SELAMAT DATANG...SELAMAT BERJUANG !

Tiada kata Jera dalam Perjuangan.

Total Tayangan Halaman

Rabu, 23 Juni 2010

Memahami Selingkuh Politik Dalam Kasus Bank Century

Ada lima hal penting yang jadi perbincangan publik dalam skandal Bank Century : soal Antaboga, soal aliran dana, soal bank gagal sistemik, soal krisis ekonomi global saat itu dan soal kebijakan (dan melupakan isu utama : apakah assessment dan due diligence sudah dilakukan secara proper?)

A.SOAL ANTABOGA :

1. PT Antaboga Delta Sekuritas terdaftar di Bapepam sejak tahun 1992

Ini link-nya :

http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/statistik_pm/2009/2009_X_4.pdf

Sebanyak 82,18% saham Antaboga dimiliki PT Aditya Rekautama dan sisanya 17,82% dimiliki PT Mitrasejati Makmurabadi. PT Aditya Rekautama sendiri sebanyak 12,5% sahamnya dimiliki Robert, Hartawan Aluwi dan Budi PV Tanudjaja. Robert dan Hartawan merupakan menantu Sukanta Tanudjaja, mantan pemilik Great River, sedangkan Budi merupakan kerabat Sukanta.

Sedangkan PT Mitrasejati Makmurabadi dimiliki Harry Sutomo Raharjo dan Hendro Wiyanto. Hendro kini menjabat sebagai direktur utama Antaboga.

Perusahaan yang berlokasi di Jalan Wolter Monginsidi Nomor 88 L, Jakarta Selatan itu mendapatkan izin sebagai perusahaan efek dari Bapepam pada 20 Februari 1992. Perusahaan didirikan dengan modal dasar Rp 60 miliar dan modal disetor Rp 55 miliar.

Antaboga sendiri merupakan pemilik Bank Century dengan andil saham 7,44%. Di Century selain lewat Antaboga, keluarga Tantular juga memiliki saham lewat PT Century Mega Investindo yang menguasai 9% saham bank dan PT Century Super Investindo yang memegang 5,64% saham.

Ini link-nya :

http://202.155.2.90/members.asp?cmd=detail&id=sy

Jadi ribut-ribut soal reksadana bodong dari Antaboga harus ditanyakan pada Bapepam dan BEI, karena Antaboga yang merupakan anggota bursa itu, baru disuspend tanggal 4 Desember 2008 karena alasan adanya ketidaktertiban administrasi perusahaan. Antaboga terakhir memiliki MKBD senilai Rp 32,057 miliar. (bandingkan : Perpu no. 4/2008 telah ditanda-tangani Presiden SBY tanggal 15 Oktober 2008 dan Rapat KSSK tentang "bail out" Century sudah digelar tanggal 20-21 November 2008)

2. Soal ribut-ribut apakah dana yang belum dibayar oleh LPS itu adalah dana yang dimiliki masyarakat melalui PT Antaboga Delta Sekuritas atau dana tabungan/deposito masyarakat di Bank Century, maka puluhan nasabah Bank Century (bukan nasabah Antaboga) telah meminta bertemu dengan Komisi III DPRpada tanggal 24 November 2009, dan menunjukkan bahwa dana tabungannya/depositonya belum dibayar oleh LPS meskipun Century telah mendapat "bail out" sebesar Rp. 6,7 trilyun

Ini link-nya :

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/25/107808/16/1/Komisi-III-Janji-Pertemuan-Nasabah-dengan-BI

Website Fox Indonesia pimpinan Choel Mallarangeng, bahkan secara jelas menyebutkan bahwa dana tabungan masyarakat masih ada juga yang belum bisa ditarik

Ini link-nya :

http://www.foxindonesia.co.id/index.php?option=com_view&Itemid=143&id=1807

Jadi pertanyaan mendasar ada dua :

a. Kepala Bapepam adalah anggota KSSK. Beliau ikut rapat KSSK tanggal 20-21 November 2009 dan sudah mengetahui bahwa pada tanggal 21 November pk. 07.00 seluruh Komisaris dan Direksi Bank Century harus diganti, sehingga komposisi kepemilikan saham PT Antaboga Delta Sekuritas juga berubah, tapi kenapa Antaboga baru di suspend 2 minggu kemudian (tanggal 4 Desember 2008). Lambat sekali. Alasan suspensi juga sangat lemah kalau hanya karena ketidak-tertiban administrasi.

b. Setelah para nasabah Bank Century datang ke Komisi III DPR tanggal 24 November 2009 sambil menunjukkan bukti buku tabungan/buku depositonya yang sampai sekarang belum terbayar, maka pertanyaan publik menjadi kemana dana "bail out" itu mengalir ?

B.SOAL ALIRAN DANA :

Mengingat simpang siurnya keterangan mengenai aliran dana ini, misalnya :

BPK : Kebijakan Bailout Century Salah! (Rp 500 M Mengalir Ke Politisi)

Ini link-nya :
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/11/23/bpk-kebijakan-bailot-bank-century-salah/

Bambang Soesatyo, inisiator angket dari Partai Golkar, menegaskan tekadnya untuk menelusuri aliran dana sampai penikmat terakhir. "Kalau lihat alurnya, penerimaan kepada nasabah ini cash, Rp 200 miliar, Rp 400 miliar. Ini bawanya pakai truk. Dibawa ke suatu tempat di Jakarta Timur," katanya.

Ini link-nya : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/28/04185484/centurygate.satukan.wakil.rakyat.dan.rakyat

Karena Indonesia tidak mempunyai UU Pembuktian Terbalik, maka akan sulit dan makan waktu lama bila BPK dan PPATK atau KPK harus menelusur aliran dana Bank Century. Yurisprudensi penanganan kasus Bank Bali jaman Presiden Habibie bisa digunakan. Presiden Habibie saat itu memerintahkan audit menyeluruh menggunakan lembaga auditor internasional (PWC) yang sudah terbiasa melakukan audit investigatif dengan metode pembuktian terbalik dalam waktu yang cukup singkat

Presiden SBY bisa menggunakan preseden hukum ini dengan memerintahkan lembaga auditor yang bereputasi baik seperti Price Waterhouse Coopers (PWC), Ernst & Young atau KPMG untuk menelusur aliran dana Bank Century dengan azas pembuktian terbalik, misalnya dengan mengaudit dana kampanye melalui pembuktian terbalik yaitu dengan cara mengaudit laporan keuangan semua stasiun TV pada masa kampanye dulu (satu slot TV (30 detik) itu nilainya Rp. 30 juta, audit semua surat kabar (iklan satu halaman penuh di koran itu harganya Rp. 500 juta), audit dana BUMN, audit Jurnal Nasional yang dibagikan gratis itu dll. Dari sana dapat ditelusur dari mana media massa itu mendapat pembayarannya dan dari mana asal usul dana kampanye partai serta dana kampanye capres-cawapres.

Kenapa BUMN juga harus diaudit ?

Ini daftar pejabat BUMN pendukung kampanye SBY (UU Pilpres (UU No. 42 tahun 2008) pasal 217 menyebutkan, bagi pejabat BUMN yang menjadi tim sukses terancam kurungan penjara paling lama 24 bulan dan denda maksimal Rp 50 juta):

Pejabat BUMN di Tim Kampanye Resmi SBY-Boediono:
- Achdari, Ketua Dewan Pengawas Peruri/Wakil Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye
- Soeprapto, Komisaris Independen Indosat/Koordinator Pembinaan dan Penggalangan Saksi Tim Kampanye
- Max Tamaela, Komisaris Hutama Karya/Anggota Pembinaan dan Penggalangan Saksi Tim Kampanye
- Dedi Prajipto, Komisaris Wijaya Karya/Anggota Pembinaan dan Penggalangan, Saksi Tim Kampanye
- Effendi Rangkuti, Komisaris Kimia Farma/Anggota Korwil VI Tim Kampanye
- Yahya Ombara, Komisaris Kereta Api/Anggota Korwil IV Tim Kampanye
- Umar Said, Komisaris Pertamina/Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye
- Sulatin Umar, Ketua Dewan Pengawas Bulog/Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye
- Raden Pardede, Komisaris Utama Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Tim Kampanye

Pejabat BUMN di Tim Kampanye Tak Resmi SBY-Boediono:
- Suratto Siswohardjo, Komisaris Angkasa Pura II/Ketua Gerakan Pro SBY
- Jenderal (Pol) Purn Sutanto, Komisaris Utama Pertamina/Wakil Ketua Gerakan Pro SBY
- Sardan Marbun, Komisaris PTPN III/Ketua Tim Romeo
- Muchayat, Deputi Meneg BUMN dan Komisaris Mandiri/Ketua Barindo
- Aam sapulete, Komisaris PTPN VII/Ketua Jaringan Nusantara
- Harry Sebayang, Komisaris PTPN III/Jaringan Nusantara
- Andi Arief Komisaris, PT Pos Indonesia/Jaringan Nusantara

Ini link-nya :

http://politik.vivanews.com/news/read/67065-berikut_pejabat_bumn_pendukung_sby_dan_jk

UU Pileg (UU No. 10 tahun 2008) dan UU Pilpres (UU No. 42 tahun 2008) mengatur dengan rinci besarnya dana sumbangan perorangan dan sumbangan perusahaan yang diijinkan untuk mendukung kampanye. Sedangkan kampanye SBY-Boediono didukung oleh para pejabat BUMN yang seharusnya tidak boleh terlibat dalam kampanye

C.SOAL BANK GAGAL BERDAMPAK SISTEMIK

1. Ada perbedaan pandangan yang cukup besar antara para ekonom Mafia Berkeley dan kelompok independen yang diwakili oleh Drs. Kwik Kian Gie, Dr. Rizal Ramli, Dr. Drajat Wibowo, Ichsanudin Noorsy (salah satu pembongkar skandal Bank Bali pada masa Presiden Habibie) dan Drs. Jusuf Kalla, maka sebaiknya Pansus Hak Angket Century DPR itu dilengkapi dengan Tim Ahli yang mewakili kelompok independen, untuk mengimbangi keterangan dari Boediono dan Sri Mulyani yang selama ini dipersepsikan sebagai kelompok Mafia Berkeley.

Kelompok independen ini adalah kelompok ekonom yang TIDAK menyetujui diabaikannya DNI (Daftar Negatif Investasi) dengan dikeluarkannya PP No. 112 tahun 2007 yang ditanda-tangani oleh Presiden SBY tanggal 27 Desember 2007 yang mengijinkan peritel besar (Indomaret, Alfamart, Circle K, Apotek 24 dll) masuk sampai kemana-mana sehingga membunuh pedagang tradisional. Kelompok independen ini pula yang mempertanyakan PP No. 44 tahun 2009 yang ditanda-tangani Presiden SBY tanggal 8 Juni 2009 yang membolehkan sepeda motor lewat jalan tol. Kedua PP ini menunjukkan tunduknya pemerintah SBY pada pemodal besar. Bukankah ini yang diartikan sebagai neolib ?

Mengapa Tim Ahli perlu ada? Karena dari 30 anggota Pansus Hak Angket Century itu, yang benar-benar ahli hanya dua orang, yaitu Prof. Dr. Gayus Lumbuan SH (ahli hukum) dan Prof. Dr. Hendrawan Supratikno (akuntan) (keduanya dari Fraksi PDIP) padahal isu utama adalah apakah otoritas fiskal dan moneter sudah melakukan assessment dan due diligence secara proper? Bukan isu politik lho

2. Sebenarnya BI dan Menkeu sudah berpengalaman menangani bank-bank bermasalah, misalnya dalam kasus :

•· Bank IFI ketika dilikuidasi pada tanggal 17 April 2004. Pemerintah mengucurkan dana penjaminan sebesar Rp. 800 milyar

•· Bank Global (PT Bank Global Indonesia) ketika dilikuidasi pada tanggal 13 Januari 2005. Pemerintah kemudian mengucurkan dana penjaminan sebesar Rp 804,2 miliar.

•· Bank Tripanca (PT BPR Tripanca Setiadana) ketika dilikuidasi pada tanggal 24 Maret 2009. Pemerintah kemudian mengucurkan dana penjaminan sebesar Rp. 590 milyar.

•· Belum lagi likuidasi PT Sarijaya Permana Sekuritas, PT Kalimaya Perkasa Finance dll -banyak sekali

Ini link-nya : http://www.bapepam.go.id/

Kalau BI dan Menkeu sudah berpengalaman dalam penanganan bank-bank bermasalah, kenapa Presiden perlu campur tangan - lewat Perpu no. 4 tahun 2008 yang ditanda-tangani Presiden SBY tanggal 15 Oktober 2008 dan lewat pengutusan Marsilam Simanjuntak (Ketua UKP3R (Unit Kerja untuk Pengelolaan dan Pemantauan Program Reformasi) dalam rapat KSSK ? - apakah kebijakan Presiden ini ada hubungannya dengan kehadiran para obligor BLBI di Istana atas inisiatif Kapolri saat itu : Jend Pol Soetanto ?

Ini link-nya : http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/15/time/161534/idnews/539987/idkanal/10

3. Simak juga KEBIJAKAN Deputi Gubernur BI bidang Pengawasan Perbankan dan LKBB Ibu Dra.Hj.Siti Chalimah Fadjriah, MM. Beliau bahkan sempat menandatangani keputusan untuk melikuidasi Bank Century

Ini link-nya : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=17594

Dari website BPK : AKHIRNYA BI AKUI KECOLONGAN SOAL CENTURY :

http://www.bpk.go.id/web/files/2009/12/Media-Indonesia-1.pdf

Pembengkakan bailout Bank Century akibat inforrmasi BI tidak lengkap :

http://kompas.co.id/read/xml/2009/09/30/09375677/pembengkakan.bailout.bank.century.akibat.informasi.bi.tak.lengkap

Jadi diskursus tentang bank gagal sistemik harus mengakomodasi kelompok di luar Mafia Berkeley, sebab kelompok Mafia Berkeley ini terbukti gagal dalam penanganan Indover Bank

Ini link-nya : http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/02/09/brk,20090209-159226,id.html

Kelompok Mafia Berkeley ini juga gagal dalam penanganan kejanggalan dalam pengucuran dana senilai Rp 800 miliar dari PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Kredit Asia Finance Ltd. (KAFL). Hingga kini, dana pinjaman ke perusahaan milik Agus Anwar dan Hashim S. Djojohadikusumo itu tak tertagih, sehingga negara berpotensi rugi Rp 1,4 triliun.

Ini link-nya :

http://www.arsip.net/id/link.php?lh=Ag1SAQdTXFBX

KEDUA KASUS BESAR DI ATAS (INDOVER BANK dan BAHANA) BERAKHIR TANPA KEJELASAN. AKANKAH KASUS BANK CENTURY BERAKHIR DENGAN TAK BERUJUNG PULA ?

D.SOAL KRISIS EKONOMI GLOBAL SAAT ITU YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN

Secara khusus Presiden SBY sendiri berpidato supaya publik dan media massa mempertimbangkan latar belakang "bail out" Bank Century yaitu situasi krisis ekonomi global tahun 2008 yang dipicu oleh bangkrutnya Lehman Brothers di AS. Pendapat ini diperkuat dengan tulisan Dr. Purbaya Yudhi Sadewa : KEPERCAYAAN PADA SISTEM HARUS DIJAGA (Kompas, Senin 7 Desember 2009) yang intinya membenarkan kebijakan otoritas fiskal dan moneter saat itu. Padahal krisis ekonomi tahun 1997-1998 itu lebih dahsyat. Nilai rupiah terpuruk (US $ 1 = Rp.15.000), suku bunga naik sampai 70%, yang memicu inflasi sampai 300%, akibatnya kredit yang tak tertagih menjadi luar biasa besar dan kalangan sektor perdagangan dan industri banyak yang bangkrut, PHK massal tak terhindarkan - namun kebijakan otoritas fiskal dan moneter untuk mengucurkan dana BLBI tetap tidak dibenarkan dan tetap dijerat hukum

Kalau pendapat ini diakomodir, maka implikasinya akan sangat luas. Keputusan MA yang menghukum para mantan Gubernur BI (Syahril Sabirin, Burhanudin Abdullah), para mantan Deputi Gubernur BI, termasuk Aulia Pohan (besan SBY) dan para mantan Direktur BI (Paul Soetopo dan Hendro Budiyanto) dapat ditinjau ulang dengan mengajukan verzet karena ditemukannya novum baru :

1. Kebijakan pengucuran dana BLBI itu dijerat dengan pasal 3 UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI -

Pasal 3 itu berbunyi : "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar"

Pasal 3 UU no. 20 tahun 2001 ini yang dipakai untuk memenjarakan Syahril Sabirin (mantan Gubernur BI), Burhanudin Abdullah (mantan Gubernur BI) dan Aulia Pohan (mantan Deputi Gubernur BI - besan SBY) - mereka dipidana bukan karena korupsi tapi karena kebijakannya

2. Para terpidana kasus BLBI (termasuk para mantan Direktur BI : Paul Soetopo dan Hendro Budiyanto) dapat mengajukan PK atas putusan MA dengan adanya novum baru ini : situasi krisis ekonomi global saat itu dan kebijakan tak bisa dipidanakan.

Kebijakan apa yang dipidanakan ? Para mantan Direktur BI itu TIDAK MENGHENTIKAN KLIRING SEJAK AWAL (Tidak melakukan assessment dan due diligence dengan proper)

Ini link-nya : http://www.infoanda.com/id/link.php?lh=AwEBUgtcU1FX

Saya menduga, penghembusan isu adanya krisis global saat itu yang diikuti dengan isu keibjakan tidak bisa dituntut adalah upaya untuk menutup kasus BLBI, dan melupakan kasus Bank Century, Indover Ban dan Bahana

E.SOAL KEBIJAKAN :

1. Tidak benar bahwa audit BPK baru dilakukan sekarang, mengacu pada pernyataan Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR : Anas Urbaningrum : sikap fraksinya MENUNGGU laporan hasil audit BPK.

Laporan interim hasil audit BPK atas Bank Century SUDAH diserahkan oleh Ketua BPK : Anwar Nasution ke Komisi XI DPR pada hari Senin, 28 September 2009

Ini link-nya :

http://kompas.co.id/read/xml/2009/09/28/06564634/bpk.serahkan.laporan.bank.century.ke.dpr

2. Setelah dibahas dalam Rapat Komisi XI DPR - Komisi XI DPR mengeluarkan rekomendasi yang disampaikan ke alat kelengkapan tertinggi DPR -Sidang Paripurna DPR pada tanggal 30 September 2009

Rekomendasi Komisi XI ini telah disetujui dalam Sidang Paripurna DPR, tanggal 30 September 2009

Ini link-nya :

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/09/30/13062188/dpr.setujui.rekomendasi.komisi.xi.soal.bank.century

Jadi Sidang Paripurna DPR itu memutuskan dua hal penting :

a) Adanya dugaan berbagai macam tindak pidana perbankan yang menyebabkan kolapsnya Bank Century. Kejahatan-kejahatan tersebut, di antaranya pelanggaran posisi devisa neto, penyimpangan surat berharga, kredit fiktif, dan pengeluaran fiktif.

Selain tindak pidana perbankan, terjadi pula penyalahgunaan kewenangan dan kesalahan penilaian oleh Bank Indonesia selaku pengawas perbankan dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang memutuskan bailout.

b) Penegasan bahwa DPR tidak menyetujui Perpu No 4/2008 mengenai Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK). Dengan tidak disetujuinya perpu ini, maka pengucuran dana talangan (bailout) Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun dianggap tidak sah.

Ini link-nya :

http://www.kontan.co.id/index.php/nasional/news/5626/DPR-Resmi-Tolak-Perpu-JPSK

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/09/30/13062188/dpr.setujui.rekomendasi.komisi.xi.soal.bank.century

3. Perpu no. 4 tahun 2008 tentang JPSK, yang ditetapkan Presiden SBY tanggal 15 Oktober 2008 (Lembaran Negara No. 149 tahun 2008) ini telah ditolak oleh DPR, yang tercermin dari Surat Ketua DPR : Agung Laksono ke Presiden SBY pada tanggal 24 Desember 2008, yang meminta pemerintah mengajukan RUU JPSK selambat-lambatnya tanggal 19 Januari 2009

Ini isi surat Ketua DPR itu :

'Menindaklanjuti surat Presiden Republik Indonesia nomor R-63/Pres/10/2008 tanggal 29 Oktober 2008, perihal Rancangan UU tentang Perppu 4/2008 tentang JPSK menjadi UU, dengan ini kami sampaikan bahwa rapat Paripurna DPR RI tanggal 18 Desember 2008 menyepakati untuk meminta kepada pemerintah agar segera mengajukan RUU tentang JPSK sebelum tanggal 19 Januari 2009, guna ditindaklanjuti sebagaimana mekanisme Dewan yang berlaku'

4. Kenapa Perpu perlu mendapat persetujuan DPR?

Hal ini sesuai dengan ketentuan UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 ayat 4 : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) adalah Peraturan perundang - undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan Perpu untuk dapat menjadi UU harus dimintakan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya

5. Menanggapi Surat Ketua DPR tertanggal 24 Desember 2008 itu, Pemerintah kemudian mengajukan RUU JPSK sebagai pengganti Perpu no. 4 tahun 2008 ini. Dengan pengajuan RUU JPSK ini, maka Pemerintah DIANGGAP telah menarik Perpu no. 4 tahun 2008 ini . Dengan demikian, perdebatan soal kekebalan hukum Menkeu dan Gubernur BI menjadi tidak relevan lagi. Karena dengan pengajuan RUU JPSK oleh Pemerintah ini , maka adagium yang tercantum dalam pasal 29 Perpu no. 4 tahun 2008 gugur pula. Pasal 29 Perpu no. 4 tahun 2008 itu berbunyi : Menkeu dan Gubernur BI atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Perpu No 4/2008 tak dapat dihukum sebab mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sesuai Perpu

Cukup aneh kalau masih ada pihak yang menyatakan bahwa kebijakan Menkeu dan Gubernur BI soal "bail out" Bank Century TIDAK DAPAT DIHUKUM

RUU JPSK (pengganti Perpu no. 4 tahun 2008) ini kemudian terkatung-katung di DPR

Ini link-nya : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/09/29/05331199/pembahasan.ruu.jpskdeadlock.

Tapi mengingat masih banyak pihak yang menyatakan "POLICY CANNOT BE CRIMINALIZED" maka satu-satunya jalan adalah melakukan uji materi Perpu itu terutama pasal 29 Perpu no. 4 tahun 2008 ini ke MK (Mahkamah Konstitusi). Presiden dapat secara langsung berhadapan dengan SEKELOMPOK PENGACARA (FARHAT, EGGIE SUDJANA, SRI GAYA TRI dan kawan-kawan) yang sedang melakukan uji materi Perpu No. 4 tahun 2008 ke MK. Kalau dikabulkan MK, maka bukan saja kekebalan hukum Gubernur BI dan Menkeu tidak berlaku lagi, tapi wibawa Presiden bisa sangat jatuh, karena hanya dalam sebulan, Presiden terpaksa harus menarik dua Perpu (Perpu No. 4 tahun 2009 tentang Plt Pimpinan KPK yang ditandatangani Presiden SBY tanggal 23 September 2009 dan Perpu No. 4 tahun 2008 tentang JPSK yang ditadatangani Presiden SBY tanggal 15 Oktober 2008)

Bukti lain yang menunjukkan bahwa pejabat publik TIDAK KEBAL HUKUM adalah testimoni Idrus Marham (Ketua Pansus Angket Century DPR) yang juga menunjukkan surat dari Pejabat Kepala Biro Departemen Keuangan Indra Surya, tertanggal 16 November 2009, yang ditujukan kepada Penanggung Jawab Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam surat itu ditegaskan, KSSK tidak ada lagi sejak ditolaknya Perpu No 4/2008, tetapi merujuk pada 30 September 2009.

NAH TANGGAL INI YANG JADI MASALAH - DITOLAKNYA PERPU ITU TANGGAL 18 DESEMBER 2008 YANG DIBUKTIKAN DENGAN SURAT KETUA DPR : AGUNG LAKSONO, KE PRESIDEN SBY TERTANGGAL 24 DESEMBER 2008 AGAR PEMERINTAH SEGERA MENGAJUKAN RUU JPSK, sebagai PENGGANTI PERPU ITU dan Pemerintah (Depkeu) mengajukan RUU JPSK itu yang sampai sekarang masih terkatung-katung di DPR

Silang sengketa ini sebenarnya adalah upaya untuk menutupi penerapan pasal 3 UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI -

Pasal 3 itu berbunyi : "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar"

Pasal 3 UU no. 20 tahun 2001 ini yang dipakai untuk memenjarakan Syahril Sabirin (mantan Gubernur BI), Burhanudin Abdullah (mantan Gubernur BI) dan Aulia Pohan (mantan Deputi Gubernur BI - besan SBY) - mereka dipidana bukan karena korupsi tapi karena kebijakannya (tidak melakukan assessment dan due diligence secara proper)

6. Hasil audit interim BPK itu, kemudian ditindaklanjuti dengan laporan audit investigatif BPK. Hasil audit investigatif ini, diserahkan oleh Ketua BPK yang baru : Hadi Poernomo, ke DPR pada hari Senin, 23 November 2009, yang intinya :

a. BI dan KSSK juga tidak memiliki kirteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century. Penetapan dinilai hanya berdasarkan judgement. Lebih mengagetkan lagi, BPK menyatakan bahwa kelembagaan Komite Koordinasi yang beranggotakan Menkeu, Gubernur BI, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) belum pernah dibentuk berdasarkan UU sehingga status hukumnya dipertanyakan.

Ini link-nya :

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/23/1222469/audit.bpk.ungkap.dosa-dosa.bi.menkeu.dan.kssk.1

b. LPS juga melanggar ketentuan Peraturan LPS No. 3/PLPS/2008 ketika menyalurkan penyertaan modal sementara (PMS) tahap kedua sebesar Rp 2,2 triliun. Penyalurannya tidak dibahas dalam Komite Koordinasi KK (yang di dalamnya ada Ketua Dewan Komisioner LPS) Untuk menyalurkannya, LPS malah mengubah ketentuan dalam PLPS No. 5/PLPS/2006 dengan PLPS No. 3/PLPS/2006 sehingga KPS dapat menenuhi kebutuhan likuiditas bank gagal sistemik.

Ini link-nya :

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/23/12553881/audit.bpk.ungkap.dosa-dosa.bi.menkeu.dan.kssk.2

Setelah hasil audit ini dibacakan oleh Ketua BPK Hadi Poernomo, maka tiba-tiba semua anggota Fraksi Partai Demokrat DPR (146 anggota) menyetujui pengajuan hak angket ini, Padahal dalam prinsip akuntansi, hasil audit interim tidak mungkin berbeda dengan hasil audit lengkap.

7. Yang luput dari perhatian publik adalah KEBIJAKAN Deputi Gubernur BI bidang Pengawasan Perbankan dan LKBB Ibu Dra.Hj.Siti Chalimah Fadjriah, MM. Beliau bahkan sempat menandatangani keputusan untuk melikuidasi Bank Century

Ini link-nya : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=17594

Dari website BPK : AKHIRNYA BI AKUI KECOLONGAN SOAL CENTURY :

http://www.bpk.go.id/web/files/2009/12/Media-Indonesia-1.pdf

Pembengkakan bailout Bank Century akibat inforrmasi BI tidak lengkap :

http://kompas.co.id/read/xml/2009/09/30/09375677/pembengkakan.bailout.bank.century.akibat.informasi.bi.tak.lengkap

Mengapa publik curiga ?

1. BI dan Menkeu sudah berpengalaman mengurus dunia perbankan dan LKBB yang bermasalah (lihat tulisan di atas), tanpa campur tangan Presiden. Kenapa untuk masalah yang sangat teknis ini, Presiden sampai perlu mengeluarkan Perpu no. 4 tahun 2008 dan mengutus Marsilam Simanjuntak untuk hadir dalam rapat KSSK yang sifatnya tertutup?

2. Penyebaran opini publik bahwa pejabat TIDAK bisa dihukum (yang tercermin dalam pasal 29 Perpu no. 4 tahun 2008 tentang JPSK) dengan menyatakan bahwa kalau pejabat bisa dihukum karena kebijakannya, maka nanti tidak ada yang mau jadi pejabat - sungguh menyesatkan (lihat pandangan Christianto Wibisono yang mewakili Mafia Berkeley dalam Suara Anda di Metro TV, Senin 14 Desember 2009 pk. 19.05 - 20.20)

Pendapat ini adalah SLIPPERY SLOPE - kesesatan logika (logical fallacy)

Ini link-nya : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/10/04591090/slippery.slope

3. Pendapat bahwa pejabat publik tak bisa dihukum dan kalau toh dihukum, nanti tidak ada yang mau jadi pejabat tidak sesuai dengan kenyataan di Ring I

Lingkungan Istana (Ring I) sekarang dijejali aneka jabatan yang tidak dikenal dalam UU : mulai dari Wantimpres (bentuk baru dari DPA (Dewan Pertimbangan Agung) - Staf Khusus Presiden, UKP3R (Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan dan Pemantau Program Reformasi) dan para Wakil Menteri, belum lagi adanya dua jubir - crowded sekali

4. Kenapa pendapat ini patut dicurigai? Kasus BLBI, Indover Bank, dan kasus Bahana bisa ke laut

Saya cemas melihat isu kebijakan TIDAK bisa dituntut. Hidden agendanya :
*. Status Aburizal Bakrie (Bank Nusa Internasional) dan Fadel Muhammad (Bank Intan) sebagai obligor BLBI diputihkan ??

*. Syahril Sabirin dan Djoko Chandra (kasus cessie Bank Bali)
Ini link-nya : http://putusan.mahkamahagung.go.id/app-mari/putusan/details.php?catid=c434c73cf6a7aa7ec794a7c3246d17ad&cgyid=

Jadi kebijakan MA yang memenjarakan Syaril Sabirin (mantan Gubernur BI) itu salah?

*. Lebih jauh lagi kasus Burhanudin Abdullah (mantan Gubernur BI) dan kawan-kawan (termasuk Aulia Pohan (mantan Deputi Gubernur BI - besan SBY) - kasus ini menyeret nama Paskah Suzetta (mantan Meneg PPN/Kepala Bappenas) - semua putusan MA yg menyatakan mereka bersalah lalu gugur, karena mereka tidak bisa diadili atas dasar kebijakannya?

Ini link-nya : http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2392%3AALIRAN+DANA+BI%3A+Paskah+Bantah+Sejumlah+Kesaksian&catid=1%3ABerita+Terakhir&Itemid=295〈=en

Apa ini yg disebut perlawanan balik para koruptor? Hidden agendanya banyak (lihat kasus tidak dilakukannya assessment dan due diligence secara proper di atas). Yang lebih saya kuatirkan adalah : pengangkatan isu kebijakan TIDAK bisa dihukum itu adalah skenario besar untuk memutihkan kasus BLBI dan membebaskan para terdakwa, TERMASUK Aulia Pohan (besan SBY) - sekali tepuk dapat empat nyamuk : kasus BLBI dianggap selesai dan kasus Bank Century ditutup saja, lalu kasus Indover Bank dan Bahana lupakan saja .... wah..wah ...skenario yang bagus

5. Kecurigaan aliran dana Bank Century yang dibuktikan dengan keengganan SBY untuk melakukan audit investigatif dengan azas pembuktian terbalik mendorong publik untuk curiga : ada yang mau disembunyikan dan mau ditutupi oleh SBY. Yang paling mudah disasar publik adalah program kampanye SBY. Besarnya dana kampanye SBY-Boediono yang dilaporkan ke KPU cuma Rp. 252 milyar. Tidak sebanding megah, mewah dan masifya kampanye itu.

Kenapa publik curiga dengan kampanye itu ?

1. Karena ketertutupan selama Pemilu dan Pilpres itu sangat kasat mata, misalnya misteri dapat dilantiknya Agung Laksono sebagai anggota DPR mewakili DKI Jkt pada tanggal 1 Oktober 2009, padahal perolehan suaranya tidak memenuhi BPP (hanya 32.903 suara, jauh dibawah BPP Prov DKI Jkt : 300.000 suara)

Ini link-nya : http://www.jakartapress.com/news/id/8511/Agung-Laksono-Dipaksa-Pensiun-dari-Senayan.jp

Kalau di Jakarta saja perhitungan suara tidak transparan, apalagi di daerah

2. Kemampuan "cuci piring" dari Partai Demokrat cukup dikenal publik. Misalnya : ketika anggota Fraksi Partai Demokrat DPR mengumpulkan uang (bukan koin) sebesar Rp. 50 juta untuk membantu Prita. Padahal Prita dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU no. 11 tahun 2008) tentang pencemaran nama baik. UU ini diajukan oleh Departemen Perdagangan KIB I (bukan usul inisiatif DPR) - harusnya Partai Demokrat mengusulkan pencabutan pasal 27 ayat 3, buatan rezim SBY itu (KIB I) itu karena pasal 27 ayat 3 itu tidak relevan dengan dunia perdagangan (ITE)

Pengumpulan uang kertas ini juga menyalahi arti simbolik pengumpulan koin sebagai ungkapan perlawanan orang kecil pada kesewenang-wenangan kekuasaan

Ini link-nya :

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/12/05043618/prita.dan.pertarungan.modal.simbolik

Pengumpulan uang oleh anggota Fraksi Partai Demokrat DPR ini juga menafikan kesaksian Roy Suryo (anggota DPR dari Partai Demokrat) yang malahan memberatkan Prita, sehingga Prita harus dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp. 204 juta ke RS Omni Internasional, Alam Sutera, Tangerang

Ini link-nya :

http://www.jakartapress.com/news/id/9336/Wah-Kesaksian-Roy-Suryo-Beratkan-Prita.jp

3. Setelah 503 anggota dari 560 anggota DPR menanda-tangani usul pengajuan hak angket ini dan mengajukannya pada Sidang Paripurna DPR pada tanggal 1 Desember 2009, tiba-tiba anggota Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh menolak dibacakannya pandangan pengusul, yang diikuti oleh koalisinya, sehingga akhirnya sidang paripurna DPR 1 Desember 2009 ditutup tanpa pembacaan pandangan fraksi-fraksi

Ini link-nya :

http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2009/12/01/brk,20091201-211256,id.html

Apa implikasinya? Komitmen fraksi-fraksi dalam pemberantasan korupsi tidak ditangkap oleh publik. Dua kali pidato Presiden SBY bahwa Presiden akan berdiri paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi dan Presiden akan memimpin jihad melawan korupsi menjadi retoris belaka. Lha pandangan fraksinya saja tidak jelas. Fraksi Partai Demokrat rupanya tidak sadar bahwa langkah awal untuk pengajuan mosi tidak percaya pada upaya pemberantasan korupsi sudah diancangkan.

Hati-hati isu pengalihan perhatian publik :

1. Pengalihan isu skandal Bank Century dilakukan dengan menyatakan bahwa Pimpinan Pansus harus bebas dari skandal suap Miranda Gultom.

Padahal kasus ini pernah dipeti-eskankan ketika penyelidikan POLRI ternyata mengungkap bahwa pembagi traveller's cheque senilai Rp. 500 juta ke masing-masing anggota Panitia Anggaran DPR itu (seperti yang diungkap oleh Agus Condro) adalah Nunun Nurbaiti (istri Wakapolri saat itu : Komjen Pol Adang Dorodjatun - saat ini, Komjen Pol (purn) Adang Dorodjatun menjadi anggota DPR dari Dapil I DKI Jkt mewakili PKS)

Ini link-nya : KOMPAS, Rabu 10 Juni 2009 : PERCEPAT PENGUSUTAN, Alinea 8-9-10 : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/10/03422194/function.simplexml-load-file

Initial N : http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=4162

Apa buktinya kalau pengungkapan kembali kasus Miranda Gultom ini hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat ?

Kasus Johnny Allen Marbun dari Partai Demokrat, yang menerima dana Rp. 1 M dari Abdul Hadi Jamal, tetap tidak disentuh (padahal Abdul Hadi Jamal (PAN) sudah divonis)

Ini link-nya : http://www.jakartapress.com/news/id/4686/KPK-Usut-Keterlibatan-Johny-Allen-Marbun.jp

2. Hati-hati dengan isu pengalihan perhatian ini, karena bisa langsung berbalik menyerang SBY sendiri. Misalnya : Bagaimana dengan keterlibatan SBY dan Kapolri (saat itu) Jend.Pol Soetanto yang cipika-cipiki dengan para koruptor ? Soetanto (kemudian menjadi Komut Pertamina dan Ketua Gerakan Pro SBY - saat ini menjabat Kepala BIN) adalah wakil keluarga Arthalyta pada pernikahan Rommy Dharma Satriawan (putera Arthalyta) di Hotel Sheraton

Ini link-nya : http://www.inilah.com/berita/politik/2008/08/21/45205/foto-sby-salami-artalyta-beredar/

Pengalihan perhatian publik memang keahlian Soeharto yang diwarisi oleh SBY. Lihatlah bagaimana SBY untuk mengangkat citranya sebagai pemberantas korupsi dengan memerintahkan KPK untuk mengaudit kado pernikahan puteri Sri Sultan Hamengku Buwono X. Perintah yg tidak pernah dilakukannya pada pejabat tinggi lain yg mantu atau pada diri SBY sendiri pada saat menikahkan puteranya Agus Harimurti dengan Annisa Larasati Pohan di Istana Bogor tanggal 9 Juli 2005.

Ini link-nya :

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0805/21/nas09.html

Senin, 21 Juni 2010

FREEPORT MAKMUR DIATAS NEGERI LUMBUNG KONFLIK PAPUA

Arki-papua Arah Kiri Papua
Oleh: Arkilaus A. Baho
Diakhir bergulirnya otonomi Khusus bagi rakyat Papua kita masih menyaksikan lumbung-lumbung konflik yang terjadi. Simak saja wilayah merah"sering timbul konflik" di Papua. Se-tidaknya adalah Timika, Nabire, Puncak Jaya dan wilayah terisolir lainya diPapua. Hampir sebagian wilayah konflik tersebut berdiri sejumlah investasi baik asing maupun lokal yang dijamin oleh negara.

Politik pecah belah tidak hanya bagian dari restorasi pemodal, tetapi juga pedang bagi kolonialisasi suatu wilayah. Dominasi antara modal dan birokrasi kolonial tidak bisa dibedakan antara pelaku dan agen dari usaha-usaha merubah tatanan rakyat setempat. Jaman sebelum dan sesudah Globalisasi, negara kapan saja dan dimanapun dapat memindahkan secara paksa komunitas warga dari pusat konsentrasi negara yang dianggap penting.

Logika tikus mati dalam lumbung padi, itulah kenyataan sekarang. Papua begitu kaya. Tetapi penduduknya mati karena kekerasan akibat konflik yang berkepanjangan. Beda kalau negeri lainya diluar Papua ada orang meningal karena kemiskinan. Sebut saja, Pembongkaran gunung Grasserg pertama dilakukan oleh Freeport, sudah sekitar tujuh puluh lima persen warga setempat punah. Itu baru terjadi disaat freeport mula-mula masuk diPapua. Warga dipindahkan dari gunung tambang yang kita kenal sekarang lalu digiring ke daerah dataran dekat laut. Kwamki lama yang sering terjadi perang budaya adalah salah satu lokasi penempatan warga Papua setelah digusur dari gunung nemangkawi.

Pemerintah Indonesia tidak segan-segan menembak mati siapapun diPapua yang berani menetang aset vital negara. Ratusan warga meninggal akibat protes besar-besaran di areal Freeport tahun 1980an hingga sekarang jumlahnya sudah tidak lagi ratusan. Tidak saja derita darah tumpah demi Freeport dialamai orang Papua tetapi warga negara lain pun mengalami nasib yang sama. Demi freeport saja, kasus-kasus penembakan di freeport harus dikubur. Sudah tuntaskah warga Australia yang tewas tertembak di Freeport beberapa waktu silam?. Sudah tuntaskan warga Amerika yang tewas tertembak di areal Freeport tahun 2001 silam. Apakah pelaku kekacauan selalu dicap pengacau keamanan dijaman Suharto, lalu dijaman Reformasi dicap separatis lalu sekarang dicap pelaku teror aja...?. Rantai konflik yang terjadi tidak bisa tuntas bila para pemodal terus gerilya dan meminta jaminan apapun kepada negara.

Saya menduga kasus-kasus yang sering terjadi di Timika, Nabire, Puncak Jaya dan Wamena tidak berdiri sendiri dari suatu aktor besar yang ingin menjajakan kakinya. Siapa dia?, adalah FREEPORT. Alasanya, Freeport berkehendak memperluas areal operasinya ke daerah-daerah seputar pegunungan Papua. Sebaran emas dan Tembaga yang melimpah ruah di pegunungan Papua inilah, membuat perusahaan raksasa ini mau tidak mau harus memburunya hingga mendapatkannya.

Penjajakan operasi tambang Freeport di wilayah Nabire saja ditolak oleh warga setempat tidak lama ini. Tuntutan warga setempat kepada Freeport adalah Freeport siap menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri. Toh tuntutan ini berujung pada penolakan oleh Freeport. Bias dari penolakan ini maka dihembuskanya pemekaran Papua tengah. Miiterisasi pun digalang dengan mendirikan perlawanan sipil vs sipil. Sejumlah warga pendatang di kumpulkan lalu diadu dengan warga setempat. Maka di Nabire tidak heran bila terjadi pembunuhan berantai yang tak masuk akal.

Tidak jauh dari radius operasi Freeport, Puncak Jaya yang dibawah gunung ini telah di bor. Ketakutan Freeport atas gangguan keamanan inilah, kita saksikan operasi-demi operasi digalakan di wilayah ini. Kekuatan baru kelompok bersenjata didirikan di Puncak Jaya. Dengan alasan, bila saja ada konflik bersenjata, pemerintah dengan mudah menuduh Goliat Tabuni sebagai dalang. Padahal, kekuatan Goliat Tabuni tidak sehebat yang sering kita saksikan ditunjukan oleh negara ini dalam berbagai kasus-kasus. Nah, saya duga ada kaum bersenjata yang sengaja dipelihara negara dengan tujuan meyakinkan publik untuk tetap ada operasi di Pucak Jaya.

Dari segala lumbung konflik yang terjadi siapa yang mendapat keuntungan dari semua ini?. Sudah pasti, Freeport terus melebarkan arealnya ke wilayah-wilayah penghasil emas dan tembaga. Militer Indonesia mendapat hibah dari dana keamanan Freeport lalu di sedot dana keamanan negara melalui APBN dan APBD Otsus Papua. Kamtibmas di areal perusahaan bukan untuk ketentraman warga tetapi negara menggelar kamtibmas untuk pengamanan aset asing.

Konflik Papua harus diselesaikan dalam ruang pengentasan hegemoni imperialisasi aset ekonomi bangsa. Sudah lama negara ini berdiri, mari kita dewasa untuk mementingkan kepentingan rakyat daripada pemodal-pemodal serakah. Negara-negara berkembang lainnya justeru maju seketika mengadopsi kebijakan neoliberal dalam paket globalisasi. Indonesia justeru jadi sampah pembuangan arus globalisasi karena mentalitas pemimpin negeri ini tidak mengutamakan rakyatnya, kekayaanya tidak diproteksi, konflik kepentingan menganga tanpa kepastian keadilan hukum. Membiarkan penguasaan asing diPapua jangan berharap NKRI utuh sebaba kapan saja semaunya mereka memisahkan Papua dari NKRI untuk memudahkan pengusaan aset orang Papua. Mari memberi didikan yang baik bagi rakyat kami, dan bukan mengadudomba rakyat Papua demi kepentingan investasi semata. Semoga.

Link:
http://arki-papua.blogspot.com/search/label/FREEPORT%20MAKMUR%20DIATAS%20NEGERI%20LUMBUNG%20KONFLIK%20PAPUA

http://politikana.com/baca/2010/06/15/freeport-makmur-diatas-negeri-lumbung-konflik-papua.html#comment-221737

"WONG CILIK KOK TAMBAH SENGSORO URIPE"........->Orang Kecil kok Tambah Sengsara hidupnya

Tarif KA Batal Naik

Jakarta, Kompas - Pemerintah batal menaikkan tarif kereta ekonomi pada Juni 2010 seperti yang direncanakan. Dengan demikian, pada musim liburan sekolah saat ini masyarakat pengguna kereta api masih membayar dengan tarif lama.

Juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S Ervan, Jumat (18/6) di Jakarta, menyatakan, keputusan tidak menaikkan tarif KA pada bulan ini karena pemerintah masih menyosialisasikan kenaikan tarif.

”Kami juga masih meminta masukan dari masyarakat,” kata Bambang S Ervan. Sebelumnya, pemerintah telah menyatakan berencana menaikkan tarif KA ekonomi 16-62 persen.

Menanggapi pertanyaan tentang kemungkinan kenaikan tarif KA ekonomi dilakukan bulan Agustus, Bambang mengatakan, ”Pemerintah ingin secepat mungkin. Jadi, begitu sosialisasi selesai, hasilnya segera diformulasikan dalam kenaikan tarif.”

KA ekonomi antarkota setiap tahun mengangkut sekitar 15 juta penumpang. Adapun KA komuter lebih dari 30 juta penumpang dan penumpang kereta rel listrik (KRL) di Jakarta dan sekitarnya sebanyak 150 juta penumpang.

Tarif KA ekonomi saat ini, menurut Bambang, sangat murah. ”Tarifnya sangat murah dibanding harga rokok atau pengeluaran untuk SMS,” kata dia.

Rendahnya tarif KA ekonomi dibanding tarif moda transportasi lainnya, menurut VP Marketing and Sales PT Kereta Api Adi Suryatmini, membuat beban KA ekonomi meningkat.

”Jumlah penumpangnya tidak akan seimbang karena penumpang pasti memilih naik kereta ekonomi. Nah, di musim libur sekolah atau Lebaran, kapasitas kereta pasti tak akan mencukupi,” ujar Adi.

Dia menjelaskan, delapan tahun tarif KA ekonomi tidak naik. Bahkan, pada Januari 2009, tarif 22 rangkaian KA ekonomi turun 5,6-8 persen. Ini karena anjloknya harga minyak dunia.

”Padahal, dalam kurun waktu 2002 hingga saat ini, selama tarif KA ekonomi tidak naik, inflasi telah 65,3 persen. Harga listrik industri untuk KRL telah naik 37 persen dari 2003,” kata dia.

YLKI menolak

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menegaskan, YLKI menolak kenaikan tarif KA ekonomi. Apalagi, kenaikan itu dibahas terpisah dari pembahasan subsidi atau kewajiban pelayanan publik (PSO).

Padahal, kata Sudaryatmo, dua hal itu terkait sehingga harus ada jaminan besaran PSO ataupun tarif KA ekonomi. ”Jangan sampai, setelah tarif dinaikkan, dana PSO diturunkan. Itu artinya, tidak ada upaya memperbaiki perkeretaapian,” kata dia.

Menurut Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno, Kementerian Keuangan adalah kunci dari wacana kenaikan tarif ini. ”Bila Kementerian Keuangan setuju menambah PSO, tarif tidak perlu naik,” ujar dia.

Sudaryatmo menyarankan agar pemisahan pembukuan PSO diwujudkan sebelum tarif dinaikkan supaya ada transparansi anggaran PSO.

Agus Imansyah dari KRL Mania meminta agar pelayanan KA ekonomi ditingkatkan terlebih dahulu, baru tarif naik. Selain itu, jika tarif dinaikkan, harus ada sistem denda.

”Bila kereta tidak melanjutkan perjalanan karena mogok atau terlambat dari jadwal, pemerintah dan PT Kereta Api harus memberikan ganti rugi kepada penumpang,” kata Agus. (RYO)

http://www.facebook.com/profile.php?id=1202256984#!/notes/suro-menggolo/wong-cilik-kok-tambah-sengsoro-uripe-orang-kecil-kok-tambah-sengsara-hidupnya/401663228015

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/19/04253111/tarif.ka.batal.naik

Selasa, 15 Juni 2010

SAURIP KADI (Dewan Penasehat Iluni UI KK) MENDAFTAR KETUA KPK !!

SAURIP KADI (Dewan Penasehat Iluni UI KK)
MENDAFTAR KETUA KPK !!

Senin 14 Juni 2010

"SAYA SIAPKAN SATU PELURU, SAYA TEMBAKKAN KE KEPALA SAYA DENGAN TANGAN SAYA SENDIRI bila nanti SAYA TERLIBAT dengan MAFIA HUKUM" kata Saurip Kadi
kepada wartawan, kemarin.

Saurip berjanji, bila terpilih menjadi Ketua KPK, maka dirinya
berkomitmen mendeklarasikan perang terhadap korupsi. Bahkan, ia akan meniru keberanian mantan PM Republik China Zhu Rongji.

Saurip Kadi (59 tahun) menjelaskan, didampingi beberapa purnawirawan TNI AD pada Kamis (10/6), telah datang ke Kementerian Hukum dan Komnas HAM untuk mendaftar. Ia terdaftar dalam nomor urut 106.

KEBENARAN VS KEKUASAAN

Kontroversi Kasus Bibit-Chandra
Oleh : Adnan Buyung Nasution

Lakon cicak-buaya yang dipicu sikap reaksioner seorang petinggi Polri telah bergulir menjadi isu besar. Ketika dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, muncul dugaan keras adanya rekayasa dan indikasi serangan balik koruptor (corruptor fights back).

Jutaan orang sontak bereaksi lewat jejaring sosial di dunia maya untuk memberikan dukungan kepada dua pemimpin KPK. Perkembangan itu kemudian direspons Presiden dengan membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto (Tim 8).

Bulan Juni ini, genap satu tahun sejak drama cicak-buaya bermula. Tarik-menarik antara kekuatan reformis dan mafia hukum semakin kuat. Sementara itu, pemerintah terkesan mengambil sikap suam-suam kuku dan kurang memiliki sensitivitas pada rasa keadilan masyarakat. Nasib Bibit-Chandra yang terus digantung adalah salah satu buktinya.

Dalam tulisan ini saya berupaya untuk melakukan suatu refleksi kritis terhadap proses hukum kasus Bibit-Chandra. Hal ini saya anggap perlu dilakukan untuk melacak akar persoalan sesungguhnya agar kita mampu melihat secara lebih jernih segala macam kontroversi yang jadi permasalahan dalam kasus ini. Upaya ini juga perlu sebagai kontribusi untuk ikut mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tim 8 dan Presiden

Tim 8 hanya diberikan waktu tugas selama 14 (empat belas) hari kerja untuk melaksanakan satu misi yang amat berat. Tugas pertama yang dijalankan oleh seluruh anggota Tim 8 adalah hadir di Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan rekaman Anggodo cs. Selepas itu, Tim 8 langsung mendatangi Kapolri untuk mengupayakan pembebasan Bibit-Chandra. Selanjutnya, Tim 8 mempelajari berkas dan dokumen serta meminta keterangan dari sejumlah pihak terkait.

Setelah waktu tugas itu berakhir, Tim 8 menyerahkan laporan akhir yang dilengkapi dengan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi bagi Presiden. Dalam kesimpulan pokoknya, Tim 8 menyatakan tidak terdapat cukup bukti untuk meneruskan perkara ke pengadilan. Atas dasar itu, Tim 8 merekomendasikan kepada Presiden agar proses hukum terhadap dua pemimpin KPK sebaiknya dihentikan.

Setelah mempelajari laporan Tim 8, Presiden menyampaikan agar terhadap kasus Bibit-Chandra sebaiknya dilakukan penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement). Meski demikian, Presiden ternyata tidak sepenuhnya bersepakat dengan laporan Tim 8. Di satu sisi Presiden setuju perkara dihentikan atau tidak dilanjutkan ke pengadilan, tetapi disisi lain Presiden rupanya juga menyetujui kesimpulan Kepolisian dan Kejaksaan yang menyatakan bahwa kasus Bibit-Chandra telah cukup bukti.

Dalam latar seperti itu, Kejaksaan terus didesak untuk segera merespons perkembangan dan mengambil langkah hukum secara cepat. Jaksa Agung tak kunjung mendapatkan sinyal dari eksekutif untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponeering). Padahal, deponeering sebagai pelaksanaan asas oportunitas hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memerhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut (Penjelasan Pasal 35 (c), UU No 16/2004).

Ketidakpaduan sikap Presiden yang tidak meneruskan perkara ke pengadilan atau out of court settlement dengan bukti yang dianggap sudah cukup oleh Kepolisian dan Kejaksaan adalah kontroversi pertama dalam penyelesaian kasus Bibit-Chandra. Hal itu kemudian diperparah oleh ketidaktegasan Presiden yang juga turut mendorong kontroversi berikutnya, yaitu terbitnya surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) yang menggunakan alasan sosiologis sebagai dasarnya.

Padahal jika benar Presiden sepakat dengan Tim 8 bahwa tidak cukup bukti, maka SKPP yang dikeluarkan Kejaksaan harus berdasarkan alasan hukum yaitu antara lain tidak cukup bukti, bukan alasan sosiologis yang tidak ada dasar hukumnya. SKPP sesat itulah yang menjadi akar hambatan penyelesaian kasus Bibit-Chandra hingga kini.

Sesat langkah Kejaksaan

Dalam rekomendasinya, Tim 8 memberikan dua opsi langkah hukum kepada Kejaksaan dan Jaksa Agung. Opsi pertama atau yang paling ideal adalah penghentian penuntutan. Hal itu sejalan dengan kesimpulan Tim 8 yang tak menemukan bukti yang cukup dalam kasus Bibit-Chandra. Opsi terakhir adalah deponeering.

Kejaksaan rupanya lebih memilih opsi pertama dengan menerbitkan SKPP. Meski demikian, pemilihan opsi pertama itu menjadi problem ketika digunakan alasan sosiologis yang mestinya jadi dasar bagi opsi deponeering. Ini jelas merupakan hal yang tidak wajar. Sulit memercayai bahwa pihak Kejaksaan tidak memahami ketentuan Pasal 140 Ayat (2) a. KUHAP yang telah mengatur secara limitatif mengenai alasan penuntut umum untuk menghentikan penuntutan, yaitu: karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum.

Oleh karena itu, tidak begitu mengherankan ketika hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya mengabulkan gugatan praperadilan atas penghentian penuntutan kasus Bibit- Chandra. Putusan hakim yang menyatakan SKPP tidak sah memang didukung pertimbangan dan argumentasi hukum yang tepat, seperti yang sudah saya kemukakan di atas. Demikian pula halnya, wajar ketika pengadilan tingkat banding malah menguatkan putusan Pengadilan Negeri.

Keheranan justru muncul ketika Jaksa Agung—sesaat setelah rapat kabinet— mengumumkan mengenai pengajuan peninjauan kembali (PK). Langkah ini jelas sangat bermasalah. Setidaknya ada dua problem yang akan muncul: Pertama, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan ataupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 Ayat (1) KUHAP).

Artinya, meski mengajukan PK, Jaksa tetap harus segera melakukan eksekusi dengan melanjutkan kasus Bibit-Chandra ke persidangan. Dengan demikian, 2 (dua) langkah hukum yang harus dijalankan jaksa akan melahirkan situasi hukum yang paradoksal. Kedua, apabila sidang Bibit- Chandra digelar dan status keduanya telah menjadi terdakwa, maka sebagai konsekuensinya mereka dapat dinonaktifkan sebagai pimpinan KPK. Hal ini jelas akan menimbulkan problem besar, khususnya bagi kinerja KPK, dan pemberantasan korupsi secara umum.

Tantangan

Kejaksaan adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk menentukan langkah hukum yang bisa ditempuh. Meski demikian, proses hukum ini harus dimaknai bukanlah semata-mata pertarungan antara Kejaksaan dengan pemohon praperadilan. Nama baik dan kehormatan, jabatan, serta kebebasan Bibit-Chandra turut dipertaruhkan.

Jaksa Agung mestinya tidak perlu lagi mengulur-ulur waktu penuntutan jika tak kunjung mendapat lampu hijau untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, apalagi jika sejak awal sudah meyakini bahkan berani memastikan bahwa kasus ini sudah cukup bukti. Dalam kasus yang pasti bakal menyedot perhatian luar biasa ini, saya menyarankan Jaksa Agung agar kembali memasang toga dan berfungsi sebagai Jaksa Penuntut Umum.

Di persidangan ini, Jaksa Agung akan memiliki kesempatan untuk membuktikan dugaannya sejak awal mengenai tindak pidana yang dilakukan Bibit-Chandra. Demikian pula sebaliknya, Tim Pembela Hukum Bibit Chandra akan memiliki peluang yang fair dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-hak dari kliennya.

Terkait hal di atas, saya memiliki satu catatan: apabila Jaksa Agung tidak berhasil membuktikan kesalahan Bibit-Chandra, beliau secara sportif mengakui kesalahannya dengan mengundurkan diri sebagai Jaksa Agung. Semoga jika jalan ini disetujui akan dapat menyingkirkan kontroversi seputar kasus Bibit-Chandra yang sampai detik ini tidak habis-habisnya.

Adnan Buyung Nasution Guru Besar Ilmu Hukum/ Advokat Senior

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/15/05283181/kontroversi...kasus.bibit-chandra

Awas, DPR Pilih Ketua KPK Bukan Pilihan Rakyat

Rekaman Anggodo' di Kaos Aktivis
10 Aktivis Cinta Indonesia Cinta Antikorupsi (Cicak) hadir dalam sidang kesaksian pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (15/6). Mereka memakai kaos bertuliskan percakapan rekaman Anggodo yang diputar di MK. "Anggodo dan Ong Yuliana didukung SBY, ngerti nggak? Jadi, nanti....KPK tutup!" Itulah tulisan yang dipasang pada kaos yang dikenakan 10 aktivis Cinta Indonesia Cinta Antikorupsi (Cicak).-Jakartapress.com


Oleh: Tubagus Januar Soemawinata (Universitas Nasional)

Pendaftaran sudah ditutup pada Selasa (15/6) pukul 00.00 WIB oleh Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diketuai Menkum HAM Patrialis Akbar. Pansel memastikan 268 pendaftar dinyatakan memenuhi kelengkapan berkas dan berhak mengikuti seleksi berikutnya. Rinciannya; advokat 78 orang, PNS dan pensiunan PNS 61 orang, TNI-Polri dan purnawirawan 22 orang, swasta 72 orang, akademisi 23 orang, jaksa dan pensiunan jaksa 9 orang, hakim dan pensiunan hakim 3 orang. Berdasarkan jenis kelamin, tercatat ada 249 orang laki-laki dan 19 orang perempuan. Selanjutnya, kandidat ketua KPK yang sudah terseleksi oleh Pansel akan segera diserahkan ke Komisi III (Hukum) DPR untuk dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).

Tercatat sejumlah tokoh ternama yang mendaftar di hari terakhir adalah anggota Wantimpres Jimly Ashidiqqie, Ketua KY Busyro Muqoddas, mantan Mensesneg Bondan Gunawan, dan pengacara Bambang Widjajanto. Mantan anggota DPR Ade Daud Nasution juga mendaftarkan diri menjelang penutupan pendaftaran pukul 24.00 WIB. Yang menarik, ia berjanji apabila menjadi Ketua KPK nanti, kasus pertama yang akan diusut adalah skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan uang negara Rp 600 triliun tetapi hingga sekarang belum pernah disentuh penegak hukum. Kata dia, KPK saat ini sangat kurang greget dalam menangani kasus-kasus besar. Padahal banyak kasus besar yang hingga kini belum terungkap. “KPK seperti ayam sayur. Padahal banyak kasus kakap seperti mantan menteri," ledeknya.

Apakah para tokoh vokal ini akan dipilih oleh DPR? Belum tentu! Malah, jangan-jangan yang terpilih nanti yang berindikasi sosok ‘ayam sayur’. Pasalnya, pilihan wakil rakyat di DPR belum tentu mencerminkan pilihan kehendak rakyat. Rakyat maunya jelas figur KPK yang bersih, jujur, independen, dan 'berani mati' dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Namun, politisi di DPR diduga bisa saja memiliki kepentingan lain, yakni kepentingan pribadi atau kelompok/partai. Terlebih, pemilihan Ketua KPK akan bisa dijadikan deal atau dagang sapi oleh anggota Komisi III DPR. Tentu saja, bagi Fraksi partai politik yang pro rezim penguasa, akan memilih sosok ketua KPK yang dianggap tidak ‘membahayakan’ rezim penguasa.

Kita bisa berhitung dari peta koalisi politik di Komisi III DPR yang beranggotakan total 55 orang dari 9 (sembilan) fraksi. Yakni, 14 orang dari Fraksi Partai Demokrat, 10 orang Partai Golkar, 9 orang PDIP, 5 orang PKS, 5 orang PAN, 5 orang PPP, 3 orang PKB, 3 orang Gerindra, dan 2 orang Hanura. Komisi III DPR diketuai oleh Benny Kabur Harman (Fraksi Demokrat) dan didampingi tiga wakil ketua yaitu Aziz Syamsudin (Golkar), Fahri Hamzah (PKS),dan Tjatur Sapto Edi (PAN). Kalau kita lihat konstelasinya, tentu sebagain partai yang masuk di Setgab Koalisi mendukung kehenak pemerintahan SBY. Kita belum bisa percaya kalau ada anggota DPR bilang akan memilih ketua KPK sesuai kehendak rakyat? Jangan-jangan mereka malah memilih titipan koruptor yang mapan, karena bisa dibuat untuk pundi-pundi ATM partai?

Apalagi, pemerintah sekarang menghadapi persoalan penyimpangan, seperti kasus bail out Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Meskipun pihak Kejaksaan Agung (Kajagung), Polri dan KPK menganggap tidak ada pelanggaran hukum dalam kasus bail out tersebut. Namun sejumlah pengamat dan anggota Dewan sangat berkeyakinan bahwa ada masalah pelanggaran hukum dalam kasus dana talangan itu.

Apakah pemerintah SBY akan ketakutan kalau ketua KPK yang terpilih nanti getol untuk menindaklanjuti pengusutan skandal Century, sehingga harus dijegal oleh ‘orang pemerintah’ di Komisi III DPR? Jika benar ada penjegalan, maka belum ada jaminan figur yang ‘berani mati’ akan terpilih menjadi Ketua KPK. Dengan asumi ini pula, nampaknya KPK tidak butuh orang pinter dan bener, yang dibutuhkan adalah orang yang penurut, yaitu yang menurut rezim penguasa, bias diintervensi dan gampang terkooptasi.

Namun, ada pula yang mencurigai Anggota Dewan Pertimabngan Presiden (Wantimpres) Jimly Asshidiqie adalah titipan istana untuk ditempatkan sebagai pimpinan KPK sehingga kasus-kasus yang diduga melibatkan istana akan tertutupi. Namun hal ini dibantah oleh Ketua DPR Marzuki Alie yang juga mantan Sekjen Partai Demokrat. Indonesia Corruption Watch (ICW) masih menilai Jimly dan Ketua Komisi Yudisial (KY) Busro Muqadas cocok menjadi pimpinan KPK. Menurutnya, tantangan pertama Jimly dan Busyro nantinya akan semakin terbuka mendapat ancaman kriminalisasi ketika akan membuka kasus-kasus besar. Akibatnya, ketika pimpinan baru KPK tidak berani membuka kasus-kasus besar maka mereka akan mencoba kompromi dengan kepentingan politik.

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Unievrsitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar juga meminta masyarakat tidak terburu-buru bersorak tekait pendaftaran Jimly Ashiddiqie dan Busyro Muqoddas sebagai calon pimpinan KPK. Dikhawatirkan, DPR selalu berseberangan dengan pilihan rakyat. "Saya berharap orang tidak terlalu euforia dengan Jimly dan Busyro mendaftar," kata Pengajar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta ini. "Biasanya orang yang disuarakan masyarakat tidak pernah didukung DPR. Jangan terlalu cepat disoraki," tandasnya.

Busyro Muqoddas memang figur yang tepat untuk melakukan pemberantasan mafia hukum. Namun pencalonannya sebagai Ketua KPK boleh jadi akan mendapat perlawanan keras dari mafia hukum di Mahkamah Agung (MA). “Beliau sangat mengerti dunia peradilan, bukan tidak mungkin yang akan dikedepankan adalah pemberantasan mafia peradilan. Ini ancaman serius bagi mafia di MA," tegas peneliti ICW Febri Diansyah. Sedari awal sepak terjang Busyro Muqoddas selaku Ketua Komisi Yudisial (KY) terbukti sangat bagus dan mendapat sambutan positif masyarakat. Hanya oknum-oknum dan mafia di lingkungan pengadilan dan Mahkamah Agung (MA) yang berulang kali melakukan penolakan terhadap upaya pembenahan dari KY.

Sekarang, public sedang menunggu keseriusan Komisi III DPR untuk melakukan fit and proper test terhadap nama-nama calon ketua KPK yang akan diserahkan oleh Pansel. Kita tidak tahu tolok ukur dan takaran macam apa yang akan dipakai DPR untuk memilih figur ketua KPK yang ideal. Kita berharap, tentunya yang ideal bagi rakyat, bukan ideal bagi DPR yang nantinya sang ketua KPK bisa di-’main’-kan. Ingat, DPR adalah diberi amanat oleh rakyat untuk memilih ketua KPK. Jadi, tanya dulu kepada rakyat, siapakah yang harus dia pilih. Jangan bertanya kepada pimpinan parpol atau elit penguasa, yang tentu jawabannya sudah bisa ditebak. Lain halnya dengan ujian siswa sekolah yang sudah jelas kelulusannya didasarkan soal yang dikerjakan, tapi dalam fit and proper test di DPR ini kriterianya tidak ‘jelas’ mengapa DPR meluluskan atau tidak meluluskan seorang calon ketua KPK. Akhirnya pun ada dugaan, pemilihan ketua KPK akan dilakukan sesukanya oleh para politisi tergantung deal atau dagang sapi anggota DPR dengan kubu rezim penguasa. (*) -Jakartapress.com

http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/suara-rakyat/awas-dpr-pilih-ketua-kpk-bukan-pilihan-rakyat/10150199435115487

Senin, 14 Juni 2010

DEAL OF THE CENTURY

Kamilia Martowardojo
Gonjang ganjing mengenai penyelamatan Bank Century masih terus berlanjut, dengan segala macam teori yang barangkali membingungkan bagi khalayak ramai. Pembahasan masalah ini tidak hanya di mainstream media saja tapi termasuk juga di jejaring facebook, tweeter maupun personal blog di belahan dunia maya. Bermunculanlah Inkar atau Instant Pakar dengan segala macam teori dan spekulasi politik. Banyak yang menentang namun tidak sedikit juga yang mendukung keputusan bail-out pemerintah dengan dalih sistemik risk, domino effect serta alasan yang sangat klasik, yaitu di tengah krisis keuangan global mengambil langkah melikuidasi bank akan memperburuk kondisi sektor keuangan dalam negeri.
Sayangnya hampir semua ulasan tidak disertai data-data, yang ada hanya kata-kata. Bedanya kalau data tidak bisa berbohong, apalagi yang telah diaudit oleh akuntan publik. Sementara kata-kata bisa berkelit. Akal sehat saya bertanya kenapa kita ini tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu? Lemahnya pengawasan terhadap operasional perbankan ditutupi dengan mengambil suatu langkah berupa kebijakan yang keliru. Lemahnya pengawasan perbankan masih memungkinkan intervensi pemilik, menjadikan bank tersebut sebagai kendaraan untuk kepentingan kelompoknya. Bukankah ini symptoms sehingga terjadi fiasco perbankan nasional pasca krismon 1998? Apakah para pengambil keputusan “lupa” apa yang terjadi 10 tahun lalu, kemudian mengambil easy way out berlindung di balik krisis global 2008?
Sebagai ilustrasi untuk sekedar mengingatkan kita semua, terutama para instant pakar, bahwa langkah penyelamatan industri perbankan pasca krisis moneter 1998 memakan biaya Rp. 650 triliun. Terdiri dari BLBI (Bencana Luar Biasa Indonesia) kepada bank-bank swasta sebesar Rp. 225 trilliun dan penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan sebanyak Rp.425,5 triliun. Jumlah ini sudah termasuk obligasi rekap untuk bank BUMN sebesar Rp. 280 triliun. Sampai hari ini langkah yang ditempuh pemerintah ketika itu masih menyisakan banyak masalah, khususnya BLBI, demikian juga bunga obligasi rekapitalisasi masih dibayar setiap tahunnya melalui APBN, sesuai dengan outstanding obligasi yang belum jatuh tempo/dicairkan.
Bukan main mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh rakyat, padahal penyebab terpuruknya industri perbankan ketika itu lebih disebabkan oleh begitu banyak kredit disalurkan oleh bank BUMN maupun bank swasta ke kelompok usaha besar yang tidak prudent, bahkan nilai jaminannya jauh di bawah nilai kredit yang diberikan. Sebagian besar bank swasta beroperasi untuk kepentingan kelompok pemilik atau pihak yang terkait. Lemahnya pengawasan bank sentral, yakni BI, membuat rambu-rambu pengawasan pun dilanggar tanpa konsekwensi. Memang pada akhirnya krisis moneter 98 menjadi klop untuk dijadikan alasan dan Rp. 650 triliun pun dianggap wajar sebagai ongkos sebuah krisis. Padahal kita semua tau pada akhirnya langkah penyelamatan tidak hanya menyelamatkan bank dan pemiliknya, tapi juga telah memberi keuntungan berlipat ganda kepada pemilik dan kelompok usahanya, atas beban uang rakyat.
Sekarang pemerintah melalui LPS telah mengambil langkah penyelamatan (bail out) dengan menyuntikan dana segar sebanyak Rp. 6,7 Triliun ke Bank Century dan mengambil alih seluruh kepemilikan saham. Apakah ini suatu kebijakan yang tepat? Dengan segala hormat kepada para pengambil keputusan, saya menganggap ini adalah suatu keputusan yang keliru. Bank Century sangat tidak layak untuk diselamatkan. Alasan saya adalah sebagai berikut:
Melihat komposisi neraca bank menurut audited statement 2006, 2007, 2008, khususnya difokuskan kepada periode 2007-2008, Bank Century bukanlah bank yang menjalankan fungsi pokoknya sebagai financial intermediary, menghimpun dana masyarakat untuk kemudian sebagai agent of development menyalurkan kembali dalam bentuk kredit. Dari total aset sebesar Rp. 10.4 triliun, pos pinjaman yang diberikan hanya Rp. 4 triliun (40%) termasuk di dalamnya pemberian kredit sejumlah Rp. 1,5 triliun lebih diberikan kepada pihak terkait atau kelompok usaha sendiri.
Diluar Giro Wajib minimum dan Fixed Assets, bank melakukan investasi berupa surat berharga effek sebanyak Rp. 4,3 triliun dan penempatan call money pada bank lain sebesar Rp. 2 triliun. Di sinilah kemudian terlihat ketidakwajaran dari intrument investasi yang termasuk dalam kedua kelompok aset tersebut.
1. Termasuk didalam kelompok surat berharga effek adalah instrumen US Treasury Strips, (Separate Trading of Registered Interest and Pricipal Securities) sebanyak US$ 177,000,000, perlu diketahui bahwa instrumen ini adalah US Treasury Bonds atau notes dengan jangka waktu 10 tahun ke atas yang telah dipisah interest coupon-nya dan dibuat menjadi instrument yang berdiri sendiri. Atau dalam arti lain instrumen ini sama dengan zero coupon bond alias tidak menghasilkan bunga sama sekali. Adalah suatu keanehan bagi bank komersil swasta untuk melakukan investasi dalam intsrumen semacam ini. Menurut laporan audit, instrumen ini dimiliki bank sejak tahun 2006. Lebih aneh lagi jika hal ini tidak diketahui oleh Bank Indonesia, sebab hal ini tercantum dalam neraca bank. Lebih ajaib lagi jika Bank Indonesia mengetahui hal ini tapi tidak melakukan tindakan apa apa, sebab sesungguhnya ini merupakan indikasi bahwa Bank Century telah melakukan praktek bank komersil di luar kewajaran.
Sebagai catatan sejumlah US$ 115,000,000 dari US Treasury strips telah dijaminkan kepada Saudi National Bank Corp sesuai dengan perjanjian tgl 7 Desember 2006 untuk menjamin fasilitas L/C Confirmation. Sisa instrumen ini sebesar $13,000,000 dipegang oleh First Gulf Asian Holdings sebagai custodian dan $45,000,000 dipegang oleh Dredner Bank sebagai custodian.
2. Termasuk didalam kelompok surat berharga effek ini adalah Medium Term Notes dengan total US$ 209,000,00 (setara dengan Rp 1.923.845.000) Terdiri dari Credit Suisse USD 63,000,000, Rabobank sebesar USD 20,000,000, Nomura Bank International Plc. London sebesar USD 67,000,000, JP Morgan sebesar USD 25,000,000, West LB sebesar USD 23,000,000, Banca Popolare sebesar USD11,000,000. Semua MTN milik bank telah dijaminkan kepada Saudi National Bank Corp dan Credit Suisse untuk pembukaan fasilitas Letter of Credit, kecuali MTN JP Morgan sebesar $25,000,000 dan Nomura sebesar $ 40,000,000. Bank tidak menguasai secara fisik instrumen tersebut. Instrumen yang dijadikan jaminan dipegang oleh custodian bank, sedangkan sisanya dipegang oleh First Gulf Asian Holdings.

3. Selain kedua jenis instrumen diatas, bank juga memiliki Negotiable CD. Terdiri dari NCD National Australia Bank, London sebesar USD 45,000,000 (setara dengan Rp. 519.975.000), Nomura Bank International Plc. London sebesar USD 38,000,000 (setara dengan Rp. 439.090.000) dan Deutsche Bank sebesar USD 8,000,000 (setara dengan Rp. 92.440.000). Secara fisik penguasaan NCD tersebut berada pada First Gulf Asian Holdings selaku custodian.

4. Penempatan call money pada bank lain sebesar Rp. 2 triliun bukan karena bank memiliki kelebihan likuiditas, melainkan penempatan dana on call dilakukan sebagai fasilitas back to back untuk menjamin penerbitan Letter of Credit kepada pihak ketiga. Status dari pos rekening ini menurut catatan auditor adalah sbb;


• Pada tanggal 31 Maret 2008 saldo penempatan dana call money pada Credit Suisse Bank Singapore sebesar Rp. 221.217.713 (USD 24,032,343) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor. Pada tanggal 24 Nopember 2008 Credit Suisse Bank Singapore melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut. Sehingga saldo penempatan pada bank tersebut nihil.
• Pada tanggal 31 Maret 2008 Bank menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada The Saudi National Commercial Bank (SNCB) sebesar Rp. 96.032.569 (USD 10,432,653). Pada tanggal 29 Januari 2009 The Saudi National Commercial Bank (SNCB) melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut. Saldo penempatan call money pada bank tersebut menjadi nihil.
• Pada tanggal 31 Maret 2008 Bank menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada Bank International Indonesia sebesar Rp. 507.562.000 untuk menjamin kewajiban bank pada Bank International Indonesia sebesar Rp. 460.250.000 (USD 50,000,000).
• Pada tanggal 31 Maret 2008 saldo penempatan dana call money pada PT Bank DBS Indonesia sebesar Rp. 191.714.622 (USD 20,827,277) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor. Dan pada tanggal 18 Nopember 2008 DBS melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut.

Asset Management Agreement

Pada tanggal 17 Pebruari 2006, Bank Century melakukan Perjanjian Asset Management Agreement (AMA) dengan Telltop Holdings Ltd, Singapore yang akan berakhir pada tanggal 17 Pebruari 2009, dalam rangka penjualan surat-surat berharga Bank sebesar USD 203,400,000. Selanjutnya dalam rangka pejualan surat berharga tersebut Telltop Holdings Ltd menyerahkan Pledge Security Deposit sebesar USD 220,000,000 di Dresdner Bank (Switzerland) Ltd. Perjanjian AMA tersebut telah diamandemen pada tahun 2007, dengan penambahan surat-surat berharga yang dikelola oleh Telltop Holding Ltd menjadi USD 211,400,000. Sebelum perjanjian AMA tersebut berakhir, pada tanggal 28 Januari 2009 Bank telah melakukan konfirmasi hasil realisasi penjualan surat-surat berharga tersebut kepada Telltop Holdings Ltd, namun hingga saat ini belum ada jawaban sehingga Bank melakukan klaim atas Pledge Security Deposit sebesar USD 220,000,000 kepada Dresdner Bank (Switzerland) Ltd.

Tanpa harus meneliti lebih dalam lagi, data komposisi aktiva di atas telah dapat memberikan gambaran bahwa bisnis inti Bank Century bukanlah kegiatan bank komersil sebagaimana diperkirakan oleh banyak orang selama ini. Outlet cabang utama, cabang pembantu dan kantor kas berfungsi sebagai show room untuk menghimpun dana pihak ketiga yang kemudian digunakan untuk membeli financial instrument, untuk kemudian melakukan akrobat financing melalui financial instrument yang menyesatkan seperti US Treasury strip, Credit Linked Notes, Credit default Swap, MTN dan sebagainya. Semua instrument yang dimiliki itu dalam denominasi valuta asing.

Timbul pertanyaan kalau dana untuk instrument tersebut berasal dari rupiah maka sudah pasti Net Open Position limit sudah dilampaui. Sulit untuk percaya bahwa Bank Indonesia tidak mengetahui hal semacam ini terjadi di Bank Century. Belum lama ini direktur bidang pengawasan BI mengatakan bahwa jika Century melakukan fraud maka akan memakan waktu untuk dapat mendeteksi, statement macam ini merupakan pernyataan yang keblinger dan tidak bertanggung jawab. Investasi dalam US Treasury strips, adanya Asset Management Agreement dengan Telltop Holdings tertanggal 7 Februari 2006 untuk mengelola penjualan surat berharga sebesar US$ 203 juta, kesemuanya di-disclose dalam laporan keuangan tahun bersangkutan (2006-2007). Adanya investasi dalam US Treasury strips sebesar US$ 177juta yang notabene adalah sama dengan zero coupon bonds, ditambah dengan Asset Management Agreement dengan Telltop Holdings seharusnya menjadi pemantik bagi BI untuk mengeluarkan kartu merah karena Bank Century telah menympang dari bisnis inti. Dan hal ini telah melanggar entah berapa banyak ketentuan PBI.

Hampir seluruh investasi dalam surat berharga maupun placement valuta asing telah di-pledge kepada bank lain untuk fasilitas LC kepada pihak ketiga, dan selalu ditunjuk sebagai custodian adalah First Gulf HoldingsAsia Limited yang juga pemegang saham berpengaruh pada Bank Century. Pemegang saham telah mengendalikan dan menggunakan bank untuk berspekulasi di pasar uang luar negeri dengan membeli instrumen berisiko tinggi termasuk structured derivatives. Melalui pledge of assets sebagai jaminan fasilitas oleh bank di luar negeri kepada pihak ketiga, kemudian menunjuk FGHA Ltd sebagai custodian, sama saja dengan memindahankan lapangan permainan dari dalam negeri ke luar negeri.

Bagaimana Bank Indonesia membiarkan hal seperti ini terjadi di luar kemampuan berpikir saya. Singkatnya, asset milik bank dalam negeri dalam valuta asing dijaminkan kepada bank di luar negeri untuk fasilitas kredit kepada pihak ketiga (bisa siapa saja termasuk kerabat dari pemegang saham), kemudian assets likuid tersebut dieksekusi oleh bank pemberi fasilitas dengan alasan wan prestasi. Dengan membiarkan ini terjadi maka Bank Indonesia telah membuka pintu keluar bagi arus dana bank. Bagi yang pro bail-out barangkali lebih tepat dikatakan bahwa langkah bail-out diperlukan untuk menutupi keteledoran BI, ketimbang alasan sistemik risk yang dapat berdampak negatif yang dihubungkan dengan krisis global 2008.

Sebaliknya menurut saya, justru karena krisis keuangan global 2008 maka permainan di dalam Bank Century dapat terbongkar. Seandainya tidak terjadi krisis di kwartal terakhir 2008, saya yakin bahwa kegiatan ini akan terus berjalan bagaikan bom waktu sampai akhirnya meledak dengan kekuatan yang lebih dahsyat dari sekedar Rp. 6,7 Triliun. Untuk sekadar menyegarkan ingatan kita semua, sebagai bahan pembanding saja, bahwa di tahun 2004, pemerintah melepas 51% kepemilikan saham di Bank Permata seharga Rp. 2,7T dan 51% kepemilikan saham di Bank Niaga dengan harga hanya Rp. 1,057T saja. Secara ukuran aset, sistem, network cabang dan human resources Bank Permata dan Niaga, tentunya berada jauh diatas Bank Century yang “dibeli” oleh LPS seharga Rp. 6,7T dengan nilai asset bersih diperkirakan sekarang ini dibawah Rp. 3T.


Untuk membongkar kasus bank Century secara tuntas mau tidak mau investigasi harus dimulai dari tahun 2000 ketika masih bernama CIC Bank. Laporan hasil pemeriksaan BI yang dilakukan pada bulan Juli-Nov 2001 sesungguhnya memberikan gambaran kondisi bank yang lebih realistis dengan berbagai macam pelanggaran perihal ketentuan CAR, NPL, Legal Lending Limit. Kondisi CIC ketika itu dapat dikatakan "setengah hidup", hampir 70% sumber dana berasal dari GSM-102 financing dengan memanfaatkan perbedaan tanggal jatuh tempo fasilitas dengan jatuh tempo LC yang lazim disebut gapping maturity.
Hasil pemeriksaan BI tersebut ditindak lanjuti dengan surat BI tertanggal 22 Juli 2002 berupa teguran. Sebab management dan pemegang saham tidak menanggapi temuan dari hasil pemeriksaan BI November 2001 dengan suatu action plan yang dapat memperbaiki kondisi bank.

Kejanggalan:
CIC BANK ikut serta dalam program GSM-102 pada tahun 2000 dan 2001 dengan jumlah fasilitas yang diterima sebesar US$ 953.9 juta diberikan oleh Commodity Credit Corp melalui USDA. Dana tersebut diterima dri tiga bank, yakni SCB US$ 191.4 juta, Bank Denver US$ 616 juta, & Deutsche Bank US$ 146.5 jt.
Alokasi yang diberikan untuk Indonesia mencapai US$ 1,2 milyar, dimulai sejak bulan Oktober 1999 dengan plafon awal US$ 400 juta. Ada 14 bank lokal termasuk bank BUMN yang ditunjuk oleh BI sebagai bank pelaksana. Adalah suatu keanehan bahwa dari plafon yang diberikan kepada Indonesia sejumlah US$ 1,2 milyar, CIC Bank mendapatkan sejumlah US$ 950juta atau hampir 85% dari keseluruhan fasilitas. CIC Bank ketika itu adalah bank kecil yang baru mendapat izin sebagai bank devisa, tidak mempunyai track record sebagai international banking, tapi diberi rekomendasi oleh BI untuk mendapatkan plafon sampai US$ 950jt? Apakah CIC memiliki customer base yang melakukan transaksi import komoditi pertanian/peternakan dari USA yang sedemikian besar sehingga dipandang wajar untuk mendapatkan jumlah US$ 950 juta?
Fasilitas GSM-102 ini berjangka waktu 3 tahun (secara blanket). Ini bukan berarti bahwa fasilitas yang diberikan kepada importir juga 3 tahun. Fasilitas yang diberikan kepada importir tentunya mengikuti jangka waktu LC sebagai underlying transaction dan sifatnya self liquidating. Kelaziman trade financing jangka waktunya antara 3 sampai 6 bulan. Pada saat importir melunasi financing import tersebut, maka bank pelaksana harus melakukan pembayaran kepada bank pemberi kredit. Hal inilah yang dimanfaatkan CIC Bank sehingga dapat memanfaatkan fasilitas GSM-102 sebagai suatu pembiayaan tetap berjangka waktu 3 tahun, dalam US$ dengan bunga rendah (karena 80% risiko kredit ditanggung oleh CCC). Hal ini tentunya sepengetahuan Urusan Pengawasan Bank di BI dan Urusan Luar negeri, sebab setiap penarikan fasilitas oleh bank pelaksana dimonitor BI. Karena penjaminan oleh CCC hanya sebesar 80%, sisanya sebesar 20% menjadi tanggungan BI.
Jadi dapat kita bayangkan dalam periode pasca krismon 98 dimana sebagian besar bank lokal masih berkutat soal BLBI dan Rekapitalisasi Perbankan, sumber dana pihak ketiga praktis tidak ada disebabkan oleh capital flight, pinjaman interbank lokal bisa mencapai ratusan persen, ada sebuah bank kecil bernama CIC Bank menikmati likuiditas murah untuk jangka waktu 3 tahun.
Praktek ini tentunya melanggar terms and condition yang melekat pada fasilitas GSM-102. Seharusnya BI tidak mentolerir praktek ini karena di saat industri perbankan Indonesia harus membangun kembali kredibilitas di mata asing, malah menjadi skandal keuangan yang menjadi headline di tahun 2002, khususnya di kalangan pasar komoditi dan bankers acceptance. Sebagai konsekwensinya, alokasi penjaminan kredit untuk Indonesia dibekukan dan Indonesia di blacklist oleh CCC dan USDA. Program GSM-102 di hentikan dan baru dibuka kembali pada tahun 2005.

Berbekal kelebihan likuiditas dari fasilitas GSM 102, CIC Bank membeli instrumen pasar uang valuta asing. Melalui Chinkara Capital yang juga adalah pemegang saham, CIC menjadi bullish dalam membeli instrumen derivative semacam Credit Linked Notes jangka menengah-panjang, US Treasury strips (sama dengan zero coupon bond yang tidak menghasilkan bunga). CLN yang dibeli sebesar USD 225 juta berkaitan dengan pinjaman pemerintah Indonesia yang akan jatuh tempo pada akhir 2005. CLN tersebut menjadi jeblok oleh karena pemerintah meminta perpanjangan waktu atas pinjamannya, otomatis mempengaruhi instrumen derivative yang terkait. Selain masalah GSM102, juga terdapat penyalahgunaan dana hibah PL-416 untuk kacang kedele sejumlah USD 24 juta yang menjadi masalah sejak tahun 2000, sehingga dana sempat diblokir oleh Chase New York.
Sebenarnya masalah CIC Bank ini sempat mencuat di tahun 2002, kasusnya sempat digelar di Kejaksaan Tinggi Jakarta. Bahkan Darmin Nasution yang ketika itu menjabat sebagai Dirjen Lembaga Keuangan DepKeu (sekarang pejabat Gubernur BI) membuat statement bahwa diduga ada penyelewengan yg dilakukan oleh oknum di BI, dan beberapa pejabat telah diperiksa. Tapi entah kenapa perkara tersebut menguap begitu saja, kemudian malah dilakukan merger pada thn 2004.

Proses Merger
Sampai dimana peranan BI sehingga management CIC Bank melakukan investasi dalam instrumen CLN-ROI sebesar USD 225 juta? Apakah disini terdapat konflik kepentingan, karena instrumen derivative ini terkait dengan pinjaman pemerintah Indonesia yang ternyata kemudian menjadi default, sehingga harga instrumen tersebut berkurang nilainya sampai 50%? Mengetahui hal ini BI memfasilitasi proses merger CIC Bank dengan Pikko dan Bank Danpac pada thn 2004, dilakukan dalam tempo yang relatif singkat. Seluruh investasi CIC Bank dalam instrumen derivatif pasar uang valas terbawa dalam neraca konsolidasi tanpa di-mark to market, yang kemudian neraca tersebut menjadi neraca Bank Century.
Terkesan bahwa proses merger ini dipaksakan. BI walaupun mengetahui secara jelas kualitas aset yang ada pada CIC Bank, khususnya surat berharga yang nilainya rendah, membiarkan pembukuan dengan face value yang kemudian nilai asset2 tersebut terbawa terus sampai thn 2008, dimana krisis keuangan global yang terjadi di bulan September 2008 menjadi pemantik untuk melakukan langkah yang lebih konyol lagi, yaitu menyuntikan dana sebesar Rp. 6.7 triliun.
Sampai dengan periode sebelum bail out beberapa pertanyaan belum terjawab, yang menurut hemat saya menjadi cikal bakal terjadinya bail out:

1. Mengapa CIC Bank diberikan plafon penjaminan kredit GSM-102 begitu besar? US$ 900 juta merupakan jumlah yang melebihi total aset CIC Bank ketika itu. Patut dicurigai bahwa terdapat transaksi LC fiktif yang dipergunakan hanya sebagai underlying transaction, untuk dapat melakukan drawdown atas fasilitas GSM-102.

2. Mengapa BI membiarkan CIC Bank melakukan sidestreaming fasilitas GSM-102, diluar dari spirit trade financing, untuk kemudian seolah-olah menjadi fasilitas fixed loan berjangka waktu 3 tahun? Padahal dalam hal ini pemerintah menjamin 20% dari jumlah yang ditarik sehingga apabila CIC Bank tidak dapat mengembalikan pinjaman maka pemerintah harus menanggung 20% atau US$ 190 juta.
3. Dengan jangka waktu fasilitas GSM-102 yang 3 tahun, maka sebagian besar fasilitas ini akan jatuh tempo di tahun 2003. Mengetahui hal ini mengapa BI membiarkan CIC Bank membeli instrumen derivative CLN-ROI sebanyak US$ 225 juta yang diterbitkan oleh Deutche Bank dan CSFB, yang akan jatuh tempo di akhir thn 2005?

4. Di samping itu, BI membiarkan CIC Bank melakukan investasi dengan membeli US Treasury Strips sebesar US$ 177 juta berjangka waktu 10 tahun dan tidak berbunga. (catatan: US Treasury Strips adalah instrumen yang diterbitkan oleh Bank Sentral Amerika berupa Bonds berjangka waktu 10 tahun dimana coupon pembayaran bunga setiap 6 bulan telah dipisahkan (strip) dan dijadikan instrumen bond tersendiri. Dengan demikian US Treasury strip Bond hanya terdiri dari prinsipalnya saja atau sama dengan zero coupon bond).
5. Tanpa harus melihat kepada investasi lain yang dilakukan oleh CIC Bank, BI yang merekomendasikan CIC Bank sebagai salah satu bank pelaksana GSM-102 dengan plafon US$ 950 juta, mestinya tahu bahwa dana yang diperoleh dari GSM-102 telah disalah-gunakan untuk membeli instrumen derivatif Credit Linked Notes-ROI, instrumen dimana kualitas baik-buruknya akan tergantung kepada keputusan BI sendiri. BI tahu bahwa akan terjadi mismatch dalam jangka waktu.
6. Irregularities ini sesungguhnya sudah diketahui dari bulan Juli 2001, akan tetapi ditutupi. Sempat digelar perkaranya oleh kejaksaan tinggi pada tahun 2002, kemudian menguap begitu saja. Jalan melakukan merger pun ditempuh di tahun 2004. Itu pun tidak menolong bahkan semakin terkuak kena imbas krisis global September 2008. Mengapa BI begitu ngotot untuk melakukan bail-out dengan jumlah yang sangat fantastis? Barangkali, seperti halnya pasca krismon 1998, dalam skala yang lebih kecil Rp. 6,7 T dapat di-justified sebagai ongkos sebuah krisis? Wallahualam.

Aliran dana Keluar
Untuk menelusuri aliran dana yang keluar dari bank dapat di mulai dengan meneliti seluruh fasilitas back to back yang dibukukan pada bank lain di luar negeri, dimana fasilitas tersebut dijamin oleh penempatan dana bank dalam bentuk placement maupun deposit pada bank tersebut. Tercatat ada 2 bank di luar negeri yang memberikan fasilitas back to back tersebut yaitu Credit Suisse Singapore dan Saudi National Commercial Bank. Di samping itu ada 2 bank lokal, yaitu DBS Bank Indonesia dan Bank Internasional Indonesia. Seluruh dana yang dijaminkan untuk fasilitas back to back di bank luar negeri maupun dalam negeri telah dieksekusi dengan melaksanakan set-off, jumlahnya mencapai Rp. 5T lebih. Jika diperhatikan menurut laporan audit, tanggal eksekusi dari setting off tersebut terjadi pada akhir tahun 2008 dan bulan Maret 2009, atau periode setelah dana bail-out dikucurkan.
Penelusuran aliran dana keluar yang dilakukan melalui rekening tabungan, giro maupun deposito, sebenarnya cukup melihat kepada periode 3 bulan, yaitu dari bulan November 2008 sampai Maret 2009. Karena dari laporan keuangan yang dibuat per akhir Maret 2009, terlihat penurunan dana pihak ketiga dari Rp. 10,2T menjadi Rp.4,9T di bulan maret 2009, atau terjadi funds outflow sebesar Rp. 5.3 T.

Ibu pertiwi kembali bersedih.

OPA IGBY

Senin, 07 Juni 2010

BANK INDONESIA & REPUTASI KORUPSINYA

Oleh Hendardi

Bongkar Mafia Bank Indonesia
Jumat, 4 Juni 2010 | 03:42 WIB

Belum jelas kelanjutan skandal Bank Century senilai Rp 6,7 triliun, kini Bank Indonesia kembali diguncang suap 1,3 juta dollar AS terkait pencetakan uang pecahan Rp 100.000.

Uang suap itu diduga masuk ke kantong sejumlah pejabatnya dan melibatkan perwakilan Bank Sentral Australia di Indonesia serta Securency International and Note Printing Australia.

Sejumlah pejabat Bank Indonesia (BI) menerima suap untuk memenangkan perusahaan Securency International dalam tender pencetakan 50 juta lembar uang pecahan yang berbahan polimer itu pada 1999 (Kompas, 27/5).

Rekam korupsi

BI memiliki catatan buruk terkait sistem dan pengawasannya. Tak hanya kasus Century dan pencetakan uang yang melanda BI, melainkan juga terekam berulangnya skandal korupsi. Kasus paling besar adalah BLBI sebesar Rp 144,5 triliun. Hingga kini pihak-pihak yang tersangkut masih ada yang belum melunasi kewajibannya dan jaksa yang menyidiknya pun tertangkap tangan dengan uang suap Rp 6 miliar.

Sejumlah pejabat BI tersandung korupsi. Mantan Gubernur BI Sjahril Sabirin tersandung kasus cessie (hak tagih) Bank Bali yang merugikan negara sebesar Rp 546 miliar. Sementara terdakwa Djoko S Tjandra dalam kasus yang sama justru menghilang. Namun, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK)-nya, Juni 2009.

Mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah tersandung kasus aliran dana BI ke DPR. Dalam kasus ini terlibat pula dua pejabatnya, yaitu Kepala Biro BI Surabaya Rusli Simanjuntak dan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong. Mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan juga terlibat kasus penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia. Besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini sedang menjalani hukuman penjara.

Pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom juga ditandai kasus suap. Sebanyak 39 anggota DPR periode 1999-2004 menerima imbalan Rp 300 juta- Rp 500 juta per anggota dengan total 480 lembar cek. Perkara ini sedang diproses hukum untuk penerima suap, sementara pemberi suap belum diproses. Kasus lain adalah dugaan aliran dana BI yang dinikmati sejumlah jaksa untuk bantuan hukum terhadap pejabat BI. Pada Oktober 2008, Jaksa Agung Hendarman Supandji berjanji menyerahkan kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi hingga kini masih belum jelas.

Bongkar

BI adalah bank sentral yang memonopoli wewenang mencetak uang rupiah. Untuk memproduksi rupiah berbahan polimer, BI bekerja sama dengan anak perusahaan Bank Sentral Australia (Reserve Bank of Australia). Tender pun dimenangi perusahaan Securency International and Note Printing Australia dengan nilai kontrak sebesar 50 juta dollar AS.

Media Australia, The Age, Selasa (25/5), melakukan investigasi dan kemudian membongkar skandal suap perusahaan yang berlangsung sejak tahun 1999 hingga 2006 itu. Total jumlah suap yang dibayarkan perusahaan tersebut mencapai lebih dari 50 juta dollar AS dan mengalir kepada pejabat bank sentral dari berbagai negara, termasuk para pejabat BI.

Skandal itu bukan hanya menambah panjang rangkaian korupsi yang kerap melanda bank sentral ini sebagai sumber tunggal produksi uang, tetapi juga dapat menjatuhkan kredibilitas BI sebagai pemegang otoritas moneter. Perilaku seperti ini mengarah pada sindikat mafia dalam produksi dan peredaran uang. Pemerintah seharusnya merespons dugaan itu dan DPR juga perlu lebih konkret menentukan langkahnya. KPK dan Polri juga harus segera bertindak untuk mengusutnya.

Berkat pemberitaan The Age, Polisi Federal Australia (AFP) telah lebih dulu menurunkan sejumlah penyelidik ke Jakarta untuk mengusut dugaan suap pejabat BI. AFP juga akan ke Malaysia dan Inggris untuk menyelidiki sejumlah pihak yang diduga terkait. Sindikat mafia BI harus dibongkar karena faktanya kasus penyelewengan dana, suap, dan peredaran uang ilegal terus bertambah. Dalam satu dasawarsa terakhir, semua mantan Gubernur BI tersandung skandal keuangan. Beberapa deputinya juga terlibat.

HENDARDI Ketua Badan Pengurus SETARA Institute

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/04/03421222/bongkar.mafia.bank.indonesia