SELAMAT DATANG...SELAMAT BERJUANG !

Tiada kata Jera dalam Perjuangan.

Total Tayangan Halaman

Kamis, 17 Februari 2011

Analisa GEJOLAK TIMUR TENGAH: KEBANGKITAN KELOMPOK Negara JALUR SUTERA



Penulis : M Arief Pranoto - (Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute)

Mencermati pergolakan politik di Maroko, Tunisia, Al Jazair, Mesir, Jordania, Yaman, dan seterusnya -- kok kompak ya -- menarik untuk dikaji. Gencarnya media seringkali cuma memblow up “apa yang terjadi”, yaitu gerakan massa menginginkan pergantian rezim. Kendati sudah jatuh korban baik luka, harta benda bahkan korban jiwa, tidak membikin massa gentar dan surut, justru menyulut pergerakan semakin meletup-letup. Ya, untuk beberapa bulan ke depan, barangkali “geliat” negara-negara di seputar Jalur Sutra bakal disorot oleh mata dunia.


Tulisan tak ilmiah ini, mencoba menjelaskan bukan dari aspek "apa yang terjadi" -- tetapi mencoba "slulup" (menyelam), lalu menguak persoalan dari sisi “mengapa ia terjadi”, baik dari aspek internal maupun eksternal. Dan semoga celoteh ini bukan potongan secara parsial dari hakiki permasalahan yang terjadi. Inilah ulasan sederhananya.

Berangkat dari asumsi : bahwa konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Itu mutlak, karena memantau gejolak dan gerakan massa di Timur Tengah (Timteng) harus totalitas dan bulat. Artinya ialah apapun gejolak di Timteng dan sekitarnya, terutama negeri seputaran Jalur Sutra -- apabila ia menyangkut politik dan kekuasaan, sesungguhnya tak lepas dari "remot" Amerika Serikat (AS) dari kejauhan. Indikasi itu terlihat di Mesir. Adanya statement beberapa pakar dan tokoh Mesir sendiri menyebut, bahwa siapa memegang tampuk kekuasaan di negeri piramida harus melalui "restu" dari Paman Sam. Meski kebenaran pendapat tersebut sempat kabur dengan turunnya 1500 tentara Israel membantu pemerintah Mesir, ditambah bertolak-belakangnya statement antara Tel Aviv dan Washington.

Namun akhirnya terkuak bahwa ternyata hanya soal ketakutan berlebihan (phobia) Israel ditinggal sendirian jika Mubarak jatuh. Bagi Israel, kejatuhan Mubarak, selain akan menghilangkan sekutu dekatnya -- juga bisa berimbas putusnya pasokan 40 % gas dari Mesir jika kelak rezim penggantinya sosok anti-Israel. Dan phobia Israel terbukti dengan meledaknya pipa yang mentransfer gas ke negaranya. Disinyalir pergolakan di Mesir akan menciptakan kekacauan ekonomi Israel. Tel Aviv khawatir perubahan rezim di Mesir kemungkinan akan merugikan impor gas, sebab cadangan gas Israel hanya bertahan hingga 2012 (06/02.2011/IRIB/Farsnews/Aljazeera/AR). Dan ternyata meski rezim belum berganti --Mesir terus bergolak-- pasokan gas ke Israel terputus sudah!

Kisruh politik di kelompok negeri seputaran Jalur Sutra memang tidak sporadis atau berdiri sendiri-sendiri. Seperti ada skenario besar yang tengah dijalankan. Ada wayang, dalang dan juga terdapat kelompok hajatan atau yang punya hajat. Mari kita cermati aspek internal dan eksternal :

Pertama : Aspek Eksternal


Bermula dari munculnya WikiLeaks yang di-HERO-kan berbagai media sebagai simbol kebebasan dan cermin kuatnya dinamika (informasi) global. Awal kemunculannya menimbukan decak kekaguman berbagai pihak, namun rupanya ada hidden agenda (agenda tersembunyi) tak terbaca. Dunia tersihir oleh keberanian sosok individu menantang negara-negara, dan "kebenaran" informasi yang dibocorkan. Itulah fenomena Julian Assange. Loncatan logika yang tidak terbaca adalah, kenapa potret lazy joernalism (kemalasan jurnalis) justru digembar-gemborkan oleh media itu sendiri; siapakah individu atau perorangan di dunia ini yang berani melawan banyak negara, selain Superman, Spiderman, Popeye dan Osama?

Sekali lagi, dunia tersihir hingga lupa membaca hal tersirat pada fenomena. Padahal politik praktis adalah apa yang tersirat bukan yang tersurat (Pepe Escobar, 2007). Tiba-tiba saya teringat ajaran leluhur doeloe : wong wani iku kudu duwe bunci, wong kendel kudu duwe piandel (terjemahan bebasnya : orang berani itu harus ada modal dan punya andalan/diandalkan). Pertanyaannya adalah : Apa modal WikiLeaks, dan siapa andalan di belakang Assenge?

Mengurai hipotesa, modal apa dan siapa yang diandalkan WikiLeaks hingga Assange begitu hero melawan negara-negara, ternyata jawabannya ialah media New York Times/NYT (Michel Chassudovsky dan Dina Y Sulaiman, 2011). Indikasi ini tampak jelas, selain kesamaan fokus geopolitik WikiLeaks pararel dengan geopolitik AS yakni oppressive regimes di Asia, Cina, Rusia dan Timteng, juga dikatakan oleh David E Sanger dari NYT, bahwa seleksi dan editing informasi yang hendak dibocorkan Assange kepada publik justru dilakukan pemerintah AS itu sendiri. Gila! Inilah "dagelan politik" tingkat tinggi yang baru terurai. Maka pantaslah jika Presiden Ahmadinejad menanggapi, “Materi itu bukan bocor, melainkan dilepas secara terorganisir. Pemerintah AS melepas data-data itu, yang tidak memiliki nilai legal dan tidak akan memiliki dampak politis atas kepentingan mereka".

Pertanyaannya adalah : Apakah "dagelan" ini layak dianggap sebagai sikap hero guna membangkitkan opini publik melawan kebohongan media dunia? Siapa sejatinya yang pembohong?


Pertanyaan lanjut : Apa hidden agenda berbagai bocoran info WikiLeaks, yang sebelumnya ternyata sudah melalui seleksi dan editing dari pemerintah AS sendiri? Jawabannya semakin jelas, yaitu provokasi dan adu domba negara-negara yang dibidiknya. Namun agaknya, provokasi Assange terhadap Korea Utara versus Cina agar meletus konflik di internal negeri komunis, bertepuk sebelah tangan -- kedua negeri komunis tersebut tetap "saling mencinta". Demikian juga adu domba di Timteng antara Iran dengan Saudi Arabia pun tak bersambut. Bahkan Ahmadinejad menyambut dingin, "Negara-negara di kawasan (Timur Tengah) itu seperti sahabat dan saudara. Informasi yang menyimpang tidak akan mengganggu hubungan mereka".


Setiap TUJUAN niscaya meminta KORBAN. Itu sudah lazim pada dunia politik level apapun serta dimanapun. Tak ada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan. Contohnya di Mesir. Sekilas terlihat bahwa AS dan sekutu hendak mengorbankan Israel dan "boneka"-nya Mubarak, meski ia mengirimkan El Baradei sebagai sosok alternatif bergabung dengan Ikhwanul Muslimin (IM) yang nyata-nyata anti AS dan Barat. Aneh bin ajaib. Apakah ini permainan "politik dua kaki" (politik pemanfaatan), selain mendukung rezim penguasa juga merangkul oposisi untuk tujuan mengamankan kepentingan nasionalnya; atau AS cuma ingin "memetakan" kekuatan kelompok dan golongan yang tengah bertarung?

Membaca konflik Timteng dan negeri di seputaran Jalur Sutra, memang butuh kejelian tinggi sebab banyak fakta tak logis muncul diluar kelaziman. Mengurai akar pergolakan yang tengah berlangsung -- perlu menjauh dari hiruk-pikuk persepsi serta menjaga jarak sama dengan semua kepentingan. Agar kronologis hikmah terurai mendekat kebenaran, bukan mengada-ada.

Tampaknya AS dan sekutu boleh tersenyum kecil tatkala provokasi di Tunisia mampu membakar massa hingga Presiden Ben Ali terbirit-birit. Disinyalir, ini adalah hasil Tahap II dari “remot” AS di kejauhan, setelah Tahap I yakni bocoran WikiLeaks ditebar. Memang, kendati Tahap I gagal memprovokasi Asia dan Timteng -- namun relatif berhasil menyulut Tunisia via isue korupsi dan kemiskinan. Sedang bagi AS sendiri, tsunami politik Tunisia yang menjalar di negeri sekitarnya ialah awal penerapan Provincial Recostruction Team (PRT), yakni methode penjajahan era 1970-an doeloe yang telah ditinggalkannya (Baca lebih detail PRT di www.theglobal-review.com).

Ketika "slulup" lagi atas perubahan methode invasi militer ke PRT, salah satu penyebab pokoknya ialah budget besar dalam invasi, sedang proses balik modal dan keuntungan penanaman saham memakan waktu relatif lama. Agaknya Paman Sam belajar dari pahitnya “kegagalan” di Iraq dan Afghanistan yang memakan waktu relatif lama (2001 – sekarang). Meski tercatat sebagai perang terlama, akan tetapi tak sebarel pun minyak tereksploitasi dari kedua negara, sementara budget perang terus membayangi. Inilah yang sejatinya terjadi. (Mungkin) ini juga penyebab utama kebangkrutan ekonomi yang berefek domino disana-sini, terutama negara yang terjerat sharing saham (NATO dan ISAF), meski hal itu tak diakui dengan cover subprime mortgage (kredit macet perumahan) dan skandal Bernard Madoff menilep saham banyak orang. Itulah pertimbangan mendasar, mengapa AS mengubah pola dan methode penjajahan.

Memang PRT tak membutuhkan banyak biaya jika dibanding invasi militer. Istilah ibu-ibu, murah meriah! Buy one get three. Ya, PRT adalah bagian dari Volk Organization Company (VOC) yang merupakan modifikasi terbaru devide et impera, mehode tertua koloni AS dan sekutu dengan berbagai cara dan kemasan di dunia (Baca lebih detail VOC di www.theglobal-review.com). Dimana inti VOC adalah bagi-bagi proyek dan tersirat ruh adu domba di dalam suatu negara/daerah agar kendali tetap di tangan pemilik modal.

Namun di luar perkiraan AS dkk, methode VOC dan PRT yang diterapkan ternyata out of control (lepas kendali) karena ketiadaan dana. Ketika mantra kapitalis menyebut kesaktiannya adalah modal, sepertinya mantra itu menyembur balik ke muka Sang Tuan. Sebaliknya, substansi gelegar semangat di Timteng adalah kebersamaan untuk bangkit melawan tirani, atas nama kemiskinan, penindasan, dan atas nama kesewenang-wenang yang selama ini di derita rakyat akibat sistem dan rezim. Warna kebangkitan yang semula bercorak “pergantian rezim”, diyakini bisa berubah menjadi “pergantian sistem”. Sayang sekali! Pergolakan mulia guna mengubah peri kehidupan yang telah meminta banyak korban jiwa cuma menuntut pergantian rezim, bukannya sistem yang dibentuk asing yang hanya menguntungkan segelintir elit dan sekelompok orang (kapitalisme). Maka inilah awal kiamat bagi AS di Timteng dan keruntuhan dinastinya di kelompok negara Jalur Sutra.

http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=3963&type=4


1 komentar:

  1. Masuk akal, Sebodoh-bodohnya orang arab masih jauh lebih bodoh pemimpin di Indonesia

    BalasHapus