SELAMAT DATANG...SELAMAT BERJUANG !

Tiada kata Jera dalam Perjuangan.

Total Tayangan Halaman

Senin, 03 Mei 2010

Hukum Tanpa Keteladanan - Rezim SBY


Perdebatan tentang pilihan tempat pemeriksaan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani kehilangan relevansi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya tetap memilih mendatangi terperiksa ketimbang memanggil dua pejabat negara itu datang ke Kantor KPK. Dan itu telah terjadi, kemarin.

Karena harus memeriksa dua terperiksa pada hari yang sama di tempat yang berbeda, KPK harus membentuk dua tim pemeriksa. Satu tim memeriksa Sri Mulyani di Departemen Keuangan. Pemeriksaan pun berlangsung relatif singkat. Cuma 2 jam.

Tim yang satu lagi dipingpong. Mereka, sesuai janji, datang ke kantor Boediono. Tetapi beberapa saat setelah tiba di Kantor Wapres, tim pemeriksa KPK ditelepon agar datang ke Wisma Negara karena Boediono sedang rapat dengan Presiden.

Perdebatan tentang memanggil atau mendatangi terperiksa terpecah ke dalam dua arus logika. Logika legal formal tidak mempersoalkan tempat pemeriksaan sejauh yang diperiksa belum berstatus tersangka. Logika itu muncul karena, menurut mereka, undang-undang tidak menyebut satu kata pun tentang keharusan terperiksa atau tercuriga harus dipanggil ke Kantor KPK. Bagi kelompok ini, substansi yang hendak diperiksa jauh lebih penting daripada lokasi pemeriksaan.

Kelompok kedua adalah mereka yang mendasari pemikiran pada asas equality before the law. Yaitu tidak ada perbedaan siapa pun di muka hukum karena status atau jabatan. Hukum yang baik adalah hukum yang impersonal. Traffic light yang benar adalah yang menyala merah atau hijau tidak peduli siapa yang harus berhenti atau jalan.

Arus pemikiran ini, yaitu yang menghendaki Boediono dan Sri Mulyani diperiksa di KPK seperti halnya pejabat-pejabat lain, adalah mereka yang sadar bahwa kewibawaan hukum, termasuk kewibawaan KPK yang amat dijunjung tinggi dan belakangan mulai surut, harus dipertahankan atau dihidupkan kembali.

Memeriksa Boediono yang wapres dan Sri Mulyani yang menteri keuangan di Kantor KPK, apa pun statusnya, adalah sebuah keberanian sekaligus keteladanan untuk memperlihatkan bahwa KPK menganut betul asas persamaan di depan hukum.

Itu sesungguhnya salah satu misi suci dan agung dari kehadiran KPK. Yaitu memperlihatkan dan menegakkan kembali supremasi hukum yang di Indonesia telah ditenggelamkan berbagai kepentingan uang dan kekuasaan. Tetapi dibenarkan rezim pemikiran legal formal yang kehilangan aspek etik dan kejujuran.

Kalau pilihan tempat memeriksa adalah wilayah diskresi KPK, pertanyaannya mengapa KPK lebih memilih mendatangi daripada memanggil? Padahal untuk beberapa bupati di luar Pulau Jawa, termasuk Bupati Boven Digul yang belum berstatus tersangka, KPK memanggil mereka ke Jakarta untuk diperiksa di Kantor KPK. Mengapa untuk Boediono dan Sri Mulyani yang berada di Jakarta, KPK lebih memilih mendatangi daripada memanggil?

Lalu, untuk Sri Mulyani dan Boediono kita ingin menggugah, adakah keinginan untuk menjadi teladan dalam kepatuhan hukum yang impersonal? Adakah kerendahan hati dan ketulusan untuk memperlihatkan kepada publik bahwa di mata hukum kita semua sama? Tidak ada kerugian bila Anda berdua melakukan itu. Publik akan hormat bila keteladanan itu ditempuh

http://www.facebook.com/video/video.php?v=118695168154370&ref=mf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar