SELAMAT DATANG...SELAMAT BERJUANG !

Tiada kata Jera dalam Perjuangan.

Total Tayangan Halaman

Selasa, 30 November 2010

Agresi Militer Belanda II ke Yogyakarta 19 Desember 1948


Dec48.gif


Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.


Serangan ke Maguwo

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai."

Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.

Pemerintahan Darurat

Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.

Pengasingan Pimpinan Republik

Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen. [1]

Gerilya

Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII.

Catatan kaki

  1. ^ MENTOK DAN PANGKALPINANG SUMBER PERCATURAN DIPLOMASI INTERNASIONAL oleh Akhmad Elvian [1]
Sumber : Agresi Militer Belanda II ke Yogyakarta 19 Desember 1948

Rabu, 24 November 2010

Persepsi tentang Indonesia di Arab Saudi. (Yon Machmudi)


Secara demografi Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Dengan demikian, Islam tidak lagi identik dengan etnik Arab tetapi lebih dekat dengan etnik Melayu (Asia Tenggara). Ini disebabkan karena sebagian besar jumlah penduduk Muslim terbesar berada di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Tentu bukan suatu hal yang berlebihan jika saat ini Indonesia merupakan negara yang lebih berhak untuk mewakili kepentingan dunia Islam dari pada kaum Muslim dari Timur Tengah. Negara-negara Barat sendiri, seperti Amerika Serikat dan Australia misalnya, berharap Indonesia lebih berperan dan aktif terlibat dalam menyelesaikan konflik-konflik di Timur Tengah dan dunia Islam.

Namun demikian, negara Indonesia ternyata belum optimal memainkan perannya sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan di dunia Islam. Masyarakat di Timur Tengah, terutama Arab Saudi belum menganggap Indonesia sebagai negara penting dan sejajar sehingga patut dipertimbangkan kehadirannya di kawasan Timur Tengah. Banyak hal yang membuat posisi Indonesia di dunia Arab ini kurang diperhitungkan. Indonesia yang dulunya dikenal sebagai negeri para kaum cendikia dan ulama, kini lebih dikenal dengan negeri para pramuwisma. Apabila pada abad ke-18 M hingga akhir abad ke-20 M posisi Ulama Indonesia sangat disegani tetapi semenjak tahun 1980-an posisi itu bergeser dan berubah secara drastis. Indonesia tidak lagi disegani tetapi justru sering dilecehkan. Perubahan persepsi ini tentu berlangsung dalam waktu yang sangat panjang dan telah membentuk semacam sikap (behavior) dalam memperlakukan dan menempatkan Indonesia dalam hubungan internasional.

Perubahan-perubahan persepsi ini secara umum disebabkan oleh dua faktor :

Pertama, perubahan persepsi itu terjadi seiring dengan hilangnya peran keulamaan para pendatang dari Indonesia yang menetap di Arab Saudi (Mukimin). Hilangnya peran keulamaan itu disebabkan oleh perubahan politik dan orientasi keagamaan yang terjadi di Arab Saudi sejak sejak abad ke-18 M ditandai dengan berkuasanya para dinasti al-Saud yang mengakomodasi secara total doktrin Muhammad bin Abdul Wahab (1701-1793 M). Orientasi keagamaan Abdul Wahab yang dikenal keras dan tidak mengenal kompromi inilah yang kemudian menggusur peran ulama-ulama tradisional. Ulama-ulama itu sebagian besar berasal dari Asia Tenggara, terutama Indonesia.

Kedua, munculnya Arab Saudi sebagai negara petro dollar telah menjadikan negara ini menjadi pusat tujuan para pencari kerja terutama pekerja-pekerja informal. Sejak tahun 1970-an gelombang besar-besar tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia telah mengalir ke Arab Saudi. Keberadaan tanaga kerja wanita yang bekerja di sektor rumah tangga inilah kemudian mendominasi kelompok warga negara Indonesia di Arab Saudi. Akibatnya, dalam sehari-sehari masyarakat Arab Saudi lebih banyak mengenal Indonesia sebagai negerinya para pembantu rumah tangga dari pada suatu negeri yang banyak mencetak para cendikia dan ulama ternama berkaliber internasional.

Memudarnya Peran Ulama Indonesia

Kondisi para pendatang dari Indonesia (mukimin) saat ini tentu sangat kontras apabila dibandingkan dengan para pendahulu mereka pada abad ke-17 masehi sampai akhir abad ke-20 masehi. Di abad-abad ini bangsa Indonesia sangat disegani di Arab Saudi karena keberadaan para ulama Nusantara di tanah suci. Mereka banyak menulis kitab yang dijadikan rujukan Muslim di dunia, termasuk di Timur Tengah. Bahkan di antara mereka ada yang menduduki posisi sebagai imam masjid dan mufti besar di Masjidil Haram, seperti Imam Nawawi al-Bantani. Mereka dikenali sebagai orang Indonesia dengan melihat nama belakang yang menunjukkan asal daerah, seperti al-Batawi, al-Bantani, al-Jawi, al-Falimbani dan al-Banjari.

Dua kota suci, al-Haramain, merupakan pusat berkumpulnya ulama-ulama dunia. Haramain menjadi kota internasional di mana para ulama dari berbagai dunia berkunjung untuk menunaikan ibadah haji kemudian menentap untuk menuntut ilmu dan mengembangkan otoritas keagamaan mereka. Rata-rata mereka yang memiliki kedudukan terhormat di Haramain adalah para ulama mancanegara dari anak benua India, Persia, Asia Tenggara dan Afrika. Di antara ulama terkenal abad ke-17 M yang kemudian menjadi guru para ulama-ulama berikutnya adalah Ahmad al-Qusyasyi (lahir 1586) dan Ibrahim al-Kurani (lahir 1667 M).

Mereka ini dianggap sebagai tokoh sentral karena banyak ulama-ulama terkenal internasional pada zamannya, termasuk ulama-ulama Indonesia yang datang belakangan mememiliki garis intelektual (intellectual geneologis) dengannya.[1] Hubungan terjadi secara informal melalui patron guru dan murid yang kemudian berkembang menjadi sebuah jaringan yang kokoh. Sebagaian besar jaringan ini dibentuk oleh model gerakan tarekat karena kuatnya interaksi antara sang guru dan para murid-muridnya. Tentu saja kekokohan para guru tarekat di tanah suci ini juga ditopang oleh lembaga keagamaan yang ada pada waktu itu yaitu halaqah dan ribat (semacam pondok pesentren).[2]

Keberadaan ulama-ulama Indonesia (Jawi) mulai memperlihatkan peran yang signifikan sejak akhir abad ke-17 M. Abdul Rauf al-Sinkili (1615-1693) ulama asal Aceh, misalnya menetap di Haramain selama 19 tahun dan mendapatkan otoritas tertinggi tarekat Satariyah.[3] Dia adalah murid ulama Aceh asal Gujarat (India) Nuruddin Ar-Raniri (w. 1685). Selama menetap di Haramain, al-Singkili berguru dengan al-Qusyasyi dan al-Kurani. Berbeda dengan gurunya, ar-Raniri yang sangat keras menentang ajaran tasawuf falsafi, al-Singkili lebih moderat dalam menyikapi ajaran-ajaran sufistik. Disebutkan juga bahwa al-Singkili selalu melaporkan perdebatan-perdebatan di Aceh tentang persoalan tasawuf kepada gurunya, al-Kurani, yang menetap di Mekah.[4] Bahkan fatwa ar-Raniri yang menghukum Hamzah Fansuri dan pengikutnya sebagai kafir dan layak untuk dihukum mati mendapat perhatian khusus dari al-Kurani. Al-Kurani menyebutkan adanya masalah dari wilayah yang disebut min ba’dh jaza’ir Jawa disebabkan karena pemahaman sang sufi yang terlalu rumit sehingga tidak mampu menjelaskan kepada pihak lain sementara ulama yang menghukumi kafir itu dianggap terlalu literal dan menyalahi ajaran Nabi Muhammad.[5]

Murid al-Kurani dari Indonesia yang lain adalah Syekh Yusuf al-Makassari (lahir 1626 M). Al-Makassari adalah orang pertama pembawa tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Dia banyak menulis buku-buku berbahasa Arab dengan gaya penulisan seperti lazimnya orang Arab asli. Di antara bukunya yang terkenal adalah Safinah al-Najah sementara buku-buka lain berbahasa Arab belum ditemukan. Sosok al-Makassari ini memiliki otoritas yang cukup tinggi di dunia tasawwuf.

Dia tidak hanya mendapatkan ijazah tarekat Naqsyabandiyah tetapi juga tarekat Qadiriyah dan Syattariyah. Hampir 25 tahun lamanya, al-Makassari menetap di dunia Arab di awali di Yaman, Arab Saudi (Mekah dan Madinah) dan kemudian pindah ke Damaskus. Karena otoritasnya di dunia tasawwuf inilah kemudian dia dijuluki Syekh Taj al-Khalwati al-Makassari.[6]

Syekh Yusuf al-Makassari mengakhiri hidupnya di Afrika Selatan dan dianggap sebagai tokoh besar di benua Afrika dan juga di Srilanka. Semasa di Haramain waktunya banyak digunakan untuk belajar dan mulai menyebarkan pengaruhnya setelah kembali ke tanah air dan menyebarkan Islak ke Srilanka dan Afrika Selatan. Karenanya, nama Syekh Yusuf lebih dikenal di Afrika Selatan dari pada di tanah suci.

Abdussamad al-Falimbani (wafat 1789) adalah ulama Nusantara di tanah suci keturunan Hadrami dilahirkan di Palembang. Berbeda dengan Syekh Yusuf al-Makassari, Abdussamad ini tidak pernah lagi kembali ke Indonesia setelah menetap di tanah suci.[7] Namun demikian figur Abdussamad sangat dikagumi di Nusantara karena banyaknya karya-karya yang ditulis dalam bahasa Melayu. Sebagian besar karya-karya itu menjelaskan tentang pemikiran al-Ghazali. Tidak mengherankan apabila di tanah suci itu, sosok Abdussamad ini lebih dikenal dengan keahlian khususnya dalam menjelaskan karya-karya al-Ghazali, terutama kitab Ihya Ulumuddin. Dua karyanya Hidayah al-Salikin dan Sair al-Salikin merupakan saduran dari pemikiran-pemikiran al-Ghazali.[8]

Pada awal abad ke-19 M, di tanah suci muncul ulama besar dari Kalimantan. Ulama itu adalah Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Nama al-Banjari menjadi sangat terkenal di Haramain dan hingga saat ini para pendatang asal Kalimantan ini masih dijuluki sebagai orang-orang Banjar. Al-Banjari menghabiskan waktunya sekitar 40 tahun di tanah suci dan kembali berdakwah di kampung halamannya di Banjar, Kalimantan Selatan. Menurut cerita Muhammad Arsyad sejak kecil memiliki keahlian luar biasa dalam menulis kaligrafi. Karena keahlian menulis kaligrafi akhirnya pada usia 7 tahun dia diangkat anak oleh Sultan Banjar hingga usia 30 tahun. Di tanah suci dia banyak berguru dengan ulama-ulama Melayu seperti Syekh Abdurahman bin Abdul Mubin al-Fatani (Thailand Selatan), Syekh Muhammad Zein bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syekh Muhammad Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Dia juga menjadi murid Syekh Attailah penulis Kitab al-Hikam. Di tanah suci, ulama ini dikenal dengan keahliah qiraah dan menuliskannya dengan kaligrafi Banjar. Karya-karya yang terkenal antara lain Tuhfah ar-Raghibin dan Sabilul Muhtadin serta masih banyak karya-karya lain yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu karena sengaja ditujukan kepada murid-muridnya di Indonesia.

Ulama Indonesia yang paling dikagumi dan memiliki karir keulamaan tertinggi di Tanah Suci adalah Nawawi al-Bantani (1813-1879). Tidak hanya dihormati oleh komunitas Jawi tetapi juga di antara ulama-ulama di Haramain.

Di samping mengajar di halaqah-halaqah di Masjidil Haram an-Nawawi juga menjadi salah seorang mufti di Haramain. An-Nawawi sendiri mendapatkan julukan Syaikh al-Hijaz (penghulu ulama di dua tanah suci).[9]

Al-Bantani juga pernah memberikan pengajian di masjid al-Azhar, Mesir, atas undangan Syekh Ibrahim al-Bayjuri, mufti agung Mesir kala itu. Beberapa karya al-Bantani antara lain Tîjân al-Durarî (tawhid), Sullam al-Najât, Kâsyifah al-Sajâ, Sullam al-Tawfîq, al-Tsamrah al-Yâni'ah 'ala Riyâdh al-Badî'ah, Tawsyîkh 'alâ Fath al-Qarîb, Nihâyah al-Zain (fikih), Qatr al-Ghayts, Tanqîh al-Qawl (hadits), Minhâj al-'Ibâd (tasawuf), 'Uqûd al-Lujayn (psikologi rumah tangga), Murâh Labîd aw al-Tafsîr al-Munîr (tafsir) dan lain-lain.[10]

Di samping Syekh Nawawi al-Banteni, ulama Nusantara yang sangat produktif adalah Syekh Mahfuzh al-Turmusi (1842-1920) berasal dari Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dia banyak menulis beberapa komentar atas komentar (hasyiah) terhadap beberapa kitab fikih induk mazhab Syafi'i, seperti al-Minhâj, Fath al-Wahhab dan al-Iqna. Beberapa komentar itu kemudian dikenal dengan sebutan Hâsyiah al-Turmusî dan ditulis dalam beberapa jilid. Beliau juga menulis al-Siqâyah al-Mardhiyyah fî Asmâ al-Kutub al-Fiqhiyyah li Ashhâb al-Syâfi'iyyah (ensiklopedi kitab-kitab fikih mazhab Syafi'iy), Manhaj Dzaw al-Nazhar fi Manzhûmah Ahl al-Âtsâr (metodologi hadits), dan al-Fawâid al-Turmusiyyah fi Asmâ al-Qirâ'ah al-'Asyriyyah (tajwid-qira'ah sepuluh).

Melalui hasil didikan al-Banteni dan al-Turmusi kemudian lahirlah ulama-ulama Indonesia di Timur Tengah abad ke-20 yaitu Syekh Ihsan Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri (Jampes, Kediri, Jawa Timur) dan Syekh Muhammad Yasin ibn 'Isa al-Fadani (Padang). Al-Jamfasi adalah penulis kitab Sirâj al-Thalibîn 'alâ Minhâj al-'Âbidîn terdiri dari dua jilid berisi komentar atas karya tasawuf Imam al-Ghazali dan Manâhij al-Amdâd (tasawuf).

Kitab ini pernah dijadikan sebagai salah satu bahan ajar dan referensi (muqarrar) di Universitas al-Azhar Al-Fadani (1917-1990). Yang unik dari sosok Syekh Ihsan Dahlan ini adalah bahwa dia tidak pernah menetap di dunia Arab dalam waktu lama kecuali untuk kunjungan singkat untuk tujuan haji saja tetapi kemampuannya dalam menuliskan pemikirannya dalah bahasa Arab sangat luar biasa. Kitab Sirâj al-Thalibîn ini disamping diterbitkan di Indonesia juga diterbitkan oleh penerbit-penerbit dari Timur Tengah dan Afrika. Di Afrika kitab ini banyak digunakan di Maroko dan Mali. Bahkan di dua negara Afrika itu mereka yang menggunakan kitab Syekh Ihsan Dahlan ini tidak mengetahui apabila sang penulis itu berasal dari Indonesia karena identitas penulis menggunakan nama tambahan al-Jampasi al-Kadiri bukan al-Andunisi.

Al-Fadani sendiri adalah guru besar hadits dan ushul fikih di perguruan Dâr al-‘Ulûm Mekkah. Ia menulis banyak buku berjilid-jilid tentang hadits, ushul fikih dan tasawwuf. Kitab-kitab yang ditulisnya antara lain, kitab al-Fawâid al-Janniyyah 'alâ al-Farâ'id al-Bahiyyah fî al-Qawâ'id al-Fiqhiyyah, Hâsyiah 'alâ al-Asybâh wa al-Nazhâ'ir fi al-Furû' al-Fiqhiyyah, Fath al-'Allâm Syarh Bulûgh al-Marâm dan al-Durr al-Mandhûd fî Syarh Sunan Abî Dâwud. Mufti besar al-Azhar, Prof.Dr. Ali Jum'ah Muhamad, bahkan menyandarkan silsilah haditsnya pada al-Fadani yang dikenal ulama bersahaja di Mekah ini. Ini dapat dilihat kitab yang dijadikan sandaran oleh Ali Jum’ah yaitu kitab Hâsyiah Jawharah al-Tawhîd karangan Syekh Ibrahim al-Bayjuri yang bermuara pada seorang ulama Nusantara asal Padang, yaitu Syekh Muhammad Yasin ibn 'Isa al-Fadani.

Kuatnya peran ulama-ulama Indonesia dapat dibuktikan dengan penghargaan bangsa Arab kepada mereka. Memang tidak dapat dibuktikan sejak kapan orang-orang yang berasal dari Bilad Jawa ini mendapatkan penilaian yang demikian tinggi di Mekah. Catatan-catatan sejarah Mekah sendiri jarang sekali menyebut peran orang-orang dari Bilad Jawa ini meskipun secara berabad-abad telah mengirimkan rombongan-rombongan haji ke Tanah Suci. Justru perhatian sejarah Mekah banyak menceritakan tentang orang-orang India yang kaya raya.[11]

Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa selama kunjungannya di Mekah 1885 dia mencatat sebanyak 8.000 – 10.000 orang-orang Melayu tinggal di Haramain dan memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan spiritual di di tanah air mereka.[12] Kebanyakan dari mereka adalah para penuntut ilmu, profesor, pemandu wisata dan para pemimpin tarekat.[13]

Memang agak mengherankan mengapa catatan-catatan sejarah Mekah sendiri tidak memuat tentang kontribusi ulama-ulama Indonesia itu sehingga pengaruh dan penghormatan terhadap ulama-ulama Jawa lebih didasarkan pada cerita-cerita lisan masyarakat setempat dan pengamatan orang-orang Eropa.

Untungnya, karya-karya para ulama Indonesia yang disebutkan di atas telah ditulis dalam bahasa Arab dan tersebar luas di dunia Arab dan Afrika terutama sejak abad ke-18 M.

Sementara sampai awal abad ke-20 M keberadaan ulama-ulama Indonesia dan para Mukimin di Haramain masih diperhitungkan. Ini dapat dibuktikan dengan dikabulkannya tuntutan utusan Indonesia yang tergabung dalam Komite Hijaz pada tahun 1925 agar makam-makam para sahabat dan makam Nabi Muhammad tidak dipugar oleh pihak kerajaan Arab Saudi. Keberhasilan diplomasi revolusi Indonesia di Timur Tengah juga karena simpati mereka terhadap perjuangan bangsa Indonesia dan penghormatan mereka pada orang-orang Indonesia yang ada di Timur Tengah.[14]

Untuk menghargai dan menelusuri karya-karya ulama Indonesia di masa lalu terutama beberapa naskah-naskah keagamaan yang belum ditemukan perlu adanya usaha serius untuk menggali dan menerbitkan karya-karya mereka. Salah satu usaha penting yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementrian Agama Republik Indonesia adalah melakukan pengkajian terhadap naskah-naskah ulama Nusantara untuk dapat diterbitkan dan dibaca oleh khalayak umum. Program itu diawali oleh Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta yang mengadakan Program Tahqiqul Kutub Ulama Nusantara.

Di antara hasil dari program itu adalah ditetapkannya beberapa karya-karya penting untuk dilakukan penyuntingan naskah dan kemudian diterbitkan. Karya-karya itu antara lain, Fathul Mujib fi Syarh Mukhtashar al-Khatib, karya Syekh Nawawi al-Bantani. Ghunyatul Thalabah dan Takmilah Mauhibah Dzil Fadl, keduanya Karya Syekh Mahfudz at-Turmusi. Tahshil Nail al-Maram li Bayani Mandhumat 'Aqidatil Awam, karya Syekh Sihabuddin bin Syekh Arsyad al-Banjari. Anisul Muttaqien dan Nashihah al-Muslimin wa Tazkirah Al-Mu’minin, karya Syekh Abdussamad al-Falimbani. Syamsul Anwar,Tahsinul Awlad, dan Tanqiyatul Qulub Fii Allamil Qhuyub merupakan karya Idrus Qaimuddin al-Buthani asal Buton, Siraj at-Thalibin dan Manahij al-Imdad karya Kyai Ihsan Jampes, Kediri.[15]

Syekh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadani adalah ulama Indonesia terakhir yang karya-karyanya dibaca di Timur Tengah. Sejak wafatnya al-Fadani di tahun 1990 dan tutupnya madrasah Darul Ulum di Mekah tempatnya untuk mengaktualisasikan keilmuannya itu, peran ulama-ulama Indonesia semakin memudar dan bahkan hilang sama sekali.

Azyumardi menilai bahwa banyak faktor yang menyebabkan hilangnya peran keulamaan keturunan Indonesia di Arab Saudi.[16]

Pemahaman ulama-ulama Indonesia yang berorientasi pada pengamalan tasawuf jelas tidak sesuai dengan ajaran formal keagamaan di Arab Saudi.

Di samping karena kebijakan penguasa yang mengadopsi gerakan Islam yang dimotori oleh Muhammad bin Abdul Wahab faktor-faktor lain juga berkontribusi terhadap merosotnya peran ulama Indonesia di Arab saudi, antara lain karena kebijakan pemerintah Saudi untuk melakukan sentralisasi dan pengaturan terhadap lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dan berbagai batasan-batasan terhadap para pendatang non Saudi.

Tidak hanya itu penerbitan-penerbitan di Saudi juga dikontrol oleh pemerintah sehingga tidaklah mudah untuk menerbitkan karya-karya ulama yang tidak sesuai dengan orientasi keagaamaan di Saudi.

Tidak hanya itu pemerintah Saudi juga cenderung membatasi akses para mukimin menuntut ilmu ke perguruan tinggi dan juga membatasi penerbitan karya-karya mereka dengan alasan untuk mengurangi popularitas kepakaran dan pengaruh para mukimin melebihi orang-orang Saudi itu sendiri. Akibatnya, karya-karya ulama Indonesia pun mulai sulit ditemukan dan kalaupun ada biasanya dijualbelikan secara sembunyi-sembunyi.[17]

Menghilangnya peran ulama-ulama Indonesia kemudian digantikan dengan masuknya para pendatang dari Indonesia yang beroreintasi pada pemenuhan kebutuhan materi dari pada untuk menuntut ilmu.

Para pendatang ini pada umumnya didomisi oleh pekerja-pekerja wanita domestik atau dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Wanita (TKW). Apabila pada masa lalu para pendatang dari Indonesia didominasi oleh kelompok penuntut ilmu maka gelombang berikutnya justru dipenuhi oleh para pekerja kasar yang sengaja mencari nafkah di Arab Saudi.

Tidak jarang dari mereka bahkan tidak memahami ajaran-ajaran agama karena berasal dari daerah-daerah pedesaan yang memang kurang memperhatikan persoalan-persoalan agama. Mereka juga sebagian besar tidak memahami budaya dan tradisi yang berlaku di Arab Saudi.

Dominasi Pekerja Domestik Indonesia

Citra Indonesia di Arab Saudi saat ini dapat dikatakan sangat buruk. Salah seorang guru besar dari UIN Jakarta, Muslimin Nasution, menyatakan bahwa dahulu apabila disebut nama Indonesia orang-orang Arab langsung membayangkan ulama-ulama di Masjidil Haram tetapi sekarang hal itu tidak terjadi lagi.[18]

Bahkan karena terganggu dengan citra negatif ini para mahasiswa dan tokoh Indonesia dari kalangan mukimin di Indonesia mendesak pemerintah untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja domestik ke Arab Saudi.[19] Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun pada tahun 2000 pernah mengeluarkan sebuah fatwa tentang larangan pengiriman tenaga kerja wanita Indonesia ke luar negeri, termasuk ke Arab Saudi.[20]

Perubahan persepsi dari 'masyarakat cendikia' menuju 'masyarakat pramuwisma' tentu dapat dipahami. Indonesia kemudian lebih dikenal sebagai bangsa para pramuwisma rendahan.

Bahkan lebih dari itu para pekerja wanita asal Indonesia pun sering diasosiakan dengan praktik-praktik pelacuran di Arab Saudi. Akibatnya, persepsi negatif itu kemudian terus berkembang sehingga banyak warga Arab Saudi yang menilai Indonesia sekedar sebagai negeri para pramuwisma yang dihinakan. Ada istilah yang lazim diucapkan oleh warga Arab Saudi, Andunisiun musykilah (orang-orang Indonesia membawa masalah).

Dalam laporan majalah Gatra pada tahun 2003 disebutkan bahwa sekitar 118 wanita Indonesia ditangkap di Arab Saudi karena kasus prostitusi.[21] Pada tahun 2006 dan 2007 warga negara di Indonesia yang telah diderpotaasi masing-masing sebanyak 23.150 dan 22.116 orang.[22] Di bulan Januari 2010 lalu sebuah stasiun televisi national Arab Saudi, One Channel, menayangkan penggerebekan sebuah apartemen di Riyadh yang melibatkan orang-orang Bangladesh dan seorang wanita Indonesia terkait kasus sindikat obat-obatan terlarang.[23]

Hingga saat ini jumlah para mukimin Indonesia secara keseluruhan yang ditangkap dan dipenjarakan oleh para aparat kepolisian Arab Saudi karena pelanggaran imigrasi, kriminal dan prostisusi sudah ratusan ribu.

Di samping itu juga para pembantu rumah tangga dari Indonesia juga tidak jarang mengalami penyiksaan dan kekerasan dalam bekerja. Seringnya kejadian penyiksaan ini sendiri juga merupakan cerminan kondisi keluarga-keluarga Arab Saudi itu sendiri yang memang tidak asing dengan tindakan-tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam sebuah penelitian di Riyad misalnya diketahui bahwa hampir 85% anak-anak sekolah di Riyad pernah mengalami tindakan kekerasan di rumah mereka baik yang dilakukan oleh orang tua maupun saudara-saudaranya.[24]

Tidak adanya perlindungan bagi tenaga kerja domestik di Arab Saudi inilah yang menjadi pemicu terjadinya tindakan-tindakan kekerasan terhadap pekerja wanita Indonesia. Namun demikian faktor budaya yang berbeda juga berpengaruh terhadap munculnya kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan berperilaku.

Kondisi terbaik TKW Indonesia di Qatar misalnya jauh lebih baik dibanding di Arab Saudi karena pemerintah Indonesia telah menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) dengan pihak pemerintah Qatar mengenai perlindungan tenaga kerja di sektor domestik.[25]

Sebenarnya sejak tahun 1978 pemerintah Saudi mulai memberlakukan peraturan pembatasan jumlah mukimin dengan cara menangkapi dan memulangkan semua warga negara asing yang tidak memiliki surat ijin tinggal. Hanya saja karena gelombang pengiriman tenaga kerja Indonesia terutama tenaga wanita (TKW) tidak dapat dikendalikan maka keberadaan mereka juga semakin tidak teratur.

Arab Saudi semakin mempersulit ijin tinggal dan tidak lagi memberikan kewarganegaraan kepada warga asing meskipun mereka lahir di Saudi Arabia. Akibatnya, banyak warga negara Indonesia di Saudi tidak lagi memiliki kewarganegaraan. Mereka mengaku orang Indonesia tetapi tidak berbahasa dan berpaspor Indonesia.[26]

Kesan negatif tentang Indonesia menjadi semakin buruk ketika dijumpai banyak pekerja wanita Indonesia berprofesi sebagai prostitusi dan pada umumnya dikenal dengan bayaran yang sangat murah. Rata-rata mereka dibayar 50 riyal untuk sekali kencan sementara para pelacur dari Pilipina, misalnya, dihargai 200 riyal. Wanita-wanita Indonesia pun sering dijuluki “abu khamsin� (barang seharga 50 riyal). Praktik-praktik pelacuran terselubung ini tidak hanya terjadi di kota-kota seperti Thaif, Riyadh dan Jedah yang memang lebih longgar pengawasannya tetapi terjadi di Mekah dan Madinah yang dikenal sebagai dua kota suci.[27]

Ada julukan lain yang diberikan kepada para wanita Indonesia, “Siti Rahmah.� Sepintas julukan ini memberi kesan pujian, yaitu wanita yang memberikan kasih sayang, tetapi apabila diteliti lebih lanjut maka terlihat bahwa maksud dari julukan itu justru melecehkan.[28]

Ungkapan “Siti Rahmah� itu diucapkan dengan nadah cemoohan, berkonotasi syahwat. Julukan ini sepadan dengan sebutan “Indon� bagi warga Indonesia di Malaysia, bahkan mungkin lebih rendah.[29]

Kesan Indonesia sebagai negara para pramuwisma sungguh melekat di benak sebagian besar masyarakat Arab Saudi. Pramuwisma yang bekerja informal ini telah menanamkan kesan yang sangat dalam kepada anak-anak Arab tentang wanita-wanita Indonesia dan bangsa Indonesia secara umum. Sikap mereka yang kurang menghormati para pembantu Indonesia dipastikan akan terus terbawa hingga mereka dewasa. Untuk jangka panjang, cara pandang yang menganggap rendah akan mempengaruhi sikap generasi-generasai muda Arab Saudi dalam berinteraksi dengan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Di samping itu, banyak para pejabat negara Arab Saudi yang mempekerjakan wanita-wanita Indonesia di rumah mereka, baik itu secara legal maupun illegal.[30] Jumlah tenaga kerja wanita yang bekerja sebagai pramuwisma legal mencapai 700.000 orang sementara ditambah dengan yang ilegal bisa mencapai tiga kali lipatnya.[31] Apabila diambil rata-rata setiap 4 rumah warga Arab Saudi mempekerjakan satu pramuwisma dari Indonesia.[32] Dibanding dengan negara-negara lain di Timur Tengah, jumlah tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi menempati posisi tertinggi.

Berdasarkan data dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) periode Februari-Desember 2009 jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi berjumlah 214.824 orang yang terdiri dari 212.645 orang di sektor informal dan 2.179 orang di sektor formal. Jumlah pekerja Indonesia di Qatar 7.194 orang dan Emirat Arab 28.561. Komposisi terbesar adalah pekerja di sektor informal (domestik).[33]

Profesi pramuwisma tidak hanya dipandang rendah, setara dengan budak tetapi juga dianggap pekerjaan yang tidak bermartabat. Budaya agama yang berlaku di Timur Tengah (Arab Saudi) juga menganggap tidak layak seorang wanita sendirian tanpa muhrim meninggalkan rumah untuk bekerja di luar negeri. Secara budaya eksistensi pramuwisma di Arab Saudi sebenarnya menggambarkan rendahnya Indonesia di Timur Tengah sementara dari sisi agama dianggap sebagai pelanggaran ajaran agama Islam karena membiarkan wanita-wanita tanpa muhrim bekerja ke luar negeri untuk dieksploitasi. Dalam pembicaraan sehari-hari banyak orang Arab Saudi yang sering mempertanyakan keberadaan kaum laki-laki Indonesia.[34]

Secara umum, kondisi mukimin Indonesia di Timur Tengah mulai berubah ketika masuknya gelombang pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah pada tahun 1970-an. Para mukimin yang dulunya merupakan ulama besar disegani di tanah suci, kini didominasi oleh para pramuwisma dan pendatang-pendatang yang sebagian besar menjadi persoalan di Arab Saudi. Mantan Menteri Agama Republik Indonesia, Maftuh Basuni, pernah menyampaikan bahwa dahulu para mukimin Indonesia itu adalah para penuntut ilmu, kemudian pulang ke tanah air akan menjadi ulama tetapi sekarang sebagian besar mereka adalah para pekerja yang tidak mempunyai pengetahuan apa-apa. Akibatnya, banyak dari mereka yang melakukan tindakan kejahatan termasuk juga menganggu para jamaah haji dari Indonesia.[35] Naiknya jumlah pelajar dan mahasiswa di Arab saudi dari tahun ke tahun tidak berdampak pada pencitraan terhormat bangsa Indonesia. Apalagi sering dijumpai mereka memiliki izin tinggal untuk belajar tetapi tidak digunakan semestinya, banyak dari mereka yang tidak belajar sama sekali.[36] Persoalan-persoalan imigrasi, kriminal dan pelacuran menjadi hal yang biasa terjadi pada para pendatang dari Indonesia. Bahkan banyak di antara para mukimin dari Indonesia itu melakukan pencurian dan penipuan kepada para jamaah dari Indonesia sendiri.

Diplomasi Indonesia di Timur Tengah

Bagaimana persepsi masyarakat Arab Saudi yang negatif terhadap Indonesia itu berpengaruh terhadap hubungan dan diplomasi di antara kedua negara? Secara umum sikap kebijakan luar negeri (foreign policy behavior) ditentukan oleh banyak faktor, antara lain faktor sejarah, budaya, geostrategi, militer, ekonomi, sumber daya alam, sistem pemerintahan dan posisi negara dalam tatanan politik internasional.[37] Sikap suatu negara terhadap negara yang lain juga dipengaruhi oleh sejauhmana negara tersebut memposisikan negaranya di hadapan negara lain. Negara yang secara ekonomi lebih maju akan menempatkan pada posisi tinggi dalam hirarki politik global sementara negara miskin menempati posisi rendah. Dalam hal ekonomi Indonesia dianggap memiliki ketergantungan dengan Arab Saudi karena negara ini menjadi tempat tujuan mencari kerja bagi tenaga-tenaga kerja kasar Indonesia. Hal ini berakibat pada tujuan, sikap dan perilaku politik luar negeri Arab Saudi yang belum menganggap Indonesia sebagai mitra penting dalam kerjasa sama internasional. Ini ditandai dengan sejak tahun 1970-an hingga saat ini belum ada kunjungan resmi Raja Arab Saudi ke Indonesia. Sikap politik luar negeri Saudi Arabia yang demikian tentu tidak terjadi begitu saja tetapi didasari oleh pilihan-pilihan sadar (deliberate choices).

Untuk memahami hubungan luar negeri antara Indonesia dan Arab Saudi yang tidak memiliki progess penting dalam beberapa dekade terakhir ini perlu untuk menganalisa persepsi (perception), gambaran (image) dan sikap (attitude) Arab Saudi tentang Indonesia.[38] K.J. Holsti berpendapat bahwa perception, image dan attitude sangat berpengaruh dalam menentukan hasil (outputs) dari suatu suatu hubungan international.[39] Persepsi dan gambaran yang tidak lengkap terhadap suatu negara pada umumnya akan melahirkan sikap yang bermacam-macam, seperti saling tidak percaya, memusuhi, merendahkan, dan tidak menganggap penting mitra dalam hubungan luar negeri itu. Informasi tentang Indonesia saat ini, misalnya, lebih banyak diperoleh melalui interaksi warga Arab Saudi dengan warga Indonesia dalam bentuk hubungan antara majikan dan pembantu. Mereka tidak mendapatkan gambaran yang utuh tentang Indonesia karena media-media Arab Saudi sendiri sering memberitakan pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan kriminal para pekerja Indonesia terutama tenaga-tenaga kerja wanita. Apalagi banyak kalangan masyarakat Saudi sendiri yang tidak memiliki pengalaman perjalanan ke luar negeri, seperti Indonesia.

Kasus mukimin Indonesia yang menciptakan gambaran negatif Indonesia mengakibatkan munculnya persepsi tidak utuh di kalangan warga negara Arab Saudi tentang Indonesia. Tujuan (objective) hubungan internasional antara Arab Saudi dan Indonesia pun lebih banyak berkenaan dengan urusan-urusan yang berkaitan dengan isu-isu kecil penanganan keberadaan mukimin Indonesia yang menimbulkan banyak persoalan ini. Akibatnya, hubungan di antara kedua negara ini tidak beranjak pada urusan-urusan yang lebih strategis dan saling menguntungkan. Kerjasama yang salama ini terjalin terlihat biasa-biasa dan tidak mengalami peningkatan. Padahal negara-negara lain seperti negara-negara Eropa, Amerika, Cina, Singapura dan Jepang telah mendapatkan manfaat besar dalam bentuk kerjasama perdagangan dan investasi.

Dalam sejarahnya hubungan Indonesia Arab Saudi juga mengalami pasang surut. Ternyata faktor agama meskipun berkontribusi dalam menjaga hubungan antara kedua negara itu tidak cukup untuk dapat membawa hubungan itu pada kondisi yang saling menguntungkan.

Hubungan budaya dan emosional yang terjalin berabad-abad lamanya, terutama dukungan negara-negara Timur Tengah terhadap kemerdekaan Indonesia tahun 1945, tidak berfungsi dengan baik ketika kepentingan nasional dua negera itu tidak sinkron.

Misalnya, kebijakan negara Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno yang cenderung dekat kepada Uni Soviet dan Partai Komunis Indonesia telah merenggangkan hubungan kedua negara itu. Arab Saudi merasa tidak nyaman dengan Indonesia karena terlalu pro kepada blok komunis.[40] Bahkan ketika Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia tahun 1962-1964, negara-negara di Timur Tengah cenderung tidak mendukung Indonesia. Pada saat Indonesia tidak mau menerima kehadiran Malaysia dalam KTT II Non Blok di Kairo 1964 misalnya, justru negara-negara Arab mengijinkan Malaysia sebagai peninjau.[41] Penolakan Indonesia terhadap masuknya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mendapat dukungan negara-negara Arab, seperti Jordan, Arab Saudi dan Mesir. Pada tanggal 20 Januari 1965 Indonesia pun keluar dari PBB dan bersama beberapa negara Asia, Eropa, Afrika dan Amerika Selatan membentuk kekuatan baru yang disebut Conference of New Emerging Forces (Conefo).

Pada masa Soeharto hubungan itu diperbaiki kembali ditandai dengan kunjungan presiden RI itu ke Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya pada tahun 1977.

Kunjungan itu kemudian menghasilkan kesepakatan pemerintah Arab Saudi untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di Indonesia seperti Pabrik Pupuk di Cikampek, Pupuk Pusri di Palembang, pembangunan jalan raya Surabaya – Malang dan pembangunan pembangkit listrik di Bandung.[42]

Namun demikian tetap saja hubungan itu berada pada posisi stagnan dan belum menggembirakan karena apabila dibanding dengan negara-negara lain, Korea Selatan misalnya, yang menjalin hubungan dengan Arab Saudi Indonesia masih berada jauh di bawah.

Ditambah lagi munculnya berbagai kasus-kasus kekerasan di tahun 1970-an yang melibatkan beberapa kelompok Islam yang diduga dibiayai oleh negara-negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi. Karenanya fokus perhatian pemerintah pada waktu itu terhadap Timur Tengah lebih diarahkan pada pengawasan terhadap setiap warga negara Indonesia yang belajar di Timur Tengah karena dianggap berpotensi untuk membawa pengaruh Islam fundamentalis ke tanah air. Kondisi semacam ini tentu menjadikan negara-negara Timur Tengah menjadi tidak nyaman.

Pada saat sekarang pun, pemerintah Indonesia masih menaruh curiga terhadap Saudi Arabia yang dianggap mempengaruhi kegiatan terorisme di Indonesia. Padahal, seharusnya Indonesia dapat mempererat hubungan dengan Arab Saudi terutama dalam hal menangani masalah terorisme internasional. Indonesia diharapkan dapat menjalin kerjasama dengan Kerajaan Arab Saudi tentang kegiatan-kegiatan terorisme internasional yang akan berdampak ke Indonesia dan bukan sebaliknya seakan-akan mengarahkan persoalan terorisme internasional itu kepada Arab Saudi sebagai sumber terorisme.

Pernyataan mantan Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN) A.M. Hendropriyono misalnya beberapa kali menyebut bahwa sumber dari terorisme adalah ajaran Wahabisme yang berasal dari Saudi Arabia. Tentu saja pernyataan ini terlalu simplifikasi dan berakibat pada ketidaknyamanan Kerajaan Arab Saudi yang juga menghadapi masalah yang sama tentang terorisme.

Untuk meningkatkan peran diplomasi Indonesia di Timur Tengah, terutama dengan Arab Saudi perlu dilakukan usaha merubah persepsi negatif dan sikap yang tidak sejajar. Persepsi dan sikap yang telah melembaga (culture), menurut Garry Ferraro dapat mengalami perubahan karena adanya faktor internal dan eksternal.[43] Persepsi negatif tentang Indonesia dapat mengalami perubahan apabila terjadi peningkatan kualitas pekerja-pekerja Indonesia yang sering berinteraksi dengan warga Arab Saudi (internal) dan secara eksternal Indonesia merubah kebijakan pengiriman tenaga-tenaga kerja wanita ke Timur Tengah. Kebijakan yang dapat dilakukan antara lain dengan menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita ke Arab Saudi dan memfokuskan pada pengiriman tenaga kerja yang memiliki keahliah (skilled labours). Para tenaga kerja wanita Indonesia untuk sementara dialihkan pada negara-negara yang memang sudah memiliki aturan ketenagakerjaan yang jelas dan memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Bahkan apabila dipandang perlu untuk dapat menciptakan citra positif tentang Indonesia di dunia Islam maka Timur Tengah hendaklah tidak dijadikan sebagai tujuan pengiriman tenaga kerja domestik.

Sementara itu peran diplomasi Indonesia di Arab Saudi lebih difokuskan pada usaha untuk menarik investor-investor Arab untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan demikian para pekerja domestik Indonesia tidak perlu lagi ke Timur Tengah karena mereka dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan sebagai akibat tidak langsung keberhasilan diplomasi Indonesia di Timur Tengah. Para mukimin Indonesia yang lahir dan menetap puluhan tahun di Arab Saudi diharapkan mampu membantu dalam memperlancar proses diplomasi dan negosiasi dengan para pemegang kekuasaan politik dan ekonomi di Arab Saudi karena mereka telah memahami karakter dan budaya setempat.

Kesimpulan

Bagaimana sebuah bangsa yang penduduknya dilecehkan sebagai tenaga-tenaga kerja rendahan akan mampu tampil sebagai mediator dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di dunia internasional, terutama di kawasan Timur Tengah? Untuk memerankan diri sebagai medioator (the third party) dalam perdamaian internasional, Indonesia harus memiliki posisi dihormati oleh negara-negara yang sedang bertikai.

Karenanya usaha untuk mengangkat citra Indonesia di Timur Tengah harus dilakukan. Peran diplomasi Indonesia tidak akan bermakna apabila masyarakat Timur Tengah, terutama Arab Saudi masih menganggap Indonesia sebagai negara yang posisinya tidak sejajar dengan mereka. Persoalan tenaga kerja wanita di Arab Saudi harus diselesaikan dengan baik dan kalau perlu dilakukan pengalihan pengiriman tenaga-tenaga kerja domestik ke negara-negara lain.

Biar bagaimana pun, persoalan budaya masyarakat Arab dalam memandang tenaga kerja wanita Indonesia masih menjadi persoalan yang serius dan bertanggung jawab terhadap pembentukan persepsi dan sikap yang kurang baik terhadap Indonesia. Dengan peningkatan kualitas tenaga-tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi terutama hanya mengirim tenaga-tenaga profesional saja diharapkan dapat menaikkan citra Indonesia di mata publik Arab Saudi.

Untuk mengisi kekosongan figur-figur ulama yang lahir dari para mukimin Indonesia di Arab Saudi, pemerintah Indonesia hendaknya dapat memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh para mukimin.

Beasiswa-beasiswa dari Indonesia diharapkan dapat disalurkan kepada anak-anak mukimin Indonesia itu untuk dapat mendalami ilmu-ilmu agama dan mendorong mereka untuk mendedikasikan diri dalam hal penguatan citra keulamaan di kalangan mukimin di Indonesia.

Diharapkan dengan kemampuan bahasa dan budaya yang dimiliki mereka kemudian mampu melahirkan karya-karya di bidang agama yang menjadi tren saat ini dan mampu dinikmati oleh pembaca-pembaca di Timur Tengah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendahulu mereka di Haramain.

Apabila kondisi intelektual seperti itu dapat dicapai tentu dapat dibayangkan di masa depan Indonesia dapat lebih optimal untuk tampil sebagai kekuatan baru yang disegani dalam percaturan politik di dunia Islam dan Timur Tengah.



Yon Machmudi; Negeri Kaum Cendekia atau Pramuwisma ? : Persepsi tentang Indonesia di Arab Saudi, Jurnal Arab Volume 12 Nomer 24 (Oktober 2009 Maret 2010)

Kamis, 18 November 2010

Kasus Gayus itu Hanya 10 Persen dari Kasus Pajak (Djoko Edhi)


Jakarta (LiraNews) – Kasus mafia pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan adalah 10 persen dari kasus serupa yang sampai kini tak terungkap. Ketua Indonesia Tax Watch (ITW) Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman, SH, SE, MM mengatakan, di kantor pajak Jakarta saja, ada 74.000 kasus seperti itu. “Soal itu ITW punya data,” katanya.

Mantan Anggota Komisi III DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini bercerita panjang lebar mengenai mengapa Gayus dapat dengan mudah plesir ke Bali nonton tenis, padahal tak punya hobi tenis, sampai bagaimana permainan patgulipat uang pajak itu bisa terjadi. “Ini memang sudah mafia yang melibatkan Das Kapital,” katanya kepada Miftah H. Yusufpati, hari ini.

Berikut petikan wawancara dengan Djoko yang kini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Penasehat SIAN BNN tersebut.

Komentar Anda tentang suap Gayus kepada penjaga lapas di Mako Brimob?
Kasus seperti itu sudah terjadi sejak dulu. Tahanan dapat keluar masuk di Mako Brimob. Bukan hal baru. Tahanan di Mako Brimob memperoleh privelege, sudah rahasia umum. Petinggi Polri dan pengacara tahu itu. Dulu, Komjen Pol (Purn) Suyitno Landung juga beroleh keistimewaan yang sama.

Komjen Pol (Purn) Suyitno Landung adalah mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri pada tahun 2004-2005. Pada tanggal 13 Desember 2005, ia ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang pada saat menangani kasus pembobolan Bank BNI dengan tersangka Adrian Waworuntu. Ia juga ditahan di Mako Brimob.

Mengapa sekarang diributkan?
Itu karena Gayus. Mafia pajak ini melibatkan 149 perusahaan yang ditanganinya, dan 60 di antaranya adalah perusahaan bermasalah. Gayus mestinya bisa jadi whistle blower atau peniup peluit dalam kasus ini, jika bukan dia terdakwanya. Perusahaan-perusahaan tadi akan terkena pasal korupsi jika ia bernyanyi terus, dan jika nyanyiannya diulang-ulang. Dan dia sebenarnya sudah nyanyi, cuma belum nyaring. Polisi belum bersedia membongkar semuanya. Masih menunggu 86 (Suap).

Menurut saya, keluarnya Gayus lalu nampang di kamera pers, adalah by design. Kalau Gayus terus ngetop, banyak yang akan kena dan jumlah duit 86 juga kian besar. Jadi, kepentingan polisi dan kepentingan kaum modal (Das Kapital) tak linier.

Kok Anda menghubungkan dengan Das Kapital?
Saya punya pengalaman buruk berhadapan dengan Das Kapital. Yakni, ketika saya jadi anggota Komisi III DPR saat mengajukan hak angket tentang kasus Bank Mandiri yang melibatkan 26 pengusaha besar yang berusaha mengemplang duit Bank Mandiri Rp 20,1 triliun. Jadi saya tahu betul, betapa beratnya melawan kejahatan Das Kapital pengemplang.

Kaum modal atau Das Kapital itu bekerja sama, menggiring, lalu menjebak kita. Mereka saweran untuk membuat lemah anggota dewan dengan kekuatan duit yang akan menggiring iman mereka. Toh, hak angket akhirnya terbentuk sebagai instrumen kontrol yang efektif.

Perlawanan para Das Kapital itu juga, antara lain, yang akhirnya menggembosi Jaksa Agung waktu itu, Abdurrahman Saleh. Saya mulai bekerjasama dengan Jaksa Agung setelah membantu Abdurrahman Saleh lolos dalam kasus “Ustadz di Kampung Maling” ketika Komisi II dan III bergabung untuk melepaskan sekitar 400 anggota DPRD dari bui karena dakwaan korupsi”. Saya melakukan kontra petisi terhadap mereka yang mengajukan petisi agar Abdurrahman Saleh dicopot. Tak logis, Anggota DPRD yang korupsi, Jaksa Agung yang mau dicopot. Sekalipun alasannya PP 110 yang punah setelah dijudicial review.

Hak angket terus bergulir, Jaksa Agung bekerja, dan masuklah ECW Neloe (mantan Dirut Bank Mandiri) sejumlah direktur Bank Mandiri dan petinggi korporat ke bui. Neloe sengaja berkonspirasi meloloskan para pengemplang itu dengan melakukan write off atau penghapusan buku atas utang mereka Rp 20,1 triliun. Neloe lolos di PN Jaksel dan juga pengadilan tinggi berkat kecanggihan trick OC Kaligis. Tapi di tahap di Mahkamah Agung, Neloe dan kawan-kawan diganjar 10 tahun. Rupanya, ada juga yang lolos dari suap di MA. Hak angket itu berhasil, dana Rp 20,1 triliun itu gagal dirampok, dan segelintir perampoknya masuk bui.

Jadi bagaimana dalam kasus Gayus?
Kerjasama para Das Kapital sulit dihadapi. Dalam kasus Gayus, mestinya para Das Kapital membunuh Gayus. Munir saja bisa dihabisi. Hanya saja, karena Gayus ditahan di Mako, tak mudah melakukannya. Sebab jika sampai terjadi pembunuhan di situ, yang kena Kapolri langsung. Das Kapital belum mampu ke situ. Itu sebabnya yang dilakukan cuma bargaining politik dan 86. Menurut saya, hampir pasti benar dugaan pers bahwa Gayus bertemu dengan Das Kapital, diatur orang kuat di kepolisian. Ia kan tidak hobi tenis, tapi nonton tenis. Infonya, Gayus difasilitasi orang-orang Das Kapital di Mabes sehingga bisa ke Bali untuk berbagai deal.

Nyatanya hanya petugas setingkat kompol yang jadi terdakwa.
Resikonya sudah dihitung para petinggi. Hanya saja, mereka yang jadi tumbal tak tahu. Sama halnya dengan Kompol Arafat, dia bilang itu permintaan pimpinannya. Tapi Arafat lupa, bahwa posisi dia cuma tumbal wilayudha. Tumbalnya perang.

Asumsi kedua, Komjen (Pol) Timur Pradopo sedang dikerjain oleh lawan-lawan politiknya. Lebih jauh, lawan-lawan Presiden SBY di tubuh Polri. Sehingga, belum apa-apa, Timur sudah busuk. Asumsi kedua itu paradoks. Sebab, Timur tahu kasus-kasus sebelumnya. Kasus orang keluar masuk di Mako, juga dia tahu. Konsentrasi dan perhatian publik pada kasus Gayus, juga Timur sangat paham. Jadi, secara mantiq, logikanya enggak masuk. Yang masuk adalah logika asumsi pertama.

Bisa dijelaskan, mengapa?
Yang terlibat dalam nyanyian Gayus itu orang-orang yang pada tahun 2014 akan menjadi tokoh nomor satu. Di luar Ical (Aburizal Bakrie), semua calon yang mau maju menjadi orang nomor satu di 2014 di-backup Das Kapital yang itu-itu juga. Sementara 60 perusahaan itu adalah perusahaan papan atas Indonesia. Mereka berkepentingan dengan 2014 (Pilpres 2014).

Jadi secara demokrasi, kondisi kita saat ini sama dengan kondisi 116 tahun lalu di AS, ketika partai republiken masih bernama politica. Para Das Kapital berada di belakang orang-orang ini dan mengubah demokrasi yang tadinya merupakan partisipasi politik menjadi transaksi politik.

Harapan kita satu-satunya untuk mengubah kondisi ini adalah gerakan para aktivis dan mahasiswa. Di luar itu, adalah massa yang enggak mudeng politik, yang mengira inilah politik yang wajar. Kondisi ini yang dimanfaatkan para Das Kapital.

Dalam sejarahnya, kritik Karl Marx terhadap kaum modal dalam penyelenggaraan ekonomi liberal neo klasik yang melahirkan Revisionis II dimotori oleh Sraffa, Joan Robinson, dkk, membentuk Sherman Act dan Anti Trust Act untuk mengatasi penyimpangan perilaku (unusual behavior of the firm). Revisi III Klasik Baru oleh John Maynard Keynes setelah Klasik Baru III bangkrut tahun 1929.

Artinya kondisi sekarang amat merisaukan?
Ya, sama dengan ketika Klasik Baru II. Sangat merisaukan. Tentu cuma merisaukan kalangan aktivis, bukan politisi. Politisi sih senang. Maka hukum kian hari kian massif diperjualbelikan. Samalah dengan kerisauan massal pada zaman Orde Baru saat hukum ditataniagakan.

Sesungguhnya, hukum sempat berjalan sesuai relnya pada 1998-2000. Tahun-tahun itu pungli di kepolisian hilang. Suap di MA, kehakiman, dan kejaksanaan hilang. Tapi, pada saat hukum menguat, saat yang sama UU malah melemah. Sebab, pasal-pasal hukum harus didrop untuk menyesuaikan dengan amandemen UUD 1945, dan kurangnya UU.

Tapi hukum kemudian mulai keluar rel lagi pada zaman Megawati Sukarnoputri jadi presiden. Legislatif heavy, faktanya adalah pasar jual beli UU dan bagaimana menggunakan UU untuk merampok negara.

Bisa diberi contoh soal hukum menjadi keluar rel saat Mega?
Sejak Mega menjadi presiden terjadilah penyendatan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Bank Bali, pemanipulasian UU terhadap UUD 45 untuk menjual Indosat, dan seterusnya via program privatisasi. Privatisasi awalnya sangat dijaga pasal 33 UUD 1945. Privatisasi muncul tahun 1985, sebagai cara untuk menghadapi dampak resesi ekonomi tahun 1983 berupa krisis fiskal. JB Sumarlin melakukan liberalisasi perbankan untuk memperkuat arus uang yang waktu itu dimonopoli bank pemerintah, terutama BNI dan BRI.

Dari kondisi saat itu, privatisasi satu keharusan, diperlukan karena arus modal terhenti akibat resesi, industri bangkrut dengan DER (Debt Equity Ratio) mencapai 1:5, uang lalu parkir di Bank Indonesia dan makan dari bunga BI. Uang tersebut kemudian diusir dari BI ke hutan dengan cara pengenaan pajak deposito dan ancaman penelusuran kekayaan. Uang lalu lari masuk desa, menjadi petani berdasi, masuk ke hutan menjelma tukang gundul hutan (HPH).

Tahun 1985, uang dipanggil lagi ke kota melalui pengenaan pajak bumi dan bangunan, liberalisasi perbankan dan privatisasi agar perusahaan tersebut hidup lagi. Investor asing dipanggil melalui program Duta Besar Keliling. Sehebat apapun asing ini, tak bisa menjajah karena dijaga oleh Pasal 33 UUD 1945 dan derivatnya. Eh, datang Amien Rais, derivat Pasal 33 itu dibumihanguskan via amandemen.

Wajarnya, ketika kondisi sudah normal harus ada modifikasi. Privatisasi itu dihubungkan kembali dengan Pasal 33 UUD 1945. Tapi yang terjadi sebaliknya, bahkan parlemennya pun dikooptasi asing, sehingga privatisi yang tadinya untuk melindungi negara, sekarang berbalik untuk meruntuhkan negara.

Lalu apa hubungannya dengan Gayus?
Gayus adalah bagian dari Das Kapital. Info ITW mengemukakan bahwa dari 100 kasus mafia perpajakan terbesar, kasus Gayus cuma 10 persennya. Das Kapital ingin menutup rapat-rapat kasus pajak. ITW menengarai adanya ancaman kalau dibuka, maka yang membuka nasibnya seperti Komjen (Pol) Susno Djuaji. ITW sih punya data. Tapi ITW tidak ingin menjadi Susno Duadji. Dia menjadi whistle blower (penitup puit), tapi peniup pluitnya yang masuk bui.

Itu juga kekalahan kami pada waktu dirancangnya UU Perlindungan Saksi. Sejumlah teman di Komisi III, waktu itu, mempertahankan pendapat hukumnya, bahwa seorang yang terlibat dalam kejahatan itu sendiri tak layak dijadikan whistle blower. Acuannya adalah KUHAP. Sementara KUHAP sendiri hasil kodifikasi tahun 1981 oleh Ali Said dari bahasa Belanda ke Indonesia, tapi yang di Belanda sendiri sudah tak dipakai.

Saya dan sejumlah lain beda pendapat: bahwa whistle blower harus terlibat dalam kejahatan itu baru boleh dikategorikan whistle blower. Kalau dia tak terlibat dalam kejahatan aquo, dari mana dia beroleh pluit? Lalu, bagaimana dia meniup pluit? Yang tak terlibat, kan enggak punya pluit. Dan, faktor determinannya, ia punya pluit, itu sebabnya ada perlindungan saksi, yaitu melindungi pluitnya. Kalau tak ada pluitnya, itu sama dengan melindungi penjahat.

Di AS (Anglo Saxxon) dan Inggris (British Law) juga begitu. Hukum Eropa Continental, yakni Jerman, Perancis, dan Belanda juga begitu. Apa boleh buat, yang menang yang dungu tapi kuminter. Hasilnya blunder kini.

Pendapat Anda kenapa hanya setingkat kompol saja yang kena sanksi?
Mereka sistem sel. Pola permainannya ada dua. Pertama seperti gurita, kepala satu tapi kakinya banyak. Ranting ditebas enggak apa-apa, nanti juga tumbuh lagi. Antara kepala dan kaki seakan terpisah. Pesan pimpinan biasanya lu jalan aja, gue pura-pura enggak tahu. Jadi pimpinan tak menyuruh, tapi pura-pura enggak tahu. Jadi, sampai mati enggak bisa dihubungkan karena sistem sel.

Kedua, adalah sistem anjing berkepala empat. Ini yang dipraktikan teroris. Antara kepala yang satu dengan lainnya seakan-akan tak berhubungan. Tebas satu masih ada tiga. Jadi hanya sampai di situ saja.

Bagaimana Anda melihat rivalitas di kepolisian?


Grup-grup koneksitas di kepolisian itu selalu ada dan tak dapat dihindari. Sebelum pemilihan Kapolri saya masih sms-an dengan Komjen Nanan (Inspektur Pengawasan Umum Polri Komjen Nanan Soekarna). Pada saat itu namanya sudah menguat akan jadi Kapolri.

Saya katakan ke dia, kalau mau sembuh, kepolisian harus dikembalikan ke tempat yang benar. Seperti TNI masuk ke Departemen Pertahanan, kepolisian masuk ke Depdagri. Bila tak begitu, akan terus terjadi penumpukan kekuasaan di kepolisian, sehingga menggiurkan penguasa, dan berakhir dengan korupsi.

Maksudnya?
Sejak reformasi terjadi penumpukan kekuasaan di kepolisian. Bagaimana tidak, Kapolri bisa menangkap Panglima TNI tapi Panglima TNI tak bisa menangkap Kapolri. Polisi juga dapat menangkap KPK dan sebagainya. Sebelum reformasi, penumpukan kekuasaan ada di TNI (dulu ABRI).

Kepolisan saat ini berada di bawah presiden sehingga dapat digunakan setiap saat oleh kekuasaan. Gus Dur sempat menggunakan kepolisian tapi tak berhasil menciptakan kondisi chaos agar Gus Dur punya alasan menerbitkan dekrit. Saat ini, polisi dan kejaksaan dijadikan alat manuver untuk menangkap lawan-lawan politik presiden. Tapi tentara tak bisa karena ia berada di Dephan..

Posisi polisi juga sangat strategis dengan kekuasaan yang sangat besar. Di sisi lain dua lembaga itu, polisi dan kejaksaan, sangat lemah integritasnya. Apapun alasannya, Kapolri Timur Pradopo harus mengabdi pada Presiden SBY. Minimal sebagai balas budi.

Kenapa integritas polisi rendah?


Pertama karena polisi kekurangan duit dan kedua, kekurangan ratio. Akibat kurang duit, managemen polisi lebih komersil daripada managemen bisnis. Sejak dari orang lapor, mau sekolah, pindah kerja, naik pangkat, dan seterusnya, harus bayar. Tanpa mereka cukup sadar, bayar-bayar itu melanggar UU Anti Korupsi. Tadinya, penyuapan ada di KUHP, bukan kejahatan berat, setelah ada UU Gratifikasi, masuk menjadi Tipikor (Extra Ordinary Crime – kejahatan luar biasa).

Alasan umum komersialisasi manajemen kepolisian adalah kurang gaji. Padahal, anggaran kepolisian terbesar nomor tiga. Tak ada nomenklatur kepolisian di APBD, itu biangnya. Pada waktu reformasi, kita mengenal ada dua istilah: sentralisasi dan desentralisasi. Itu yang enggak jalan di kepolisian. Sebab, pemahaman desentralisasi dalam rangka reformasi kepolisian dikelirukan penafsirannya. Yang benar, metodologinya sentralisasi dan desentralisasi, penerapannya konsentrasi dan dekonsentrasi.

Terkait kembali ke Depdagri tadi, kepolisian harus didekon sebagai penerapan desentralisasi. Kepolisian harus memakai dua sistem sekaligus: Konsentrasi dan Dekonsentrasi. Contoh soal, bila di AS, konsentrasinya adalah FBI, dekonsentrasinya NYPD (New York Police Department) di New York dan negara bagian lainnya.

Soalnya, Kepolisian Indonesia menganut sistem kepolisian AS. Dan, kalau ingin mengubah kepolisian, harus jelas rujukannya. Itu saya katakan kepada Nanan. Bahwa kulturalisasi di kepolisian itu enggak jelas. Jadi, karena kepolisian menggunakan dekonsentralisasi, maka anggaran NYPD ditanggung APBD.

Tapi FBI-nya menggunakan sentralisasi yaitu konsentrasi, maka anggaran belanjanya ditanggung APBN.
Kedua, soal rasio. Jumlah polisi saat ini sangat kurang. Rasionya, satu polisi berbanding 700 penduduk, padahal idealnya 1:300 penduduk. Jika menganut sistem yang saya sebut tadi, maka rasio ini didasarkan rasio daerah. Harus diingat bahwa kebutuhan polisi satu daerah dan daerah lain tak sama. Dan yang menentukan jumlah polisi di daerah itu adalah pemerintah setempat. Karena mereka yang tahu kebutuhannya. Daerah pula yang membiayai mereka. Jadi tak seperti sekarang, semua diputuskan pusat dan ditanggung APBN. Jika daerah tak mampu membiayai, kekurangannya dimasukkan dalam perimbangan keuangan daerah dan pusat (UU No 22), disuplai APBN ke APBD.

Managemen kepolisian di daerah seperti itu, praktis diawasi oleh pemerintah daerah, DPRD, Bawas, BPKP, karena uangnya adalah uang Pemda. Sekarang, semua sentralistik. Bagaimana mungkin Irwasum, Propos, Propam mengawasi itu, wong mereka sama-sama doyan, ditambah beban psikologisnya: dana itu milik kepolisian! Beda dengan APBD, itu milik rakyat setempat. Dengan dekonsentrasi, presiden tak perlu kehilangan kekuasaan karena ada yang konsentrasi, yakni FBI-nya itu.

Jadi dengan dekon dua kelemahan kepolisian selesai: kurang duit dan kurang ratio. Yang lumayan bersih dan kuat ialah Kapolri Sutanto. Ketika Bambang Hendarso, semua babak belur. Tampaknya takkan jauh pula dengan Timur. Kini mustahil mengubah kultur di kepolisian itu. Lip service saja itu, bo-oong-bo-ongan. Generation conection network semakin kental. Dan, karena tak kuat diterpa liberalisasi atau istilah Kwik Kian Gie kapitalis gontok-gontokan, mereka pindah tugas ke suap-menyuap lalu terkooptasi Das Kapital.

Saya sih frustasi kalau ditanya bagaimana memperbaiki kepolisian, kecuali, didekon. Otonomi Daerah intinya di situ. Yang diotonomi adalah kultur, yang didesentralisasi itu kulturnya. Kultur dari masyarakat yang membiayai kepolisian itu sendiri, sehingga di Texas tak ada polisi, tapi Texas Ranger, di Arizona Sheriff.

Kepolisian saat ini menjadi bagian utama dari kekuasaan. Kinerja kejaksaan sangat ditentukan kinerja kepolisian. Kinerja kehakiman sangat ditentukan kepolisian. Begitu juga KPK. Karena dia penyidik. Ketika kepolisian berhadapan dengan Das Kapital, mencoba menjadi bagian dari kaum modal, mereka terbeli semua. Tak satu pun yang lolos. Pers kita saja, 90 persen sudah terbeli. Padahal, pers adalah pilar demokrasi keempat (the fourth estate). Foto Gayus di Bali itu, kalau enggak jatuh ke tangan pers yang kredibel, tentu sudah di-86-kan. Bila pers ke depan sudah pula terbeli semua, semuanya habis. Negara ini habis ideologinya.

Sekarang, kita tersandera kasus Century. Negara disandera Century. Kewibawaan SBY hancur gara-gara Century. Kasak- kusuk naiknya Kapolri, dulu hanya di seputar Pak Harto saja. Sekarang masuk ke parlemen dan partai. Mestinya, sumpah jabatan pejabat publik itu merujuk: “My loyalty to my party the end, when my loyalty to my country began”. Loyalitas saya kepada partai selesai, ketika loyalitas saya kepada negara dimulai!

Bagaimana soal pengelolaan pajak saat ini?
Mereka yang terlibat itu adalah petugas pajak yang disebut Fiskus, kemudian Konsulen atau Konsultan Pajak. Ya, kedua grup itu berada di luar pegawai pajak. Korupsi terbesar, sumbernya pajak dan yang bekerja di situ adalah Fiskus dan Konsulen. Konsulen juga ialah pasukan restitusi pajak yang kolusif dan koruptif.

Dalam UU Pajak, jumlah pajak yang harus dibayar WP (wajib pajak) ditentukan secara self assessment, yakni memeriksa dan menentukan sendiri. Dalam melakukan pemungutan pajak tersebut, UU Pajak menganut tiga sistem, (i) Official Assessment, (ii) Self Assessment, dan (iii) With Holding. Namun yang dominan perannya self assessment system karena diterapkan pada sistem pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta sebagian pada Pajak Bumi dan Bangunan

Ketika melakukan self asessement, maka yang melakukan bargaining adalah Konsulen dan Fiskus.

Konsulen menghitung, Fiskus menyetujui. WP yang didenda pajaknya Rp10 miliar, misalnya, mereka pergi ke Fiskus untuk tawar menawar. Dealnya seperti ini: WP harus membayar Rp 5 miliar, terdiri dari Konsulen membayar suap Rp 3 miliar ke Fiskus dan menyetor Rp 2 miliar ke Negara. Dari Rp 3 miliar suap itu, Rp 1 miliar untuk Konsulen dan Rp 2 miliar untuk Fiskus yang kemudian dibagi ke atasannya. Sebab, biangnya lagi, persetujuan berapa WP harus membayar, adalah wewenang penuh Dirjen Pajak tapi yang mengajukan adalah Fiskus. Jadi Fiskus dan Dirjen di sini yang punya peran berapa WP harus bayar. Tak ada satu pun yang mengawasi mereka.

Lalu bagaimana agar sistem ini tak memberi ruang lahirnya mafia pajak?
Ada dua instutisi penting di perpajakan AS yang membuat mengapa masyarakat kapitalis yang sangat anti pajak itu menerima keberadaan pajak. Soal bagaimana kaum kapitalis AS sangat menolak pajak bisa dilihat dari pernyataan Milton Friedman, tokoh Revisionis Klasik Baru III. Ia mengatakan, “Apapun boleh berbagi, kecuali pajak”. Friedman sangat anti pajak. Pajak dianggap sebagai intervensi negara ke dalam sistem ekonomi kapitalis atau ekonomi pasar yang sangat merusak. Tapi mereka bisa menerima pajak seperti sekarang, sebab ada dua institusi kunci yang membuat perpajakan dapat diterima oleh masyarakat AS. Yakni (i) IRS (internal revenue services) atau polisi pajak yang bukan Fiskus, dan (ii) TpF (Taxpayers Federation – Federasi Pembayar Pajak), yang dtetapkan oleh UU sebagai state auxiliary agency untuk mengawal WP.

IRS sangat penting dalam mengungkap korupsi di AS. Mereka bisa masuk ke perbankan, pasar modal, dan pencucian uang. Anggota IRS adalah polisi khusus, sarjana ekonomi sekaligus sarjana hukum. Sedangkan TpF dalam tiap kasus, termasuk self assesment WP, harus didampingi TpF. Kasus sengketa pajak di pengadilan, TpF juga ikut mendampingi. Tujuannya, untuk mencegah WP dirugikan, dan menjaga dana WP tidak disalahgunakan oleh Pemerintah.

Cara demikian juga mencegah kerugian para pihak. WP tak dirugikan oleh negara dan uang pembayar pajak juga tak disalahgunakan negara. Jadi, di pengadilan TpF wajib ikut. IRS wajib ikut. Sistem di AS adalah dekon sekaligus konsentrasi.

Di Indonesia, karena tak ada yang mengawal WP, berubah jadi ajang suap menyuap untuk merugikan Negara. Yang diuntungkan dari kondisi ini, asing dan Das Kapital. Saya dikeluarkan dari Pansus Amandeman UU Pajak oleh Abdillah Toha saat mau memasukkan TpF dan IRS ke dalam UU Pajak tahun 2006. Ternyata, tiap kekalahan kita di parlemen, harus ditebus dengan harga yang sangat mahal di masa depan.

Jelas, bargaining Fiskus dan Konsulen tak ada yang mengawasi, sehingga muncul kasus Gayus. Jika Susno Duaji tak jadi peniup peluit Gayus, masalah ini juga sulit terbongkar. Data ITW menjelaskan, di Jakarta saja terdapat 74.000 kasus pajak seperti Gayus. Jumlahnya tiap WP minimal Rp10 miliar. Tapi siapa yang bersedia meniup peluitnya?

Kejahatan perpajakan lainnya adalah praktikum restitusi atau pengembalian pajak. Biangnya, otoritas Dirjen Pajak dalam UU Pajak tak terbatas, ia sama dengan MK, mau-maunya dia. Maka akan berbeda kalau ada TpF dan IRS: tak bisa lagi korupsi dan berhengki-pengki dengan WP.

Adalah fakta sistem jendela tunggal layanan pajak juga mandeg. Padahal mestinya semua terbuka, online, sementara pembuatan databasenya berharga sekitar Rp 400 miliar tahun 2007. Bagaimana mengkonfrontasi masalah? Susah. Di wilayah pajak, polisi, jaksa, dan KPK tak boleh masuk karena itu wilayah penyidik sipil. Kasus pajak tak dapat dimasukkan sebagai tindak pidana korupsi dengan dalih transaksi belum selesai (UU No 17/2003). Kapan transaksi pajak selesai? Kan bulan depan bayar lagi. Makanya sumber korupsi terbesar adalah perpajakan, perbankan, dan pencucian uang.

Pertanyaannya, siapa yang mengawasi perpajakan? Pengadilannya juga eksklusif, padahal menurut UU Kekuasaan Kehakiman, mestinya sudah satu atap di MA. Ternyata, kata koran, hakim agung yang sedikit paham pajak cuma semata wayang. Baru setelah kasus Gayus, otoritas itu dimasukkan ke MA untuk mengawasi. Tapi apa bisa MA memonitor itu? Para pihak di sana cuma Fiskus dan Konsulen, pengacara tak bisa masuk. Amandemen dululah UU Perpajakan untuk memunculkan dua institusi tadi: IRS dan TpF. Dijamin beres!

Mafia pajak tampaknya juga dikendalikan kekuatan partai politik?
Dewasa ini, para politisi mulai cari duit, setidaknya dua tahun, yaitu 2011 sampai 2012. Sebab pada 2013 sudah sibuk masalah konfigurasi kekuasaan. Soal siapa dan apa. Maka banyak yang memanfaatkan Gayus untuk memeras Das Kapital dan uniknya Das Kapital juga kepingin diperas supaya dapat masuk dalam konfigurasi kekuasaan. Lalu mereka menyebut dirinya sebagai partisipan, istilahnya bukan pemeras. Wibawa kekuasaan habis, siapa pun yang naik, kalau kondisinya begini terus.

SUMBER:

http://liranews.com/hot-news/2010/11/14/djoko-edhi-kasus-gayus-itu-hanya-10-persen-dari-kasus-pajak/

Kasus Gayus itu Hanya 10 Persen dari Kasus Pajak