SELAMAT DATANG...SELAMAT BERJUANG !

Tiada kata Jera dalam Perjuangan.

Total Tayangan Halaman

Kamis, 18 November 2010

Kasus Gayus itu Hanya 10 Persen dari Kasus Pajak (Djoko Edhi)


Jakarta (LiraNews) – Kasus mafia pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan adalah 10 persen dari kasus serupa yang sampai kini tak terungkap. Ketua Indonesia Tax Watch (ITW) Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman, SH, SE, MM mengatakan, di kantor pajak Jakarta saja, ada 74.000 kasus seperti itu. “Soal itu ITW punya data,” katanya.

Mantan Anggota Komisi III DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini bercerita panjang lebar mengenai mengapa Gayus dapat dengan mudah plesir ke Bali nonton tenis, padahal tak punya hobi tenis, sampai bagaimana permainan patgulipat uang pajak itu bisa terjadi. “Ini memang sudah mafia yang melibatkan Das Kapital,” katanya kepada Miftah H. Yusufpati, hari ini.

Berikut petikan wawancara dengan Djoko yang kini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Penasehat SIAN BNN tersebut.

Komentar Anda tentang suap Gayus kepada penjaga lapas di Mako Brimob?
Kasus seperti itu sudah terjadi sejak dulu. Tahanan dapat keluar masuk di Mako Brimob. Bukan hal baru. Tahanan di Mako Brimob memperoleh privelege, sudah rahasia umum. Petinggi Polri dan pengacara tahu itu. Dulu, Komjen Pol (Purn) Suyitno Landung juga beroleh keistimewaan yang sama.

Komjen Pol (Purn) Suyitno Landung adalah mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri pada tahun 2004-2005. Pada tanggal 13 Desember 2005, ia ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang pada saat menangani kasus pembobolan Bank BNI dengan tersangka Adrian Waworuntu. Ia juga ditahan di Mako Brimob.

Mengapa sekarang diributkan?
Itu karena Gayus. Mafia pajak ini melibatkan 149 perusahaan yang ditanganinya, dan 60 di antaranya adalah perusahaan bermasalah. Gayus mestinya bisa jadi whistle blower atau peniup peluit dalam kasus ini, jika bukan dia terdakwanya. Perusahaan-perusahaan tadi akan terkena pasal korupsi jika ia bernyanyi terus, dan jika nyanyiannya diulang-ulang. Dan dia sebenarnya sudah nyanyi, cuma belum nyaring. Polisi belum bersedia membongkar semuanya. Masih menunggu 86 (Suap).

Menurut saya, keluarnya Gayus lalu nampang di kamera pers, adalah by design. Kalau Gayus terus ngetop, banyak yang akan kena dan jumlah duit 86 juga kian besar. Jadi, kepentingan polisi dan kepentingan kaum modal (Das Kapital) tak linier.

Kok Anda menghubungkan dengan Das Kapital?
Saya punya pengalaman buruk berhadapan dengan Das Kapital. Yakni, ketika saya jadi anggota Komisi III DPR saat mengajukan hak angket tentang kasus Bank Mandiri yang melibatkan 26 pengusaha besar yang berusaha mengemplang duit Bank Mandiri Rp 20,1 triliun. Jadi saya tahu betul, betapa beratnya melawan kejahatan Das Kapital pengemplang.

Kaum modal atau Das Kapital itu bekerja sama, menggiring, lalu menjebak kita. Mereka saweran untuk membuat lemah anggota dewan dengan kekuatan duit yang akan menggiring iman mereka. Toh, hak angket akhirnya terbentuk sebagai instrumen kontrol yang efektif.

Perlawanan para Das Kapital itu juga, antara lain, yang akhirnya menggembosi Jaksa Agung waktu itu, Abdurrahman Saleh. Saya mulai bekerjasama dengan Jaksa Agung setelah membantu Abdurrahman Saleh lolos dalam kasus “Ustadz di Kampung Maling” ketika Komisi II dan III bergabung untuk melepaskan sekitar 400 anggota DPRD dari bui karena dakwaan korupsi”. Saya melakukan kontra petisi terhadap mereka yang mengajukan petisi agar Abdurrahman Saleh dicopot. Tak logis, Anggota DPRD yang korupsi, Jaksa Agung yang mau dicopot. Sekalipun alasannya PP 110 yang punah setelah dijudicial review.

Hak angket terus bergulir, Jaksa Agung bekerja, dan masuklah ECW Neloe (mantan Dirut Bank Mandiri) sejumlah direktur Bank Mandiri dan petinggi korporat ke bui. Neloe sengaja berkonspirasi meloloskan para pengemplang itu dengan melakukan write off atau penghapusan buku atas utang mereka Rp 20,1 triliun. Neloe lolos di PN Jaksel dan juga pengadilan tinggi berkat kecanggihan trick OC Kaligis. Tapi di tahap di Mahkamah Agung, Neloe dan kawan-kawan diganjar 10 tahun. Rupanya, ada juga yang lolos dari suap di MA. Hak angket itu berhasil, dana Rp 20,1 triliun itu gagal dirampok, dan segelintir perampoknya masuk bui.

Jadi bagaimana dalam kasus Gayus?
Kerjasama para Das Kapital sulit dihadapi. Dalam kasus Gayus, mestinya para Das Kapital membunuh Gayus. Munir saja bisa dihabisi. Hanya saja, karena Gayus ditahan di Mako, tak mudah melakukannya. Sebab jika sampai terjadi pembunuhan di situ, yang kena Kapolri langsung. Das Kapital belum mampu ke situ. Itu sebabnya yang dilakukan cuma bargaining politik dan 86. Menurut saya, hampir pasti benar dugaan pers bahwa Gayus bertemu dengan Das Kapital, diatur orang kuat di kepolisian. Ia kan tidak hobi tenis, tapi nonton tenis. Infonya, Gayus difasilitasi orang-orang Das Kapital di Mabes sehingga bisa ke Bali untuk berbagai deal.

Nyatanya hanya petugas setingkat kompol yang jadi terdakwa.
Resikonya sudah dihitung para petinggi. Hanya saja, mereka yang jadi tumbal tak tahu. Sama halnya dengan Kompol Arafat, dia bilang itu permintaan pimpinannya. Tapi Arafat lupa, bahwa posisi dia cuma tumbal wilayudha. Tumbalnya perang.

Asumsi kedua, Komjen (Pol) Timur Pradopo sedang dikerjain oleh lawan-lawan politiknya. Lebih jauh, lawan-lawan Presiden SBY di tubuh Polri. Sehingga, belum apa-apa, Timur sudah busuk. Asumsi kedua itu paradoks. Sebab, Timur tahu kasus-kasus sebelumnya. Kasus orang keluar masuk di Mako, juga dia tahu. Konsentrasi dan perhatian publik pada kasus Gayus, juga Timur sangat paham. Jadi, secara mantiq, logikanya enggak masuk. Yang masuk adalah logika asumsi pertama.

Bisa dijelaskan, mengapa?
Yang terlibat dalam nyanyian Gayus itu orang-orang yang pada tahun 2014 akan menjadi tokoh nomor satu. Di luar Ical (Aburizal Bakrie), semua calon yang mau maju menjadi orang nomor satu di 2014 di-backup Das Kapital yang itu-itu juga. Sementara 60 perusahaan itu adalah perusahaan papan atas Indonesia. Mereka berkepentingan dengan 2014 (Pilpres 2014).

Jadi secara demokrasi, kondisi kita saat ini sama dengan kondisi 116 tahun lalu di AS, ketika partai republiken masih bernama politica. Para Das Kapital berada di belakang orang-orang ini dan mengubah demokrasi yang tadinya merupakan partisipasi politik menjadi transaksi politik.

Harapan kita satu-satunya untuk mengubah kondisi ini adalah gerakan para aktivis dan mahasiswa. Di luar itu, adalah massa yang enggak mudeng politik, yang mengira inilah politik yang wajar. Kondisi ini yang dimanfaatkan para Das Kapital.

Dalam sejarahnya, kritik Karl Marx terhadap kaum modal dalam penyelenggaraan ekonomi liberal neo klasik yang melahirkan Revisionis II dimotori oleh Sraffa, Joan Robinson, dkk, membentuk Sherman Act dan Anti Trust Act untuk mengatasi penyimpangan perilaku (unusual behavior of the firm). Revisi III Klasik Baru oleh John Maynard Keynes setelah Klasik Baru III bangkrut tahun 1929.

Artinya kondisi sekarang amat merisaukan?
Ya, sama dengan ketika Klasik Baru II. Sangat merisaukan. Tentu cuma merisaukan kalangan aktivis, bukan politisi. Politisi sih senang. Maka hukum kian hari kian massif diperjualbelikan. Samalah dengan kerisauan massal pada zaman Orde Baru saat hukum ditataniagakan.

Sesungguhnya, hukum sempat berjalan sesuai relnya pada 1998-2000. Tahun-tahun itu pungli di kepolisian hilang. Suap di MA, kehakiman, dan kejaksanaan hilang. Tapi, pada saat hukum menguat, saat yang sama UU malah melemah. Sebab, pasal-pasal hukum harus didrop untuk menyesuaikan dengan amandemen UUD 1945, dan kurangnya UU.

Tapi hukum kemudian mulai keluar rel lagi pada zaman Megawati Sukarnoputri jadi presiden. Legislatif heavy, faktanya adalah pasar jual beli UU dan bagaimana menggunakan UU untuk merampok negara.

Bisa diberi contoh soal hukum menjadi keluar rel saat Mega?
Sejak Mega menjadi presiden terjadilah penyendatan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Bank Bali, pemanipulasian UU terhadap UUD 45 untuk menjual Indosat, dan seterusnya via program privatisasi. Privatisasi awalnya sangat dijaga pasal 33 UUD 1945. Privatisasi muncul tahun 1985, sebagai cara untuk menghadapi dampak resesi ekonomi tahun 1983 berupa krisis fiskal. JB Sumarlin melakukan liberalisasi perbankan untuk memperkuat arus uang yang waktu itu dimonopoli bank pemerintah, terutama BNI dan BRI.

Dari kondisi saat itu, privatisasi satu keharusan, diperlukan karena arus modal terhenti akibat resesi, industri bangkrut dengan DER (Debt Equity Ratio) mencapai 1:5, uang lalu parkir di Bank Indonesia dan makan dari bunga BI. Uang tersebut kemudian diusir dari BI ke hutan dengan cara pengenaan pajak deposito dan ancaman penelusuran kekayaan. Uang lalu lari masuk desa, menjadi petani berdasi, masuk ke hutan menjelma tukang gundul hutan (HPH).

Tahun 1985, uang dipanggil lagi ke kota melalui pengenaan pajak bumi dan bangunan, liberalisasi perbankan dan privatisasi agar perusahaan tersebut hidup lagi. Investor asing dipanggil melalui program Duta Besar Keliling. Sehebat apapun asing ini, tak bisa menjajah karena dijaga oleh Pasal 33 UUD 1945 dan derivatnya. Eh, datang Amien Rais, derivat Pasal 33 itu dibumihanguskan via amandemen.

Wajarnya, ketika kondisi sudah normal harus ada modifikasi. Privatisasi itu dihubungkan kembali dengan Pasal 33 UUD 1945. Tapi yang terjadi sebaliknya, bahkan parlemennya pun dikooptasi asing, sehingga privatisi yang tadinya untuk melindungi negara, sekarang berbalik untuk meruntuhkan negara.

Lalu apa hubungannya dengan Gayus?
Gayus adalah bagian dari Das Kapital. Info ITW mengemukakan bahwa dari 100 kasus mafia perpajakan terbesar, kasus Gayus cuma 10 persennya. Das Kapital ingin menutup rapat-rapat kasus pajak. ITW menengarai adanya ancaman kalau dibuka, maka yang membuka nasibnya seperti Komjen (Pol) Susno Djuaji. ITW sih punya data. Tapi ITW tidak ingin menjadi Susno Duadji. Dia menjadi whistle blower (penitup puit), tapi peniup pluitnya yang masuk bui.

Itu juga kekalahan kami pada waktu dirancangnya UU Perlindungan Saksi. Sejumlah teman di Komisi III, waktu itu, mempertahankan pendapat hukumnya, bahwa seorang yang terlibat dalam kejahatan itu sendiri tak layak dijadikan whistle blower. Acuannya adalah KUHAP. Sementara KUHAP sendiri hasil kodifikasi tahun 1981 oleh Ali Said dari bahasa Belanda ke Indonesia, tapi yang di Belanda sendiri sudah tak dipakai.

Saya dan sejumlah lain beda pendapat: bahwa whistle blower harus terlibat dalam kejahatan itu baru boleh dikategorikan whistle blower. Kalau dia tak terlibat dalam kejahatan aquo, dari mana dia beroleh pluit? Lalu, bagaimana dia meniup pluit? Yang tak terlibat, kan enggak punya pluit. Dan, faktor determinannya, ia punya pluit, itu sebabnya ada perlindungan saksi, yaitu melindungi pluitnya. Kalau tak ada pluitnya, itu sama dengan melindungi penjahat.

Di AS (Anglo Saxxon) dan Inggris (British Law) juga begitu. Hukum Eropa Continental, yakni Jerman, Perancis, dan Belanda juga begitu. Apa boleh buat, yang menang yang dungu tapi kuminter. Hasilnya blunder kini.

Pendapat Anda kenapa hanya setingkat kompol saja yang kena sanksi?
Mereka sistem sel. Pola permainannya ada dua. Pertama seperti gurita, kepala satu tapi kakinya banyak. Ranting ditebas enggak apa-apa, nanti juga tumbuh lagi. Antara kepala dan kaki seakan terpisah. Pesan pimpinan biasanya lu jalan aja, gue pura-pura enggak tahu. Jadi pimpinan tak menyuruh, tapi pura-pura enggak tahu. Jadi, sampai mati enggak bisa dihubungkan karena sistem sel.

Kedua, adalah sistem anjing berkepala empat. Ini yang dipraktikan teroris. Antara kepala yang satu dengan lainnya seakan-akan tak berhubungan. Tebas satu masih ada tiga. Jadi hanya sampai di situ saja.

Bagaimana Anda melihat rivalitas di kepolisian?


Grup-grup koneksitas di kepolisian itu selalu ada dan tak dapat dihindari. Sebelum pemilihan Kapolri saya masih sms-an dengan Komjen Nanan (Inspektur Pengawasan Umum Polri Komjen Nanan Soekarna). Pada saat itu namanya sudah menguat akan jadi Kapolri.

Saya katakan ke dia, kalau mau sembuh, kepolisian harus dikembalikan ke tempat yang benar. Seperti TNI masuk ke Departemen Pertahanan, kepolisian masuk ke Depdagri. Bila tak begitu, akan terus terjadi penumpukan kekuasaan di kepolisian, sehingga menggiurkan penguasa, dan berakhir dengan korupsi.

Maksudnya?
Sejak reformasi terjadi penumpukan kekuasaan di kepolisian. Bagaimana tidak, Kapolri bisa menangkap Panglima TNI tapi Panglima TNI tak bisa menangkap Kapolri. Polisi juga dapat menangkap KPK dan sebagainya. Sebelum reformasi, penumpukan kekuasaan ada di TNI (dulu ABRI).

Kepolisan saat ini berada di bawah presiden sehingga dapat digunakan setiap saat oleh kekuasaan. Gus Dur sempat menggunakan kepolisian tapi tak berhasil menciptakan kondisi chaos agar Gus Dur punya alasan menerbitkan dekrit. Saat ini, polisi dan kejaksaan dijadikan alat manuver untuk menangkap lawan-lawan politik presiden. Tapi tentara tak bisa karena ia berada di Dephan..

Posisi polisi juga sangat strategis dengan kekuasaan yang sangat besar. Di sisi lain dua lembaga itu, polisi dan kejaksaan, sangat lemah integritasnya. Apapun alasannya, Kapolri Timur Pradopo harus mengabdi pada Presiden SBY. Minimal sebagai balas budi.

Kenapa integritas polisi rendah?


Pertama karena polisi kekurangan duit dan kedua, kekurangan ratio. Akibat kurang duit, managemen polisi lebih komersil daripada managemen bisnis. Sejak dari orang lapor, mau sekolah, pindah kerja, naik pangkat, dan seterusnya, harus bayar. Tanpa mereka cukup sadar, bayar-bayar itu melanggar UU Anti Korupsi. Tadinya, penyuapan ada di KUHP, bukan kejahatan berat, setelah ada UU Gratifikasi, masuk menjadi Tipikor (Extra Ordinary Crime – kejahatan luar biasa).

Alasan umum komersialisasi manajemen kepolisian adalah kurang gaji. Padahal, anggaran kepolisian terbesar nomor tiga. Tak ada nomenklatur kepolisian di APBD, itu biangnya. Pada waktu reformasi, kita mengenal ada dua istilah: sentralisasi dan desentralisasi. Itu yang enggak jalan di kepolisian. Sebab, pemahaman desentralisasi dalam rangka reformasi kepolisian dikelirukan penafsirannya. Yang benar, metodologinya sentralisasi dan desentralisasi, penerapannya konsentrasi dan dekonsentrasi.

Terkait kembali ke Depdagri tadi, kepolisian harus didekon sebagai penerapan desentralisasi. Kepolisian harus memakai dua sistem sekaligus: Konsentrasi dan Dekonsentrasi. Contoh soal, bila di AS, konsentrasinya adalah FBI, dekonsentrasinya NYPD (New York Police Department) di New York dan negara bagian lainnya.

Soalnya, Kepolisian Indonesia menganut sistem kepolisian AS. Dan, kalau ingin mengubah kepolisian, harus jelas rujukannya. Itu saya katakan kepada Nanan. Bahwa kulturalisasi di kepolisian itu enggak jelas. Jadi, karena kepolisian menggunakan dekonsentralisasi, maka anggaran NYPD ditanggung APBD.

Tapi FBI-nya menggunakan sentralisasi yaitu konsentrasi, maka anggaran belanjanya ditanggung APBN.
Kedua, soal rasio. Jumlah polisi saat ini sangat kurang. Rasionya, satu polisi berbanding 700 penduduk, padahal idealnya 1:300 penduduk. Jika menganut sistem yang saya sebut tadi, maka rasio ini didasarkan rasio daerah. Harus diingat bahwa kebutuhan polisi satu daerah dan daerah lain tak sama. Dan yang menentukan jumlah polisi di daerah itu adalah pemerintah setempat. Karena mereka yang tahu kebutuhannya. Daerah pula yang membiayai mereka. Jadi tak seperti sekarang, semua diputuskan pusat dan ditanggung APBN. Jika daerah tak mampu membiayai, kekurangannya dimasukkan dalam perimbangan keuangan daerah dan pusat (UU No 22), disuplai APBN ke APBD.

Managemen kepolisian di daerah seperti itu, praktis diawasi oleh pemerintah daerah, DPRD, Bawas, BPKP, karena uangnya adalah uang Pemda. Sekarang, semua sentralistik. Bagaimana mungkin Irwasum, Propos, Propam mengawasi itu, wong mereka sama-sama doyan, ditambah beban psikologisnya: dana itu milik kepolisian! Beda dengan APBD, itu milik rakyat setempat. Dengan dekonsentrasi, presiden tak perlu kehilangan kekuasaan karena ada yang konsentrasi, yakni FBI-nya itu.

Jadi dengan dekon dua kelemahan kepolisian selesai: kurang duit dan kurang ratio. Yang lumayan bersih dan kuat ialah Kapolri Sutanto. Ketika Bambang Hendarso, semua babak belur. Tampaknya takkan jauh pula dengan Timur. Kini mustahil mengubah kultur di kepolisian itu. Lip service saja itu, bo-oong-bo-ongan. Generation conection network semakin kental. Dan, karena tak kuat diterpa liberalisasi atau istilah Kwik Kian Gie kapitalis gontok-gontokan, mereka pindah tugas ke suap-menyuap lalu terkooptasi Das Kapital.

Saya sih frustasi kalau ditanya bagaimana memperbaiki kepolisian, kecuali, didekon. Otonomi Daerah intinya di situ. Yang diotonomi adalah kultur, yang didesentralisasi itu kulturnya. Kultur dari masyarakat yang membiayai kepolisian itu sendiri, sehingga di Texas tak ada polisi, tapi Texas Ranger, di Arizona Sheriff.

Kepolisian saat ini menjadi bagian utama dari kekuasaan. Kinerja kejaksaan sangat ditentukan kinerja kepolisian. Kinerja kehakiman sangat ditentukan kepolisian. Begitu juga KPK. Karena dia penyidik. Ketika kepolisian berhadapan dengan Das Kapital, mencoba menjadi bagian dari kaum modal, mereka terbeli semua. Tak satu pun yang lolos. Pers kita saja, 90 persen sudah terbeli. Padahal, pers adalah pilar demokrasi keempat (the fourth estate). Foto Gayus di Bali itu, kalau enggak jatuh ke tangan pers yang kredibel, tentu sudah di-86-kan. Bila pers ke depan sudah pula terbeli semua, semuanya habis. Negara ini habis ideologinya.

Sekarang, kita tersandera kasus Century. Negara disandera Century. Kewibawaan SBY hancur gara-gara Century. Kasak- kusuk naiknya Kapolri, dulu hanya di seputar Pak Harto saja. Sekarang masuk ke parlemen dan partai. Mestinya, sumpah jabatan pejabat publik itu merujuk: “My loyalty to my party the end, when my loyalty to my country began”. Loyalitas saya kepada partai selesai, ketika loyalitas saya kepada negara dimulai!

Bagaimana soal pengelolaan pajak saat ini?
Mereka yang terlibat itu adalah petugas pajak yang disebut Fiskus, kemudian Konsulen atau Konsultan Pajak. Ya, kedua grup itu berada di luar pegawai pajak. Korupsi terbesar, sumbernya pajak dan yang bekerja di situ adalah Fiskus dan Konsulen. Konsulen juga ialah pasukan restitusi pajak yang kolusif dan koruptif.

Dalam UU Pajak, jumlah pajak yang harus dibayar WP (wajib pajak) ditentukan secara self assessment, yakni memeriksa dan menentukan sendiri. Dalam melakukan pemungutan pajak tersebut, UU Pajak menganut tiga sistem, (i) Official Assessment, (ii) Self Assessment, dan (iii) With Holding. Namun yang dominan perannya self assessment system karena diterapkan pada sistem pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta sebagian pada Pajak Bumi dan Bangunan

Ketika melakukan self asessement, maka yang melakukan bargaining adalah Konsulen dan Fiskus.

Konsulen menghitung, Fiskus menyetujui. WP yang didenda pajaknya Rp10 miliar, misalnya, mereka pergi ke Fiskus untuk tawar menawar. Dealnya seperti ini: WP harus membayar Rp 5 miliar, terdiri dari Konsulen membayar suap Rp 3 miliar ke Fiskus dan menyetor Rp 2 miliar ke Negara. Dari Rp 3 miliar suap itu, Rp 1 miliar untuk Konsulen dan Rp 2 miliar untuk Fiskus yang kemudian dibagi ke atasannya. Sebab, biangnya lagi, persetujuan berapa WP harus membayar, adalah wewenang penuh Dirjen Pajak tapi yang mengajukan adalah Fiskus. Jadi Fiskus dan Dirjen di sini yang punya peran berapa WP harus bayar. Tak ada satu pun yang mengawasi mereka.

Lalu bagaimana agar sistem ini tak memberi ruang lahirnya mafia pajak?
Ada dua instutisi penting di perpajakan AS yang membuat mengapa masyarakat kapitalis yang sangat anti pajak itu menerima keberadaan pajak. Soal bagaimana kaum kapitalis AS sangat menolak pajak bisa dilihat dari pernyataan Milton Friedman, tokoh Revisionis Klasik Baru III. Ia mengatakan, “Apapun boleh berbagi, kecuali pajak”. Friedman sangat anti pajak. Pajak dianggap sebagai intervensi negara ke dalam sistem ekonomi kapitalis atau ekonomi pasar yang sangat merusak. Tapi mereka bisa menerima pajak seperti sekarang, sebab ada dua institusi kunci yang membuat perpajakan dapat diterima oleh masyarakat AS. Yakni (i) IRS (internal revenue services) atau polisi pajak yang bukan Fiskus, dan (ii) TpF (Taxpayers Federation – Federasi Pembayar Pajak), yang dtetapkan oleh UU sebagai state auxiliary agency untuk mengawal WP.

IRS sangat penting dalam mengungkap korupsi di AS. Mereka bisa masuk ke perbankan, pasar modal, dan pencucian uang. Anggota IRS adalah polisi khusus, sarjana ekonomi sekaligus sarjana hukum. Sedangkan TpF dalam tiap kasus, termasuk self assesment WP, harus didampingi TpF. Kasus sengketa pajak di pengadilan, TpF juga ikut mendampingi. Tujuannya, untuk mencegah WP dirugikan, dan menjaga dana WP tidak disalahgunakan oleh Pemerintah.

Cara demikian juga mencegah kerugian para pihak. WP tak dirugikan oleh negara dan uang pembayar pajak juga tak disalahgunakan negara. Jadi, di pengadilan TpF wajib ikut. IRS wajib ikut. Sistem di AS adalah dekon sekaligus konsentrasi.

Di Indonesia, karena tak ada yang mengawal WP, berubah jadi ajang suap menyuap untuk merugikan Negara. Yang diuntungkan dari kondisi ini, asing dan Das Kapital. Saya dikeluarkan dari Pansus Amandeman UU Pajak oleh Abdillah Toha saat mau memasukkan TpF dan IRS ke dalam UU Pajak tahun 2006. Ternyata, tiap kekalahan kita di parlemen, harus ditebus dengan harga yang sangat mahal di masa depan.

Jelas, bargaining Fiskus dan Konsulen tak ada yang mengawasi, sehingga muncul kasus Gayus. Jika Susno Duaji tak jadi peniup peluit Gayus, masalah ini juga sulit terbongkar. Data ITW menjelaskan, di Jakarta saja terdapat 74.000 kasus pajak seperti Gayus. Jumlahnya tiap WP minimal Rp10 miliar. Tapi siapa yang bersedia meniup peluitnya?

Kejahatan perpajakan lainnya adalah praktikum restitusi atau pengembalian pajak. Biangnya, otoritas Dirjen Pajak dalam UU Pajak tak terbatas, ia sama dengan MK, mau-maunya dia. Maka akan berbeda kalau ada TpF dan IRS: tak bisa lagi korupsi dan berhengki-pengki dengan WP.

Adalah fakta sistem jendela tunggal layanan pajak juga mandeg. Padahal mestinya semua terbuka, online, sementara pembuatan databasenya berharga sekitar Rp 400 miliar tahun 2007. Bagaimana mengkonfrontasi masalah? Susah. Di wilayah pajak, polisi, jaksa, dan KPK tak boleh masuk karena itu wilayah penyidik sipil. Kasus pajak tak dapat dimasukkan sebagai tindak pidana korupsi dengan dalih transaksi belum selesai (UU No 17/2003). Kapan transaksi pajak selesai? Kan bulan depan bayar lagi. Makanya sumber korupsi terbesar adalah perpajakan, perbankan, dan pencucian uang.

Pertanyaannya, siapa yang mengawasi perpajakan? Pengadilannya juga eksklusif, padahal menurut UU Kekuasaan Kehakiman, mestinya sudah satu atap di MA. Ternyata, kata koran, hakim agung yang sedikit paham pajak cuma semata wayang. Baru setelah kasus Gayus, otoritas itu dimasukkan ke MA untuk mengawasi. Tapi apa bisa MA memonitor itu? Para pihak di sana cuma Fiskus dan Konsulen, pengacara tak bisa masuk. Amandemen dululah UU Perpajakan untuk memunculkan dua institusi tadi: IRS dan TpF. Dijamin beres!

Mafia pajak tampaknya juga dikendalikan kekuatan partai politik?
Dewasa ini, para politisi mulai cari duit, setidaknya dua tahun, yaitu 2011 sampai 2012. Sebab pada 2013 sudah sibuk masalah konfigurasi kekuasaan. Soal siapa dan apa. Maka banyak yang memanfaatkan Gayus untuk memeras Das Kapital dan uniknya Das Kapital juga kepingin diperas supaya dapat masuk dalam konfigurasi kekuasaan. Lalu mereka menyebut dirinya sebagai partisipan, istilahnya bukan pemeras. Wibawa kekuasaan habis, siapa pun yang naik, kalau kondisinya begini terus.

SUMBER:

http://liranews.com/hot-news/2010/11/14/djoko-edhi-kasus-gayus-itu-hanya-10-persen-dari-kasus-pajak/

Kasus Gayus itu Hanya 10 Persen dari Kasus Pajak


Tidak ada komentar:

Posting Komentar