SELAMAT DATANG...SELAMAT BERJUANG !

Tiada kata Jera dalam Perjuangan.

Total Tayangan Halaman

Rabu, 24 November 2010

Persepsi tentang Indonesia di Arab Saudi. (Yon Machmudi)


Secara demografi Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Dengan demikian, Islam tidak lagi identik dengan etnik Arab tetapi lebih dekat dengan etnik Melayu (Asia Tenggara). Ini disebabkan karena sebagian besar jumlah penduduk Muslim terbesar berada di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Tentu bukan suatu hal yang berlebihan jika saat ini Indonesia merupakan negara yang lebih berhak untuk mewakili kepentingan dunia Islam dari pada kaum Muslim dari Timur Tengah. Negara-negara Barat sendiri, seperti Amerika Serikat dan Australia misalnya, berharap Indonesia lebih berperan dan aktif terlibat dalam menyelesaikan konflik-konflik di Timur Tengah dan dunia Islam.

Namun demikian, negara Indonesia ternyata belum optimal memainkan perannya sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan di dunia Islam. Masyarakat di Timur Tengah, terutama Arab Saudi belum menganggap Indonesia sebagai negara penting dan sejajar sehingga patut dipertimbangkan kehadirannya di kawasan Timur Tengah. Banyak hal yang membuat posisi Indonesia di dunia Arab ini kurang diperhitungkan. Indonesia yang dulunya dikenal sebagai negeri para kaum cendikia dan ulama, kini lebih dikenal dengan negeri para pramuwisma. Apabila pada abad ke-18 M hingga akhir abad ke-20 M posisi Ulama Indonesia sangat disegani tetapi semenjak tahun 1980-an posisi itu bergeser dan berubah secara drastis. Indonesia tidak lagi disegani tetapi justru sering dilecehkan. Perubahan persepsi ini tentu berlangsung dalam waktu yang sangat panjang dan telah membentuk semacam sikap (behavior) dalam memperlakukan dan menempatkan Indonesia dalam hubungan internasional.

Perubahan-perubahan persepsi ini secara umum disebabkan oleh dua faktor :

Pertama, perubahan persepsi itu terjadi seiring dengan hilangnya peran keulamaan para pendatang dari Indonesia yang menetap di Arab Saudi (Mukimin). Hilangnya peran keulamaan itu disebabkan oleh perubahan politik dan orientasi keagamaan yang terjadi di Arab Saudi sejak sejak abad ke-18 M ditandai dengan berkuasanya para dinasti al-Saud yang mengakomodasi secara total doktrin Muhammad bin Abdul Wahab (1701-1793 M). Orientasi keagamaan Abdul Wahab yang dikenal keras dan tidak mengenal kompromi inilah yang kemudian menggusur peran ulama-ulama tradisional. Ulama-ulama itu sebagian besar berasal dari Asia Tenggara, terutama Indonesia.

Kedua, munculnya Arab Saudi sebagai negara petro dollar telah menjadikan negara ini menjadi pusat tujuan para pencari kerja terutama pekerja-pekerja informal. Sejak tahun 1970-an gelombang besar-besar tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia telah mengalir ke Arab Saudi. Keberadaan tanaga kerja wanita yang bekerja di sektor rumah tangga inilah kemudian mendominasi kelompok warga negara Indonesia di Arab Saudi. Akibatnya, dalam sehari-sehari masyarakat Arab Saudi lebih banyak mengenal Indonesia sebagai negerinya para pembantu rumah tangga dari pada suatu negeri yang banyak mencetak para cendikia dan ulama ternama berkaliber internasional.

Memudarnya Peran Ulama Indonesia

Kondisi para pendatang dari Indonesia (mukimin) saat ini tentu sangat kontras apabila dibandingkan dengan para pendahulu mereka pada abad ke-17 masehi sampai akhir abad ke-20 masehi. Di abad-abad ini bangsa Indonesia sangat disegani di Arab Saudi karena keberadaan para ulama Nusantara di tanah suci. Mereka banyak menulis kitab yang dijadikan rujukan Muslim di dunia, termasuk di Timur Tengah. Bahkan di antara mereka ada yang menduduki posisi sebagai imam masjid dan mufti besar di Masjidil Haram, seperti Imam Nawawi al-Bantani. Mereka dikenali sebagai orang Indonesia dengan melihat nama belakang yang menunjukkan asal daerah, seperti al-Batawi, al-Bantani, al-Jawi, al-Falimbani dan al-Banjari.

Dua kota suci, al-Haramain, merupakan pusat berkumpulnya ulama-ulama dunia. Haramain menjadi kota internasional di mana para ulama dari berbagai dunia berkunjung untuk menunaikan ibadah haji kemudian menentap untuk menuntut ilmu dan mengembangkan otoritas keagamaan mereka. Rata-rata mereka yang memiliki kedudukan terhormat di Haramain adalah para ulama mancanegara dari anak benua India, Persia, Asia Tenggara dan Afrika. Di antara ulama terkenal abad ke-17 M yang kemudian menjadi guru para ulama-ulama berikutnya adalah Ahmad al-Qusyasyi (lahir 1586) dan Ibrahim al-Kurani (lahir 1667 M).

Mereka ini dianggap sebagai tokoh sentral karena banyak ulama-ulama terkenal internasional pada zamannya, termasuk ulama-ulama Indonesia yang datang belakangan mememiliki garis intelektual (intellectual geneologis) dengannya.[1] Hubungan terjadi secara informal melalui patron guru dan murid yang kemudian berkembang menjadi sebuah jaringan yang kokoh. Sebagaian besar jaringan ini dibentuk oleh model gerakan tarekat karena kuatnya interaksi antara sang guru dan para murid-muridnya. Tentu saja kekokohan para guru tarekat di tanah suci ini juga ditopang oleh lembaga keagamaan yang ada pada waktu itu yaitu halaqah dan ribat (semacam pondok pesentren).[2]

Keberadaan ulama-ulama Indonesia (Jawi) mulai memperlihatkan peran yang signifikan sejak akhir abad ke-17 M. Abdul Rauf al-Sinkili (1615-1693) ulama asal Aceh, misalnya menetap di Haramain selama 19 tahun dan mendapatkan otoritas tertinggi tarekat Satariyah.[3] Dia adalah murid ulama Aceh asal Gujarat (India) Nuruddin Ar-Raniri (w. 1685). Selama menetap di Haramain, al-Singkili berguru dengan al-Qusyasyi dan al-Kurani. Berbeda dengan gurunya, ar-Raniri yang sangat keras menentang ajaran tasawuf falsafi, al-Singkili lebih moderat dalam menyikapi ajaran-ajaran sufistik. Disebutkan juga bahwa al-Singkili selalu melaporkan perdebatan-perdebatan di Aceh tentang persoalan tasawuf kepada gurunya, al-Kurani, yang menetap di Mekah.[4] Bahkan fatwa ar-Raniri yang menghukum Hamzah Fansuri dan pengikutnya sebagai kafir dan layak untuk dihukum mati mendapat perhatian khusus dari al-Kurani. Al-Kurani menyebutkan adanya masalah dari wilayah yang disebut min ba’dh jaza’ir Jawa disebabkan karena pemahaman sang sufi yang terlalu rumit sehingga tidak mampu menjelaskan kepada pihak lain sementara ulama yang menghukumi kafir itu dianggap terlalu literal dan menyalahi ajaran Nabi Muhammad.[5]

Murid al-Kurani dari Indonesia yang lain adalah Syekh Yusuf al-Makassari (lahir 1626 M). Al-Makassari adalah orang pertama pembawa tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Dia banyak menulis buku-buku berbahasa Arab dengan gaya penulisan seperti lazimnya orang Arab asli. Di antara bukunya yang terkenal adalah Safinah al-Najah sementara buku-buka lain berbahasa Arab belum ditemukan. Sosok al-Makassari ini memiliki otoritas yang cukup tinggi di dunia tasawwuf.

Dia tidak hanya mendapatkan ijazah tarekat Naqsyabandiyah tetapi juga tarekat Qadiriyah dan Syattariyah. Hampir 25 tahun lamanya, al-Makassari menetap di dunia Arab di awali di Yaman, Arab Saudi (Mekah dan Madinah) dan kemudian pindah ke Damaskus. Karena otoritasnya di dunia tasawwuf inilah kemudian dia dijuluki Syekh Taj al-Khalwati al-Makassari.[6]

Syekh Yusuf al-Makassari mengakhiri hidupnya di Afrika Selatan dan dianggap sebagai tokoh besar di benua Afrika dan juga di Srilanka. Semasa di Haramain waktunya banyak digunakan untuk belajar dan mulai menyebarkan pengaruhnya setelah kembali ke tanah air dan menyebarkan Islak ke Srilanka dan Afrika Selatan. Karenanya, nama Syekh Yusuf lebih dikenal di Afrika Selatan dari pada di tanah suci.

Abdussamad al-Falimbani (wafat 1789) adalah ulama Nusantara di tanah suci keturunan Hadrami dilahirkan di Palembang. Berbeda dengan Syekh Yusuf al-Makassari, Abdussamad ini tidak pernah lagi kembali ke Indonesia setelah menetap di tanah suci.[7] Namun demikian figur Abdussamad sangat dikagumi di Nusantara karena banyaknya karya-karya yang ditulis dalam bahasa Melayu. Sebagian besar karya-karya itu menjelaskan tentang pemikiran al-Ghazali. Tidak mengherankan apabila di tanah suci itu, sosok Abdussamad ini lebih dikenal dengan keahlian khususnya dalam menjelaskan karya-karya al-Ghazali, terutama kitab Ihya Ulumuddin. Dua karyanya Hidayah al-Salikin dan Sair al-Salikin merupakan saduran dari pemikiran-pemikiran al-Ghazali.[8]

Pada awal abad ke-19 M, di tanah suci muncul ulama besar dari Kalimantan. Ulama itu adalah Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Nama al-Banjari menjadi sangat terkenal di Haramain dan hingga saat ini para pendatang asal Kalimantan ini masih dijuluki sebagai orang-orang Banjar. Al-Banjari menghabiskan waktunya sekitar 40 tahun di tanah suci dan kembali berdakwah di kampung halamannya di Banjar, Kalimantan Selatan. Menurut cerita Muhammad Arsyad sejak kecil memiliki keahlian luar biasa dalam menulis kaligrafi. Karena keahlian menulis kaligrafi akhirnya pada usia 7 tahun dia diangkat anak oleh Sultan Banjar hingga usia 30 tahun. Di tanah suci dia banyak berguru dengan ulama-ulama Melayu seperti Syekh Abdurahman bin Abdul Mubin al-Fatani (Thailand Selatan), Syekh Muhammad Zein bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syekh Muhammad Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Dia juga menjadi murid Syekh Attailah penulis Kitab al-Hikam. Di tanah suci, ulama ini dikenal dengan keahliah qiraah dan menuliskannya dengan kaligrafi Banjar. Karya-karya yang terkenal antara lain Tuhfah ar-Raghibin dan Sabilul Muhtadin serta masih banyak karya-karya lain yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu karena sengaja ditujukan kepada murid-muridnya di Indonesia.

Ulama Indonesia yang paling dikagumi dan memiliki karir keulamaan tertinggi di Tanah Suci adalah Nawawi al-Bantani (1813-1879). Tidak hanya dihormati oleh komunitas Jawi tetapi juga di antara ulama-ulama di Haramain.

Di samping mengajar di halaqah-halaqah di Masjidil Haram an-Nawawi juga menjadi salah seorang mufti di Haramain. An-Nawawi sendiri mendapatkan julukan Syaikh al-Hijaz (penghulu ulama di dua tanah suci).[9]

Al-Bantani juga pernah memberikan pengajian di masjid al-Azhar, Mesir, atas undangan Syekh Ibrahim al-Bayjuri, mufti agung Mesir kala itu. Beberapa karya al-Bantani antara lain Tîjân al-Durarî (tawhid), Sullam al-Najât, Kâsyifah al-Sajâ, Sullam al-Tawfîq, al-Tsamrah al-Yâni'ah 'ala Riyâdh al-Badî'ah, Tawsyîkh 'alâ Fath al-Qarîb, Nihâyah al-Zain (fikih), Qatr al-Ghayts, Tanqîh al-Qawl (hadits), Minhâj al-'Ibâd (tasawuf), 'Uqûd al-Lujayn (psikologi rumah tangga), Murâh Labîd aw al-Tafsîr al-Munîr (tafsir) dan lain-lain.[10]

Di samping Syekh Nawawi al-Banteni, ulama Nusantara yang sangat produktif adalah Syekh Mahfuzh al-Turmusi (1842-1920) berasal dari Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dia banyak menulis beberapa komentar atas komentar (hasyiah) terhadap beberapa kitab fikih induk mazhab Syafi'i, seperti al-Minhâj, Fath al-Wahhab dan al-Iqna. Beberapa komentar itu kemudian dikenal dengan sebutan Hâsyiah al-Turmusî dan ditulis dalam beberapa jilid. Beliau juga menulis al-Siqâyah al-Mardhiyyah fî Asmâ al-Kutub al-Fiqhiyyah li Ashhâb al-Syâfi'iyyah (ensiklopedi kitab-kitab fikih mazhab Syafi'iy), Manhaj Dzaw al-Nazhar fi Manzhûmah Ahl al-Âtsâr (metodologi hadits), dan al-Fawâid al-Turmusiyyah fi Asmâ al-Qirâ'ah al-'Asyriyyah (tajwid-qira'ah sepuluh).

Melalui hasil didikan al-Banteni dan al-Turmusi kemudian lahirlah ulama-ulama Indonesia di Timur Tengah abad ke-20 yaitu Syekh Ihsan Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri (Jampes, Kediri, Jawa Timur) dan Syekh Muhammad Yasin ibn 'Isa al-Fadani (Padang). Al-Jamfasi adalah penulis kitab Sirâj al-Thalibîn 'alâ Minhâj al-'Âbidîn terdiri dari dua jilid berisi komentar atas karya tasawuf Imam al-Ghazali dan Manâhij al-Amdâd (tasawuf).

Kitab ini pernah dijadikan sebagai salah satu bahan ajar dan referensi (muqarrar) di Universitas al-Azhar Al-Fadani (1917-1990). Yang unik dari sosok Syekh Ihsan Dahlan ini adalah bahwa dia tidak pernah menetap di dunia Arab dalam waktu lama kecuali untuk kunjungan singkat untuk tujuan haji saja tetapi kemampuannya dalam menuliskan pemikirannya dalah bahasa Arab sangat luar biasa. Kitab Sirâj al-Thalibîn ini disamping diterbitkan di Indonesia juga diterbitkan oleh penerbit-penerbit dari Timur Tengah dan Afrika. Di Afrika kitab ini banyak digunakan di Maroko dan Mali. Bahkan di dua negara Afrika itu mereka yang menggunakan kitab Syekh Ihsan Dahlan ini tidak mengetahui apabila sang penulis itu berasal dari Indonesia karena identitas penulis menggunakan nama tambahan al-Jampasi al-Kadiri bukan al-Andunisi.

Al-Fadani sendiri adalah guru besar hadits dan ushul fikih di perguruan Dâr al-‘Ulûm Mekkah. Ia menulis banyak buku berjilid-jilid tentang hadits, ushul fikih dan tasawwuf. Kitab-kitab yang ditulisnya antara lain, kitab al-Fawâid al-Janniyyah 'alâ al-Farâ'id al-Bahiyyah fî al-Qawâ'id al-Fiqhiyyah, Hâsyiah 'alâ al-Asybâh wa al-Nazhâ'ir fi al-Furû' al-Fiqhiyyah, Fath al-'Allâm Syarh Bulûgh al-Marâm dan al-Durr al-Mandhûd fî Syarh Sunan Abî Dâwud. Mufti besar al-Azhar, Prof.Dr. Ali Jum'ah Muhamad, bahkan menyandarkan silsilah haditsnya pada al-Fadani yang dikenal ulama bersahaja di Mekah ini. Ini dapat dilihat kitab yang dijadikan sandaran oleh Ali Jum’ah yaitu kitab Hâsyiah Jawharah al-Tawhîd karangan Syekh Ibrahim al-Bayjuri yang bermuara pada seorang ulama Nusantara asal Padang, yaitu Syekh Muhammad Yasin ibn 'Isa al-Fadani.

Kuatnya peran ulama-ulama Indonesia dapat dibuktikan dengan penghargaan bangsa Arab kepada mereka. Memang tidak dapat dibuktikan sejak kapan orang-orang yang berasal dari Bilad Jawa ini mendapatkan penilaian yang demikian tinggi di Mekah. Catatan-catatan sejarah Mekah sendiri jarang sekali menyebut peran orang-orang dari Bilad Jawa ini meskipun secara berabad-abad telah mengirimkan rombongan-rombongan haji ke Tanah Suci. Justru perhatian sejarah Mekah banyak menceritakan tentang orang-orang India yang kaya raya.[11]

Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa selama kunjungannya di Mekah 1885 dia mencatat sebanyak 8.000 – 10.000 orang-orang Melayu tinggal di Haramain dan memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan spiritual di di tanah air mereka.[12] Kebanyakan dari mereka adalah para penuntut ilmu, profesor, pemandu wisata dan para pemimpin tarekat.[13]

Memang agak mengherankan mengapa catatan-catatan sejarah Mekah sendiri tidak memuat tentang kontribusi ulama-ulama Indonesia itu sehingga pengaruh dan penghormatan terhadap ulama-ulama Jawa lebih didasarkan pada cerita-cerita lisan masyarakat setempat dan pengamatan orang-orang Eropa.

Untungnya, karya-karya para ulama Indonesia yang disebutkan di atas telah ditulis dalam bahasa Arab dan tersebar luas di dunia Arab dan Afrika terutama sejak abad ke-18 M.

Sementara sampai awal abad ke-20 M keberadaan ulama-ulama Indonesia dan para Mukimin di Haramain masih diperhitungkan. Ini dapat dibuktikan dengan dikabulkannya tuntutan utusan Indonesia yang tergabung dalam Komite Hijaz pada tahun 1925 agar makam-makam para sahabat dan makam Nabi Muhammad tidak dipugar oleh pihak kerajaan Arab Saudi. Keberhasilan diplomasi revolusi Indonesia di Timur Tengah juga karena simpati mereka terhadap perjuangan bangsa Indonesia dan penghormatan mereka pada orang-orang Indonesia yang ada di Timur Tengah.[14]

Untuk menghargai dan menelusuri karya-karya ulama Indonesia di masa lalu terutama beberapa naskah-naskah keagamaan yang belum ditemukan perlu adanya usaha serius untuk menggali dan menerbitkan karya-karya mereka. Salah satu usaha penting yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementrian Agama Republik Indonesia adalah melakukan pengkajian terhadap naskah-naskah ulama Nusantara untuk dapat diterbitkan dan dibaca oleh khalayak umum. Program itu diawali oleh Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta yang mengadakan Program Tahqiqul Kutub Ulama Nusantara.

Di antara hasil dari program itu adalah ditetapkannya beberapa karya-karya penting untuk dilakukan penyuntingan naskah dan kemudian diterbitkan. Karya-karya itu antara lain, Fathul Mujib fi Syarh Mukhtashar al-Khatib, karya Syekh Nawawi al-Bantani. Ghunyatul Thalabah dan Takmilah Mauhibah Dzil Fadl, keduanya Karya Syekh Mahfudz at-Turmusi. Tahshil Nail al-Maram li Bayani Mandhumat 'Aqidatil Awam, karya Syekh Sihabuddin bin Syekh Arsyad al-Banjari. Anisul Muttaqien dan Nashihah al-Muslimin wa Tazkirah Al-Mu’minin, karya Syekh Abdussamad al-Falimbani. Syamsul Anwar,Tahsinul Awlad, dan Tanqiyatul Qulub Fii Allamil Qhuyub merupakan karya Idrus Qaimuddin al-Buthani asal Buton, Siraj at-Thalibin dan Manahij al-Imdad karya Kyai Ihsan Jampes, Kediri.[15]

Syekh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadani adalah ulama Indonesia terakhir yang karya-karyanya dibaca di Timur Tengah. Sejak wafatnya al-Fadani di tahun 1990 dan tutupnya madrasah Darul Ulum di Mekah tempatnya untuk mengaktualisasikan keilmuannya itu, peran ulama-ulama Indonesia semakin memudar dan bahkan hilang sama sekali.

Azyumardi menilai bahwa banyak faktor yang menyebabkan hilangnya peran keulamaan keturunan Indonesia di Arab Saudi.[16]

Pemahaman ulama-ulama Indonesia yang berorientasi pada pengamalan tasawuf jelas tidak sesuai dengan ajaran formal keagamaan di Arab Saudi.

Di samping karena kebijakan penguasa yang mengadopsi gerakan Islam yang dimotori oleh Muhammad bin Abdul Wahab faktor-faktor lain juga berkontribusi terhadap merosotnya peran ulama Indonesia di Arab saudi, antara lain karena kebijakan pemerintah Saudi untuk melakukan sentralisasi dan pengaturan terhadap lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dan berbagai batasan-batasan terhadap para pendatang non Saudi.

Tidak hanya itu penerbitan-penerbitan di Saudi juga dikontrol oleh pemerintah sehingga tidaklah mudah untuk menerbitkan karya-karya ulama yang tidak sesuai dengan orientasi keagaamaan di Saudi.

Tidak hanya itu pemerintah Saudi juga cenderung membatasi akses para mukimin menuntut ilmu ke perguruan tinggi dan juga membatasi penerbitan karya-karya mereka dengan alasan untuk mengurangi popularitas kepakaran dan pengaruh para mukimin melebihi orang-orang Saudi itu sendiri. Akibatnya, karya-karya ulama Indonesia pun mulai sulit ditemukan dan kalaupun ada biasanya dijualbelikan secara sembunyi-sembunyi.[17]

Menghilangnya peran ulama-ulama Indonesia kemudian digantikan dengan masuknya para pendatang dari Indonesia yang beroreintasi pada pemenuhan kebutuhan materi dari pada untuk menuntut ilmu.

Para pendatang ini pada umumnya didomisi oleh pekerja-pekerja wanita domestik atau dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Wanita (TKW). Apabila pada masa lalu para pendatang dari Indonesia didominasi oleh kelompok penuntut ilmu maka gelombang berikutnya justru dipenuhi oleh para pekerja kasar yang sengaja mencari nafkah di Arab Saudi.

Tidak jarang dari mereka bahkan tidak memahami ajaran-ajaran agama karena berasal dari daerah-daerah pedesaan yang memang kurang memperhatikan persoalan-persoalan agama. Mereka juga sebagian besar tidak memahami budaya dan tradisi yang berlaku di Arab Saudi.

Dominasi Pekerja Domestik Indonesia

Citra Indonesia di Arab Saudi saat ini dapat dikatakan sangat buruk. Salah seorang guru besar dari UIN Jakarta, Muslimin Nasution, menyatakan bahwa dahulu apabila disebut nama Indonesia orang-orang Arab langsung membayangkan ulama-ulama di Masjidil Haram tetapi sekarang hal itu tidak terjadi lagi.[18]

Bahkan karena terganggu dengan citra negatif ini para mahasiswa dan tokoh Indonesia dari kalangan mukimin di Indonesia mendesak pemerintah untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja domestik ke Arab Saudi.[19] Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun pada tahun 2000 pernah mengeluarkan sebuah fatwa tentang larangan pengiriman tenaga kerja wanita Indonesia ke luar negeri, termasuk ke Arab Saudi.[20]

Perubahan persepsi dari 'masyarakat cendikia' menuju 'masyarakat pramuwisma' tentu dapat dipahami. Indonesia kemudian lebih dikenal sebagai bangsa para pramuwisma rendahan.

Bahkan lebih dari itu para pekerja wanita asal Indonesia pun sering diasosiakan dengan praktik-praktik pelacuran di Arab Saudi. Akibatnya, persepsi negatif itu kemudian terus berkembang sehingga banyak warga Arab Saudi yang menilai Indonesia sekedar sebagai negeri para pramuwisma yang dihinakan. Ada istilah yang lazim diucapkan oleh warga Arab Saudi, Andunisiun musykilah (orang-orang Indonesia membawa masalah).

Dalam laporan majalah Gatra pada tahun 2003 disebutkan bahwa sekitar 118 wanita Indonesia ditangkap di Arab Saudi karena kasus prostitusi.[21] Pada tahun 2006 dan 2007 warga negara di Indonesia yang telah diderpotaasi masing-masing sebanyak 23.150 dan 22.116 orang.[22] Di bulan Januari 2010 lalu sebuah stasiun televisi national Arab Saudi, One Channel, menayangkan penggerebekan sebuah apartemen di Riyadh yang melibatkan orang-orang Bangladesh dan seorang wanita Indonesia terkait kasus sindikat obat-obatan terlarang.[23]

Hingga saat ini jumlah para mukimin Indonesia secara keseluruhan yang ditangkap dan dipenjarakan oleh para aparat kepolisian Arab Saudi karena pelanggaran imigrasi, kriminal dan prostisusi sudah ratusan ribu.

Di samping itu juga para pembantu rumah tangga dari Indonesia juga tidak jarang mengalami penyiksaan dan kekerasan dalam bekerja. Seringnya kejadian penyiksaan ini sendiri juga merupakan cerminan kondisi keluarga-keluarga Arab Saudi itu sendiri yang memang tidak asing dengan tindakan-tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam sebuah penelitian di Riyad misalnya diketahui bahwa hampir 85% anak-anak sekolah di Riyad pernah mengalami tindakan kekerasan di rumah mereka baik yang dilakukan oleh orang tua maupun saudara-saudaranya.[24]

Tidak adanya perlindungan bagi tenaga kerja domestik di Arab Saudi inilah yang menjadi pemicu terjadinya tindakan-tindakan kekerasan terhadap pekerja wanita Indonesia. Namun demikian faktor budaya yang berbeda juga berpengaruh terhadap munculnya kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan berperilaku.

Kondisi terbaik TKW Indonesia di Qatar misalnya jauh lebih baik dibanding di Arab Saudi karena pemerintah Indonesia telah menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) dengan pihak pemerintah Qatar mengenai perlindungan tenaga kerja di sektor domestik.[25]

Sebenarnya sejak tahun 1978 pemerintah Saudi mulai memberlakukan peraturan pembatasan jumlah mukimin dengan cara menangkapi dan memulangkan semua warga negara asing yang tidak memiliki surat ijin tinggal. Hanya saja karena gelombang pengiriman tenaga kerja Indonesia terutama tenaga wanita (TKW) tidak dapat dikendalikan maka keberadaan mereka juga semakin tidak teratur.

Arab Saudi semakin mempersulit ijin tinggal dan tidak lagi memberikan kewarganegaraan kepada warga asing meskipun mereka lahir di Saudi Arabia. Akibatnya, banyak warga negara Indonesia di Saudi tidak lagi memiliki kewarganegaraan. Mereka mengaku orang Indonesia tetapi tidak berbahasa dan berpaspor Indonesia.[26]

Kesan negatif tentang Indonesia menjadi semakin buruk ketika dijumpai banyak pekerja wanita Indonesia berprofesi sebagai prostitusi dan pada umumnya dikenal dengan bayaran yang sangat murah. Rata-rata mereka dibayar 50 riyal untuk sekali kencan sementara para pelacur dari Pilipina, misalnya, dihargai 200 riyal. Wanita-wanita Indonesia pun sering dijuluki “abu khamsin� (barang seharga 50 riyal). Praktik-praktik pelacuran terselubung ini tidak hanya terjadi di kota-kota seperti Thaif, Riyadh dan Jedah yang memang lebih longgar pengawasannya tetapi terjadi di Mekah dan Madinah yang dikenal sebagai dua kota suci.[27]

Ada julukan lain yang diberikan kepada para wanita Indonesia, “Siti Rahmah.� Sepintas julukan ini memberi kesan pujian, yaitu wanita yang memberikan kasih sayang, tetapi apabila diteliti lebih lanjut maka terlihat bahwa maksud dari julukan itu justru melecehkan.[28]

Ungkapan “Siti Rahmah� itu diucapkan dengan nadah cemoohan, berkonotasi syahwat. Julukan ini sepadan dengan sebutan “Indon� bagi warga Indonesia di Malaysia, bahkan mungkin lebih rendah.[29]

Kesan Indonesia sebagai negara para pramuwisma sungguh melekat di benak sebagian besar masyarakat Arab Saudi. Pramuwisma yang bekerja informal ini telah menanamkan kesan yang sangat dalam kepada anak-anak Arab tentang wanita-wanita Indonesia dan bangsa Indonesia secara umum. Sikap mereka yang kurang menghormati para pembantu Indonesia dipastikan akan terus terbawa hingga mereka dewasa. Untuk jangka panjang, cara pandang yang menganggap rendah akan mempengaruhi sikap generasi-generasai muda Arab Saudi dalam berinteraksi dengan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Di samping itu, banyak para pejabat negara Arab Saudi yang mempekerjakan wanita-wanita Indonesia di rumah mereka, baik itu secara legal maupun illegal.[30] Jumlah tenaga kerja wanita yang bekerja sebagai pramuwisma legal mencapai 700.000 orang sementara ditambah dengan yang ilegal bisa mencapai tiga kali lipatnya.[31] Apabila diambil rata-rata setiap 4 rumah warga Arab Saudi mempekerjakan satu pramuwisma dari Indonesia.[32] Dibanding dengan negara-negara lain di Timur Tengah, jumlah tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi menempati posisi tertinggi.

Berdasarkan data dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) periode Februari-Desember 2009 jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi berjumlah 214.824 orang yang terdiri dari 212.645 orang di sektor informal dan 2.179 orang di sektor formal. Jumlah pekerja Indonesia di Qatar 7.194 orang dan Emirat Arab 28.561. Komposisi terbesar adalah pekerja di sektor informal (domestik).[33]

Profesi pramuwisma tidak hanya dipandang rendah, setara dengan budak tetapi juga dianggap pekerjaan yang tidak bermartabat. Budaya agama yang berlaku di Timur Tengah (Arab Saudi) juga menganggap tidak layak seorang wanita sendirian tanpa muhrim meninggalkan rumah untuk bekerja di luar negeri. Secara budaya eksistensi pramuwisma di Arab Saudi sebenarnya menggambarkan rendahnya Indonesia di Timur Tengah sementara dari sisi agama dianggap sebagai pelanggaran ajaran agama Islam karena membiarkan wanita-wanita tanpa muhrim bekerja ke luar negeri untuk dieksploitasi. Dalam pembicaraan sehari-hari banyak orang Arab Saudi yang sering mempertanyakan keberadaan kaum laki-laki Indonesia.[34]

Secara umum, kondisi mukimin Indonesia di Timur Tengah mulai berubah ketika masuknya gelombang pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah pada tahun 1970-an. Para mukimin yang dulunya merupakan ulama besar disegani di tanah suci, kini didominasi oleh para pramuwisma dan pendatang-pendatang yang sebagian besar menjadi persoalan di Arab Saudi. Mantan Menteri Agama Republik Indonesia, Maftuh Basuni, pernah menyampaikan bahwa dahulu para mukimin Indonesia itu adalah para penuntut ilmu, kemudian pulang ke tanah air akan menjadi ulama tetapi sekarang sebagian besar mereka adalah para pekerja yang tidak mempunyai pengetahuan apa-apa. Akibatnya, banyak dari mereka yang melakukan tindakan kejahatan termasuk juga menganggu para jamaah haji dari Indonesia.[35] Naiknya jumlah pelajar dan mahasiswa di Arab saudi dari tahun ke tahun tidak berdampak pada pencitraan terhormat bangsa Indonesia. Apalagi sering dijumpai mereka memiliki izin tinggal untuk belajar tetapi tidak digunakan semestinya, banyak dari mereka yang tidak belajar sama sekali.[36] Persoalan-persoalan imigrasi, kriminal dan pelacuran menjadi hal yang biasa terjadi pada para pendatang dari Indonesia. Bahkan banyak di antara para mukimin dari Indonesia itu melakukan pencurian dan penipuan kepada para jamaah dari Indonesia sendiri.

Diplomasi Indonesia di Timur Tengah

Bagaimana persepsi masyarakat Arab Saudi yang negatif terhadap Indonesia itu berpengaruh terhadap hubungan dan diplomasi di antara kedua negara? Secara umum sikap kebijakan luar negeri (foreign policy behavior) ditentukan oleh banyak faktor, antara lain faktor sejarah, budaya, geostrategi, militer, ekonomi, sumber daya alam, sistem pemerintahan dan posisi negara dalam tatanan politik internasional.[37] Sikap suatu negara terhadap negara yang lain juga dipengaruhi oleh sejauhmana negara tersebut memposisikan negaranya di hadapan negara lain. Negara yang secara ekonomi lebih maju akan menempatkan pada posisi tinggi dalam hirarki politik global sementara negara miskin menempati posisi rendah. Dalam hal ekonomi Indonesia dianggap memiliki ketergantungan dengan Arab Saudi karena negara ini menjadi tempat tujuan mencari kerja bagi tenaga-tenaga kerja kasar Indonesia. Hal ini berakibat pada tujuan, sikap dan perilaku politik luar negeri Arab Saudi yang belum menganggap Indonesia sebagai mitra penting dalam kerjasa sama internasional. Ini ditandai dengan sejak tahun 1970-an hingga saat ini belum ada kunjungan resmi Raja Arab Saudi ke Indonesia. Sikap politik luar negeri Saudi Arabia yang demikian tentu tidak terjadi begitu saja tetapi didasari oleh pilihan-pilihan sadar (deliberate choices).

Untuk memahami hubungan luar negeri antara Indonesia dan Arab Saudi yang tidak memiliki progess penting dalam beberapa dekade terakhir ini perlu untuk menganalisa persepsi (perception), gambaran (image) dan sikap (attitude) Arab Saudi tentang Indonesia.[38] K.J. Holsti berpendapat bahwa perception, image dan attitude sangat berpengaruh dalam menentukan hasil (outputs) dari suatu suatu hubungan international.[39] Persepsi dan gambaran yang tidak lengkap terhadap suatu negara pada umumnya akan melahirkan sikap yang bermacam-macam, seperti saling tidak percaya, memusuhi, merendahkan, dan tidak menganggap penting mitra dalam hubungan luar negeri itu. Informasi tentang Indonesia saat ini, misalnya, lebih banyak diperoleh melalui interaksi warga Arab Saudi dengan warga Indonesia dalam bentuk hubungan antara majikan dan pembantu. Mereka tidak mendapatkan gambaran yang utuh tentang Indonesia karena media-media Arab Saudi sendiri sering memberitakan pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan kriminal para pekerja Indonesia terutama tenaga-tenaga kerja wanita. Apalagi banyak kalangan masyarakat Saudi sendiri yang tidak memiliki pengalaman perjalanan ke luar negeri, seperti Indonesia.

Kasus mukimin Indonesia yang menciptakan gambaran negatif Indonesia mengakibatkan munculnya persepsi tidak utuh di kalangan warga negara Arab Saudi tentang Indonesia. Tujuan (objective) hubungan internasional antara Arab Saudi dan Indonesia pun lebih banyak berkenaan dengan urusan-urusan yang berkaitan dengan isu-isu kecil penanganan keberadaan mukimin Indonesia yang menimbulkan banyak persoalan ini. Akibatnya, hubungan di antara kedua negara ini tidak beranjak pada urusan-urusan yang lebih strategis dan saling menguntungkan. Kerjasama yang salama ini terjalin terlihat biasa-biasa dan tidak mengalami peningkatan. Padahal negara-negara lain seperti negara-negara Eropa, Amerika, Cina, Singapura dan Jepang telah mendapatkan manfaat besar dalam bentuk kerjasama perdagangan dan investasi.

Dalam sejarahnya hubungan Indonesia Arab Saudi juga mengalami pasang surut. Ternyata faktor agama meskipun berkontribusi dalam menjaga hubungan antara kedua negara itu tidak cukup untuk dapat membawa hubungan itu pada kondisi yang saling menguntungkan.

Hubungan budaya dan emosional yang terjalin berabad-abad lamanya, terutama dukungan negara-negara Timur Tengah terhadap kemerdekaan Indonesia tahun 1945, tidak berfungsi dengan baik ketika kepentingan nasional dua negera itu tidak sinkron.

Misalnya, kebijakan negara Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno yang cenderung dekat kepada Uni Soviet dan Partai Komunis Indonesia telah merenggangkan hubungan kedua negara itu. Arab Saudi merasa tidak nyaman dengan Indonesia karena terlalu pro kepada blok komunis.[40] Bahkan ketika Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia tahun 1962-1964, negara-negara di Timur Tengah cenderung tidak mendukung Indonesia. Pada saat Indonesia tidak mau menerima kehadiran Malaysia dalam KTT II Non Blok di Kairo 1964 misalnya, justru negara-negara Arab mengijinkan Malaysia sebagai peninjau.[41] Penolakan Indonesia terhadap masuknya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mendapat dukungan negara-negara Arab, seperti Jordan, Arab Saudi dan Mesir. Pada tanggal 20 Januari 1965 Indonesia pun keluar dari PBB dan bersama beberapa negara Asia, Eropa, Afrika dan Amerika Selatan membentuk kekuatan baru yang disebut Conference of New Emerging Forces (Conefo).

Pada masa Soeharto hubungan itu diperbaiki kembali ditandai dengan kunjungan presiden RI itu ke Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya pada tahun 1977.

Kunjungan itu kemudian menghasilkan kesepakatan pemerintah Arab Saudi untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di Indonesia seperti Pabrik Pupuk di Cikampek, Pupuk Pusri di Palembang, pembangunan jalan raya Surabaya – Malang dan pembangunan pembangkit listrik di Bandung.[42]

Namun demikian tetap saja hubungan itu berada pada posisi stagnan dan belum menggembirakan karena apabila dibanding dengan negara-negara lain, Korea Selatan misalnya, yang menjalin hubungan dengan Arab Saudi Indonesia masih berada jauh di bawah.

Ditambah lagi munculnya berbagai kasus-kasus kekerasan di tahun 1970-an yang melibatkan beberapa kelompok Islam yang diduga dibiayai oleh negara-negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi. Karenanya fokus perhatian pemerintah pada waktu itu terhadap Timur Tengah lebih diarahkan pada pengawasan terhadap setiap warga negara Indonesia yang belajar di Timur Tengah karena dianggap berpotensi untuk membawa pengaruh Islam fundamentalis ke tanah air. Kondisi semacam ini tentu menjadikan negara-negara Timur Tengah menjadi tidak nyaman.

Pada saat sekarang pun, pemerintah Indonesia masih menaruh curiga terhadap Saudi Arabia yang dianggap mempengaruhi kegiatan terorisme di Indonesia. Padahal, seharusnya Indonesia dapat mempererat hubungan dengan Arab Saudi terutama dalam hal menangani masalah terorisme internasional. Indonesia diharapkan dapat menjalin kerjasama dengan Kerajaan Arab Saudi tentang kegiatan-kegiatan terorisme internasional yang akan berdampak ke Indonesia dan bukan sebaliknya seakan-akan mengarahkan persoalan terorisme internasional itu kepada Arab Saudi sebagai sumber terorisme.

Pernyataan mantan Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN) A.M. Hendropriyono misalnya beberapa kali menyebut bahwa sumber dari terorisme adalah ajaran Wahabisme yang berasal dari Saudi Arabia. Tentu saja pernyataan ini terlalu simplifikasi dan berakibat pada ketidaknyamanan Kerajaan Arab Saudi yang juga menghadapi masalah yang sama tentang terorisme.

Untuk meningkatkan peran diplomasi Indonesia di Timur Tengah, terutama dengan Arab Saudi perlu dilakukan usaha merubah persepsi negatif dan sikap yang tidak sejajar. Persepsi dan sikap yang telah melembaga (culture), menurut Garry Ferraro dapat mengalami perubahan karena adanya faktor internal dan eksternal.[43] Persepsi negatif tentang Indonesia dapat mengalami perubahan apabila terjadi peningkatan kualitas pekerja-pekerja Indonesia yang sering berinteraksi dengan warga Arab Saudi (internal) dan secara eksternal Indonesia merubah kebijakan pengiriman tenaga-tenaga kerja wanita ke Timur Tengah. Kebijakan yang dapat dilakukan antara lain dengan menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita ke Arab Saudi dan memfokuskan pada pengiriman tenaga kerja yang memiliki keahliah (skilled labours). Para tenaga kerja wanita Indonesia untuk sementara dialihkan pada negara-negara yang memang sudah memiliki aturan ketenagakerjaan yang jelas dan memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Bahkan apabila dipandang perlu untuk dapat menciptakan citra positif tentang Indonesia di dunia Islam maka Timur Tengah hendaklah tidak dijadikan sebagai tujuan pengiriman tenaga kerja domestik.

Sementara itu peran diplomasi Indonesia di Arab Saudi lebih difokuskan pada usaha untuk menarik investor-investor Arab untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan demikian para pekerja domestik Indonesia tidak perlu lagi ke Timur Tengah karena mereka dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan sebagai akibat tidak langsung keberhasilan diplomasi Indonesia di Timur Tengah. Para mukimin Indonesia yang lahir dan menetap puluhan tahun di Arab Saudi diharapkan mampu membantu dalam memperlancar proses diplomasi dan negosiasi dengan para pemegang kekuasaan politik dan ekonomi di Arab Saudi karena mereka telah memahami karakter dan budaya setempat.

Kesimpulan

Bagaimana sebuah bangsa yang penduduknya dilecehkan sebagai tenaga-tenaga kerja rendahan akan mampu tampil sebagai mediator dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di dunia internasional, terutama di kawasan Timur Tengah? Untuk memerankan diri sebagai medioator (the third party) dalam perdamaian internasional, Indonesia harus memiliki posisi dihormati oleh negara-negara yang sedang bertikai.

Karenanya usaha untuk mengangkat citra Indonesia di Timur Tengah harus dilakukan. Peran diplomasi Indonesia tidak akan bermakna apabila masyarakat Timur Tengah, terutama Arab Saudi masih menganggap Indonesia sebagai negara yang posisinya tidak sejajar dengan mereka. Persoalan tenaga kerja wanita di Arab Saudi harus diselesaikan dengan baik dan kalau perlu dilakukan pengalihan pengiriman tenaga-tenaga kerja domestik ke negara-negara lain.

Biar bagaimana pun, persoalan budaya masyarakat Arab dalam memandang tenaga kerja wanita Indonesia masih menjadi persoalan yang serius dan bertanggung jawab terhadap pembentukan persepsi dan sikap yang kurang baik terhadap Indonesia. Dengan peningkatan kualitas tenaga-tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi terutama hanya mengirim tenaga-tenaga profesional saja diharapkan dapat menaikkan citra Indonesia di mata publik Arab Saudi.

Untuk mengisi kekosongan figur-figur ulama yang lahir dari para mukimin Indonesia di Arab Saudi, pemerintah Indonesia hendaknya dapat memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh para mukimin.

Beasiswa-beasiswa dari Indonesia diharapkan dapat disalurkan kepada anak-anak mukimin Indonesia itu untuk dapat mendalami ilmu-ilmu agama dan mendorong mereka untuk mendedikasikan diri dalam hal penguatan citra keulamaan di kalangan mukimin di Indonesia.

Diharapkan dengan kemampuan bahasa dan budaya yang dimiliki mereka kemudian mampu melahirkan karya-karya di bidang agama yang menjadi tren saat ini dan mampu dinikmati oleh pembaca-pembaca di Timur Tengah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendahulu mereka di Haramain.

Apabila kondisi intelektual seperti itu dapat dicapai tentu dapat dibayangkan di masa depan Indonesia dapat lebih optimal untuk tampil sebagai kekuatan baru yang disegani dalam percaturan politik di dunia Islam dan Timur Tengah.



Yon Machmudi; Negeri Kaum Cendekia atau Pramuwisma ? : Persepsi tentang Indonesia di Arab Saudi, Jurnal Arab Volume 12 Nomer 24 (Oktober 2009 Maret 2010)

1 komentar:

  1. Setuju dgn artikel diatas.... semoga saudara saudara kita setanah air juga mampu memahami posisi kita yg super rapuh ini...

    BalasHapus