejahatan termasuk juga menganggu para jamaah haji dari Indonesia.[35] Naiknya jumlah pelajar dan mahasiswa di Arab saudi dari tahun ke tahun tidak berdampak pada pencitraan terhormat bangsa Indonesia. Apalagi sering dijumpai mereka memiliki izin tinggal untuk belajar tetapi tidak digunakan semestinya, banyak dari mereka yang tidak belajar sama sekali.[36] Persoalan-persoalan imigrasi, kriminal dan pelacuran menjadi hal yang biasa terjadi pada para pendatang dari Indonesia. Bahkan banyak di antara para mukimin dari Indonesia itu melakukan pencurian dan penipuan kepada para jamaah dari Indonesia sendiri.

Diplomasi Indonesia di Timur Tengah

Bagaimana persepsi masyarakat Arab Saudi yang negatif terhadap Indonesia itu berpengaruh terhadap hubungan dan diplomasi di antara kedua negara? Secara umum sikap kebijakan luar negeri (foreign policy behavior) ditentukan oleh banyak faktor, antara lain faktor sejarah, budaya, geostrategi, militer, ekonomi, sumber daya alam, sistem pemerintahan dan posisi negara dalam tatanan politik internasional.[37] Sikap suatu negara terhadap negara yang lain juga dipengaruhi oleh sejauhmana negara tersebut memposisikan negaranya di hadapan negara lain. Negara yang secara ekonomi lebih maju akan menempatkan pada posisi tinggi dalam hirarki politik global sementara negara miskin menempati posisi rendah. Dalam hal ekonomi Indonesia dianggap memiliki ketergantungan dengan Arab Saudi karena negara ini menjadi tempat tujuan mencari kerja bagi tenaga-tenaga kerja kasar Indonesia. Hal ini berakibat pada tujuan, sikap dan perilaku politik luar negeri Arab Saudi yang belum menganggap Indonesia sebagai mitra penting dalam kerjasa sama internasional. Ini ditandai dengan sejak tahun 1970-an hingga saat ini belum ada kunjungan resmi Raja Arab Saudi ke Indonesia. Sikap politik luar negeri Saudi Arabia yang demikian tentu tidak terjadi begitu saja tetapi didasari oleh pilihan-pilihan sadar (deliberate choices).

Untuk memahami hubungan luar negeri antara Indonesia dan Arab Saudi yang tidak memiliki progess penting dalam beberapa dekade terakhir ini perlu untuk menganalisa persepsi (perception), gambaran (image) dan sikap (attitude) Arab Saudi tentang Indonesia.[38] K.J. Holsti berpendapat bahwa perception, image dan attitude sangat berpengaruh dalam menentukan hasil (outputs) dari suatu suatu hubungan international.[39] Persepsi dan gambaran yang tidak lengkap terhadap suatu negara pada umumnya akan melahirkan sikap yang bermacam-macam, seperti saling tidak percaya, memusuhi, merendahkan, dan tidak menganggap penting mitra dalam hubungan luar negeri itu. Informasi tentang Indonesia saat ini, misalnya, lebih banyak diperoleh melalui interaksi warga Arab Saudi dengan warga Indonesia dalam bentuk hubungan antara majikan dan pembantu. Mereka tidak mendapatkan gambaran yang utuh tentang Indonesia karena media-media Arab Saudi sendiri sering memberitakan pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan kriminal para pekerja Indonesia terutama tenaga-tenaga kerja wanita. Apalagi banyak kalangan masyarakat Saudi sendiri yang tidak memiliki pengalaman perjalanan ke luar negeri, seperti Indonesia.

Kasus mukimin Indonesia yang menciptakan gambaran negatif Indonesia mengakibatkan munculnya persepsi tidak utuh di kalangan warga negara Arab Saudi tentang Indonesia. Tujuan (objective) hubungan internasional antara Arab Saudi dan Indonesia pun lebih banyak berkenaan dengan urusan-urusan yang berkaitan dengan isu-isu kecil penanganan keberadaan mukimin Indonesia yang menimbulkan banyak persoalan ini. Akibatnya, hubungan di antara kedua negara ini tidak beranjak pada urusan-urusan yang lebih strategis dan saling menguntungkan. Kerjasama yang salama ini terjalin terlihat biasa-biasa dan tidak mengalami peningkatan. Padahal negara-negara lain seperti negara-negara Eropa, Amerika, Cina, Singapura dan Jepang telah mendapatkan manfaat besar dalam bentuk kerjasama perdagangan dan investasi.

Dalam sejarahnya hubungan Indonesia Arab Saudi juga mengalami pasang surut. Ternyata faktor agama meskipun berkontribusi dalam menjaga hubungan antara kedua negara itu tidak cukup untuk dapat membawa hubungan itu pada kondisi yang saling menguntungkan.

Hubungan budaya dan emosional yang terjalin berabad-abad lamanya, terutama dukungan negara-negara Timur Tengah terhadap kemerdekaan Indonesia tahun 1945, tidak berfungsi dengan baik ketika kepentingan nasional dua negera itu tidak sinkron.

Misalnya, kebijakan negara Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno yang cenderung dekat kepada Uni Soviet dan Partai Komunis Indonesia telah merenggangkan hubungan kedua negara itu. Arab Saudi merasa tidak nyaman dengan Indonesia karena terlalu pro kepada blok komunis.[40] Bahkan ketika Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia tahun 1962-1964, negara-negara di Timur Tengah cenderung tidak mendukung Indonesia. Pada saat Indonesia tidak mau menerima kehadiran Malaysia dalam KTT II Non Blok di Kairo 1964 misalnya, justru negara-negara Arab mengijinkan Malaysia sebagai peninjau.[41] Penolakan Indonesia terhadap masuknya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mendapat dukungan negara-negara Arab, seperti Jordan, Arab Saudi dan Mesir. Pada tanggal 20 Januari 1965 Indonesia pun keluar dari PBB dan bersama beberapa negara Asia, Eropa, Afrika dan Amerika Selatan membentuk kekuatan baru yang disebut Conference of New Emerging Forces (Conefo).

Pada masa Soeharto hubungan itu diperbaiki kembali ditandai dengan kunjungan presiden RI itu ke Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya pada tahun 1977.

Kunjungan itu kemudian menghasilkan kesepakatan pemerintah Arab Saudi untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di Indonesia seperti Pabrik Pupuk di Cikampek, Pupuk Pusri di Palembang, pembangunan jalan raya Surabaya – Malang dan pembangunan pembangkit listrik di Bandung.[42]

Namun demikian tetap saja hubungan itu berada pada posisi stagnan dan belum menggembirakan karena apabila dibanding dengan negara-negara lain, Korea Selatan misalnya, yang menjalin hubungan dengan Arab Saudi Indonesia masih berada jauh di bawah.

Ditambah lagi munculnya berbagai kasus-kasus kekerasan di tahun 1970-an yang melibatkan beberapa kelompok Islam yang diduga dibiayai oleh negara-negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi. Karenanya fokus perhatian pemerintah pada waktu itu terhadap Timur Tengah lebih diarahkan pada pengawasan terhadap setiap warga negara Indonesia yang belajar di Timur Tengah karena dianggap berpotensi untuk membawa pengaruh Islam fundamentalis ke tanah air. Kondisi semacam ini tentu menjadikan negara-negara Timur Tengah menjadi tidak nyaman.

Pada saat sekarang pun, pemerintah Indonesia masih menaruh curiga terhadap Saudi Arabia yang dianggap mempengaruhi kegiatan terorisme di Indonesia. Padahal, seharusnya Indonesia dapat mempererat hubungan dengan Arab Saudi terutama dalam hal menangani masalah terorisme internasional. Indonesia diharapkan dapat menjalin kerjasama dengan Kerajaan Arab Saudi tentang kegiatan-kegiatan terorisme internasional yang akan berdampak ke Indonesia dan bukan sebaliknya seakan-akan mengarahkan persoalan terorisme internasional itu kepada Arab Saudi sebagai sumber terorisme.

Pernyataan mantan Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN) A.M. Hendropriyono misalnya beberapa kali menyebut bahwa sumber dari terorisme adalah ajaran Wahabisme yang berasal dari Saudi Arabia. Tentu saja pernyataan ini terlalu simplifikasi dan berakibat pada ketidaknyamanan Kerajaan Arab Saudi yang juga menghadapi masalah yang sama tentang terorisme.

Untuk meningkatkan peran diplomasi Indonesia di Timur Tengah, terutama dengan Arab Saudi perlu dilakukan usaha merubah persepsi negatif dan sikap yang tidak sejajar. Persepsi dan sikap yang telah melembaga (culture), menurut Garry Ferraro dapat mengalami perubahan karena adanya faktor internal dan eksternal.[43] Persepsi negatif tentang Indonesia dapat mengalami perubahan apabila terjadi peningkatan kualitas pekerja-pekerja Indonesia yang sering berinteraksi dengan warga Arab Saudi (internal) dan secara eksternal Indonesia merubah kebijakan pengiriman tenaga-tenaga kerja wanita ke Timur Tengah. Kebijakan yang dapat dilakukan antara lain dengan menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita ke Arab Saudi dan memfokuskan pada pengiriman tenaga kerja yang memiliki keahliah (skilled labours). Para tenaga kerja wanita Indonesia untuk sementara dialihkan pada negara-negara yang memang sudah memiliki aturan ketenagakerjaan yang jelas dan memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Bahkan apabila dipandang perlu untuk dapat menciptakan citra positif tentang Indonesia di dunia Islam maka Timur Tengah hendaklah tidak dijadikan sebagai tujuan pengiriman tenaga kerja domestik.

Sementara itu peran diplomasi Indonesia di Arab Saudi lebih difokuskan pada usaha untuk menarik investor-investor Arab untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan demikian para pekerja domestik Indonesia tidak perlu lagi ke Timur Tengah karena mereka dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan sebagai akibat tidak langsung keberhasilan diplomasi Indonesia di Timur Tengah. Para mukimin Indonesia yang lahir dan menetap puluhan tahun di Arab Saudi diharapkan mampu membantu dalam memperlancar proses diplomasi dan negosiasi dengan para pemegang kekuasaan politik dan ekonomi di Arab Saudi karena mereka telah memahami karakter dan budaya setempat.

Kesimpulan

Bagaimana sebuah bangsa yang penduduknya dilecehkan sebagai tenaga-tenaga kerja rendahan akan mampu tampil sebagai mediator dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di dunia internasional, terutama di kawasan Timur Tengah? Untuk memerankan diri sebagai medioator (the third party) dalam perdamaian internasional, Indonesia harus memiliki posisi dihormati oleh negara-negara yang sedang bertikai.

Karenanya usaha untuk mengangkat citra Indonesia di Timur Tengah harus dilakukan. Peran diplomasi Indonesia tidak akan bermakna apabila masyarakat Timur Tengah, terutama Arab Saudi masih menganggap Indonesia sebagai negara yang posisinya tidak sejajar dengan mereka. Persoalan tenaga kerja wanita di Arab Saudi harus diselesaikan dengan baik dan kalau perlu dilakukan pengalihan pengiriman tenaga-tenaga kerja domestik ke negara-negara lain.

Biar bagaimana pun, persoalan budaya masyarakat Arab dalam memandang tenaga kerja wanita Indonesia masih menjadi persoalan yang serius dan bertanggung jawab terhadap pembentukan persepsi dan sikap yang kurang baik terhadap Indonesia. Dengan peningkatan kualitas tenaga-tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi terutama hanya mengirim tenaga-tenaga profesional saja diharapkan dapat menaikkan citra Indonesia di mata publik Arab Saudi.

Untuk mengisi kekosongan figur-figur ulama yang lahir dari para mukimin Indonesia di Arab Saudi, pemerintah Indonesia hendaknya dapat memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh para mukimin.

Beasiswa-beasiswa dari Indonesia diharapkan dapat disalurkan kepada anak-anak mukimin Indonesia itu untuk dapat mendalami ilmu-ilmu agama dan mendorong mereka untuk mendedikasikan diri dalam hal penguatan citra keulamaan di kalangan mukimin di Indonesia.

Diharapkan dengan kemampuan bahasa dan budaya yang dimiliki mereka kemudian mampu melahirkan karya-karya di bidang agama yang menjadi tren saat ini dan mampu dinikmati oleh pembaca-pembaca di Timur Tengah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendahulu mereka di Haramain.

Apabila kondisi intelektual seperti itu dapat dicapai tentu dapat dibayangkan di masa depan Indonesia dapat lebih optimal untuk tampil sebagai kekuatan baru yang disegani dalam percaturan politik di dunia Islam dan Timur Tengah.



Yon Machmudi; Negeri Kaum Cendekia atau Pramuwisma ? : Persepsi tentang Indonesia di Arab Saudi, Jurnal Arab Volume 12 Nomer 24 (Oktober 2009 Maret 2010)