SELAMAT DATANG...SELAMAT BERJUANG !

Tiada kata Jera dalam Perjuangan.

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 15 Mei 2010

SISI GELAP BANK DUNIA (oleh Anwari WMK)


oleh Anwari WMK

KETIKA Dr Sri Mulyani Indrawati diberitakan secara luas bakal mundur dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan untuk selanjutnya menjabat managing director di Bank Dunia, maka mendadak sontak muncul tanggapan gegap-gempita di seputar hebatnya kedudukan sebagai petinggi Bank Dunia. Baik berita, editorial maupun ulasan media massa di Indonesia semarak dengan aplaus terhadap Sri Mulyani Indrawati. Media massa berdecak kagum terhadap Sri Mulyani Indrawati. Ini jelas merupakan titik balik penyikapan media massa.

Secara umum, media massa berbicara tentang: (i) Bank Dunia sebagai lembaga supra-negara, memiliki sistem dan mekanisme kelembagaan berkualifikasi internasional, (ii) Bank Dunia tidak sembarangan mengangkat seseorang sebagai pengelolanya. Inilah yang bisa menjelaskan terjadinya pergeseran framing pemberitaan media massa. Selama berlangsungnya drama angket skandal Bank Century di DPR RI sejak penghujung 2009, Sri Mulyani Indrawati diposisikan media massa sebagai common enemy. Tetapi tiba-tiba, Sri Mulyani Indrawati berubah menjadi darling of the press lantaran bakal menduduki jabatan managing director Bank Dunia.

Pertanyaan kritisnya kemudian, sehebat itukah Bank Dunia? Apakah media massa justru tidak mengedepankan sesuatu yang hiperbol tatkala memuji-muji Sri Mulyani Indrawati lantaran berhasil meraih posisi tinggi di kelembagaan Bank Dunia?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengandung gugatan serius berkenaan dengan rasionalitas media massa. Ini karena, pengangkatan Sri Mulyani Indrawati sebagai managing director Bank Dunia itu takkan mengubah sisi gelap Bank Dunia di Indonesia. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia tidak diuntungkan oleh keberadaan Bank Dunia. Proyek-proyek Bank Dunia di Indonesia tidak memiliki kejelasan korelasi dengan tegak dan terwujudnya kedaulatan ekonomi maupun kedaulatan politik. Pada aksentuasi tertentu, Bank Dunia justru hadir dengan logika—meminjam istilah Bung Karno—neo-imperialisme.

Telaah secara saksama terhadap opsi rasional kebijakan ekonomi sesungguhnya mengharuskan Indonesia untuk mengoreksi keberadaan rezim pengerukan. Baik industri ekstraktif maupun industri perminyakan merupakan pilar rezim pengerukan yang telah memperhadapkan Indonesia pada dilema progresivitas atau status qou. Jika perekonomian nasional sepenuhnya hendak diarahkan berfunsgi sebagai mesin terciptanya kemakmuran rakyat, maka opsi rasional yang niscaya diambil adalah mengurangi bersimaharajalelanya rezim pengerukan—dengan pola pengusahaan yang dipertontonkan selama ini.

Pada satu sisi, rezim pengerukan terbukti gagal mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”. Rezim pengerukan bahkan mengaburkan hakikat kemakmuran rakyat dalam kaitan makna dengan pemanfaatan sumber daya alam. Freeport di Papua merupakan contoh kongkret dari kenyataan buruk ini. Pada lain sisi, keberadaan rezim pengerukan di Indonesia tak sejalan dengan upaya pengurangan emisi karbon diaoksida. Keberadaan rezim pengerukan pun, pada akhirnya, kontraproduktif dengan pengatasan masalah pemanasan global. Bank Dunia, ternyata, terlibat dalam karut-marut persoalan ini.

Pada 2004, Extractive Industries Review merekomendasikan agar Bank Dunia menghentikan pembiayaan industri pertambangan di Indonesia sejak tahun 2008. Artinya, menghentikan pembiayaan industri pertambangan merupakan imperatif bagi Bank Dunia, demi memberikan kontribusi terhadap apa yang disebut “take action in supporting World Bank against global warming”. Penting dicatat, bahwa Extractive Industries Review merupakan publikasi Bank Dunia. Sehingga, Extractive Industries Review merepresentasikan perspektif Bank Dunia. Tetapi pada 2009 terungkap, bahwa International Finance Corporation bersama Bank Dunia semakin banyak membiayai proyek pertambangan batu bara dan perminyakan di Indonesia. Selama 2007-2009, pembiayaan Bank Dunia untuk industri bahan bakar fosil dan batu bara di Indonesia mencapai US$ 3,159 milyar. Untuk tahun 2010 terkuak fakta, bahwa pembiayaan Bank Dunia terhadap industri bahan bakar fosil mencapai US$ 4,7 milyar. Sementara, pembiayaan untuk energi terbarukan hanya US$ 1,788 milyar.

Tinjauan lain menyebutkan, bahwa terhitung sejak 1969 proyek-proyek energi Bank Dunia di Indonesia sebesar US$ 5,7 milyar ternyata gagal meningkatkan akses rakyat miskin terhadap listrik. Hingga 2007, lebih dari 70 juta rakyat Indonesia tak memiliki akses terhadap listrik. Secara geografis, sekitar 80% dari 70 juta rakyat itu berada di pedesaan dan separuhnya tersebar di luar Pulau Jawa dan Bali. Proyek listrik Bank Dunia juga tersentralisasi, berskala besar, berbasis bahan bakar fosil. Tak cukup hanya itu, Bank Dunia mendorong privatisasi Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bank Dunia juga membiayai penyusunan undang-undang yang kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004, yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Bank Dunia sebenarnya telah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap industri ekstraktif di seluruh dunia. Kesimpulannya, pendanaan Bank Dunia untuk industri ekstraktif harus berpijak pada prinsip yang disebut “fosters sustainable development and poverty alleviation”. Dengan prinsip ini maka, pendanaan Bank Dunia pada industri ekstraktif mempersyaratkan adanya: (1) Penguatan sistem pemerintahan, (2) Terhindar dari konflik, penindasan dan korupsi sistemik, (3) Menghargai hak-hak rakyat, (4) Berpijak pada transparansi dalam hal pembagian keuntungan, (5) Mendukung penggunaan energi terbarukan dengan besaran 20% per tahun, (6) Memperhatikan nasib dan kesejahteraan buruh di sektor-sektor pertambangan, (7) Keterbukaan informasi tentang lingkungan dan dampak sosial industri ekstraktif.

Ternyata, pembiayaan Bank Dunia terhadap industri ekstraktif di Indonesia tidak konsiten dengan prinsip dan prasyarat tersebut. Inilah sisi gelap Bank Dunia di Indonesia. Dengan kenyataan ini pula rasanya berlebihan manakala berharap bahwa Sri Mulyani Indrawati mampu mengubah sisi gelap Bank Dunia di Indonesia. Cara pandang Bank Dunia yang buruk dan perlakuan Bank Dunia yang jahat terhadap Indonesia sejak 1969 takkan serta-merta berubah menjadi baik dengan pengangkatan Sri Mulyani Indrawati sebagai managing director. Sebab, jika Sri Mulyani Indrawati mengimperatifkan Bank Dunia menjadi “malaikat kebajikan” bagi bangsa Indonesia, maka hal itu sama saja dengan menggebrakkan perubahan-perubahan revolusioner dalam tubuh Bank Dunia. Kalau sebagian dari kita boleh berharap terhadap Sri Mulyani Indrawati, tentu sebagian yang lain juga boleh untuk tidak berharap terhadap Sri Mulyani Indrawati.

Hanya saja, dari lubuk hati paling dalam terbersit asa, agar Sri Mulyani Indrawati sungguh-sungguh seorang nasioanlis sejati. Bukankah klaim sebagai nasionalis sejati itu acapkali ia lontarkan dalam berbagai forum? Dengan setitik asa ini semoga Sri Mulyani Indrawati digdaya menciptakan turning point terhadap cara pandang Bank Dunia mengenai Indonesia. Semoga setelah menduduki posisi managing director di Washington sana, Bank Dunia benar-benar berubah. Jika sebelumnya Bank Dunia menjadi pendikte Indonesia, pada akhirnya Bank Dunia menjadi pelayan Indonesia.

Tetapi jika Sri Mulyani Indrawati tak mengubah apa-apa dan Bank Dunia tetap bertindak sebagai neo-imperialis terhadap Indonesia, mungkin pada akhirnya kita juga harus maklum. Itulah potret seorang profesional yang apolitis. Bagi profesional semacam ini, tidak penting bangsanya tersungkur di bawah kekuasaan neo-imperalis. Tidak penting.[]


Referensi:

Heike Mainhardt-Gibbs, “The World Bank Extractive Industries Review: The Role of Structural Reform Programs towards Sustainable Development Outcomes,” dalam http://www.assets.panda.org/downloads/eirsalsummarydec03.doc.

Korinna Horta, “Rhetoric and Reality: Human Rights and the World Bank,” dalam http://www.edf.org/documents/2051_HarvardHumanRightsJournal_Horta.pdf.

“Hentikan Dana Industri Tambang: Perlu Ditingkatkan Akses terhadap Listrik,” Kompas, 5 Mei 2010, hlm. 13.

“Extractive Industries Review (EIR) Recommendations to the World Bank: Changes Required to World Bank Lending for Extractive Industries,” dalam http://www.edf.org/article.cfm?ContentID=3667.

“World Bank Vote for Coal Power Plant a Setback for Low-Carbon Development, says Environmental Defense Fund,” dalam http://www.edf.org/pressrelease.cfm?contentID=10966.

“Questions Concerning The World Bank and Chad/Cameroon Oil and Pipeline Project -- Makings of a New Ogoniland? Corporate Welfare Disguised as Aid to the Poor,” dalam http://www.edf.org/article.cfm?contentid=1019.

“The Role of the United States in Improving the Development Effectiveness of World bank Operation,” dalam http://www.edf.org/documents/1957_ResponsibleReformoftheWorldBank.pdf.

“World Bank Fails to Deliver on Core Objectives of the Chad-Cameroon Oil and Pipeline Project: New Report Calls for the World Bank to address outstanding social, environmental, and public health issues,” dalam http://www.edf.org/pressrelease.cfm?contentID=6298.

“Internal Review says World Bank Must Reform its Approach to the Environment,” dalam http://www.edf.org/pressrelease.cfm?contentID=8144.

Artikel ini bisa diakses melalui:
http://anwariwmk.wordpress.com/2010/05/15/sisi-gelap-bank-dunia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar